Menilik Peta Persaingan di Pilkada Sumatera Utara
Kekuatan mayoritas di dalam kubu KIM juga lebih cenderung membentuk satu kekuatan besar provinsial.
Begitu juga dengan hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI). Elektabilitas Bobby juga tercatat sebesar 41,2 persen, dibanding 21,1 persen elektabilitas Edy Rahmayadi. Sementara itu, dari sisi perhitungan “top of mind”, Bobby mencatatkan angka 34 persen, berbanding 15,1 persen angka yang diraih Edy Rahmayadi.
Dibanding dengan calon gubernur yang didukung KIM di NTB, misalnya, Bobby jauh lebih beruntung, karena pembengkakan perolehan angka elektabilitasnya sangat signifikan.
Lalu Muhamad Iqbal, mantan duta besar Indonesia untuk Turki yang maju sebagai Calon Gubernur NTB, sampai bulan September 2024 hanya mampu mendapatkan angka elektabilitas sekitar 22 persen, berbanding tipis dengan petahana, Zulkieflimansyah yang mencatatkan elektabilitas sebesar 21,5 persen dan petahana wakil gubernur, Rohmi, yang mengantongi elektabilitas 20 persenan.
Hal itu bisa terjadi karena Lalu Iqbal tidak memiliki dua faktor pendorong sekaligus seperti yang dimiliki oleh Babby Nasution. Yang tidak dimiliki oleh Lalu Iqbal adalah bahwa ia tidak berasal dari keluarga Jokowi layaknya Bobby.
Fakta tersebut diafirmasi oleh hasil survei Litbang Kompas terbaru, yang menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi disebut masih memiliki pamor atau pengaruh besar dalam Pilkada 2024. Hasil survei tersebut menunjukkan sebanyak 54 persen publik akan memilih sosok yang dekat dengan Presiden Jokowi.
Dari survei tersebut ditanyakan apakah responden akan mempertimbangkan pilihan pilkada atas sosok atau pasangan calon yang dekat dengan Pak Jokowi atau pasangan calon yang mungkin didukung Pak Jokowi. Hasilnya, 54 persen lebih mengatakan akan mempertimbangkan opsi tersebut.
Jadi cukup bisa dipahami mengapa lonjakan elektabilitas Bobby terbilang cukup drastis, karena ditopang oleh dua faktor yang sangat besar kapasitas politiknya, yakni kekuatan KIM dan status sebagai menantu Jokowi.
Meskipun sebenarnya, jika kita mau mengakui secara jujur dari hati yang paling dalam, situasi ini memang tidak ideal. Karena masih perlu diuji lagi relasinya dengan realitas aspirasi publik yang ada di Sumut. Apakah dua faktor yang mendukung Bobby di atas benar-benar singkron dengan keinginan masyarakat Sumut yang sebenarnya atau justru hanya aspirasi yang dipaksakan oleh kekuatan yang ada di tingkat pusat.
Lebih dari itu, ada beberapa catatan penting yang juga perlu dipertimbangkan, sebelum menelan mentah-mentah hasil-hasil survei tersebut secara taken for granted. Dengan kata lain, meskipun angka elektabilitas antara Bobby dan Edy terpaut cukup jauh, namun masih belum bisa ditarik kesimpulan secara pukul rata bahwa Bobby sudah hampir pasti menjadi pemenang Pilkada Sumut 2024. Mengapa?
Pertama, dari sebaran angka elektabilitas di antara kedua Paslon, angka “undecided voters-nya” (dalam artinya belum atau tidak memilih keduanya) masih cukup tinggi. Misalnya jika kita mengambil angka hasil survei LSI, di mana gabungan suara kedua Paslon hanya berkisar 60 persen lebih sedikit. Sisanya suara masih menyebar untuk nama-nama lain. Sebutlah misalnya sisa suara tersebut menyebar kepada tokoh-tokoh yang juga sudah berada di kubu KIM. Tapi tetap belum ada jaminan tokoh-tokoh tersebut secara personal menginginkan Bobby yang memenangkan Pilkada, karena beberapa faktor yang tak tertangkap oleh survei.
Misalnya, ada tokoh daerah di dalam kubu KIM yang sebenarnya menginginkan maju sebagai Cagub, tapi karena tekanan pusat yang mengharuskannya untuk mendukung Bobby, maka terpaksa secara organisasional dukungannya diberikan kepada Bobby. Tapi lagi-lagi tak ada jaminan tokoh ini secara personal akan mendorong kantong suaranya kepada Bobby nanti di saat pemilihan Gubernur Sumut.
Boleh jadi kasusnya seperti suara Bernie Sanders di Pemilihan Umum Amerika tahun 2016 lalu. Karena Bernie secara personal tidak satu visi dengan Hillary Clinton, sekalipun satu partai yaitu Partai Demokrat, mayoritas suara dari pemilihnya akhirnya dibiarkan abstain (golput) di dalam pemilihan yang membuat Hillary Clinton akhirnya gagal memenangkan kursi di Electoral College alias membuat Hillary mengalami kekalahan.
Kedua, political framing dari pusat yang membuat KIM terkesan sangat perkasa layaknya pada pemilihan presiden tempo hari, akhirnya juga berpotensi membuat banyak pemilih untuk melakukan “self censored” di saat survei dilakukan, jika pilihannya tidak sama dengan pilihan kelompok pendukung penguasa di pusat. Atau justru bisa juga sebagian pemilih malah memilih untuk bersikap “banwagoning” (istilah politik internasional sebagai lawan dari kata counter-balance ) alias pura-pura mengikuti suara mayoritas semata agar tidak panjang urusan dengan para surveyor dan dengan pihak pendukung kekuasaan.
Hal seperti ini juga terjadi di Amerika di saat jelang pemilihan umum 2020 lalu di mana sebagian pendukung Joe Biden yang berada di lingkungan pemilih Donald Trump memilih melakukan self censored karena khawatir dengan reaksi dari pemilih Trump yang militant jika mereka mengungkapkan pilihan politiknya dalam mendukung Joe Biden. Kubu Trump akhirnya gagal memahami realitas ini, sehingga gagal menerima hasil pemilihan yang mengakibatkan serangan dadakan dari para pendukungnya ke gedung Capitol Hill sebelum pengumuman resmi hasil pemilihan.
Dan ketiga, ambiguitas posisi presiden terpilih, Prabowo Subianto, juga bisa menjadi faktor penting dan boleh jadi ikut menentukan. Secara resmi memang Bobby sudah menjadi kader Partai Gerindra dan sudah mengantongi dukungan resmi dari Partai Gerindra.
| Ironi Kaldera Toba: Pembangunan demi Status Geopark UNESCO |
|
|---|
| KPU Sumut Sebut Cuaca Buruk Jadi Penyebab Turunnya Partisipasi Pemilih di Pilkada 2024 |
|
|---|
| Intelektual Publik, The Lonely Single Fighter Penjaga Tegaknya Demokrasi |
|
|---|
| Bekali Diri secara Baik Sebelum Masuk Bilik Suara Pilkada Serentak |
|
|---|
| Sinode Godang ke-67 HKBP, Kembali ke Jalan Ketulusan dan Kesederhanaan |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.