Berita Nasional
Menteri Sri Mulyani Bersikukuh Berlakukan PPN 12 Persen, Berdalih Amanat UU demi APBN Tetap Sehat
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersikukuh menerapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen mulai 1 Januari 2025.
TRIBUN-MEDAN.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani bersikukuh menerapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen mulai 1 Januari 2025. Rencana ini kembali menjadi sorotan di tengah penurunan daya beli masyarakat.
Meski banyak yang keberatan, Sri Mulyani berdalih tarif PPN 12 persen merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menurut dia, pemberlakukan PPN 12 persen adalah demi kelangsungan APBN agar tetap sehat.
Anggota Komisi XI DPR RI Muhammad Kholid meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk meninjau ulang rencana kenaikan tarif PPN 12 persen pada 1 Januari 2025 mendatang.
Kholid melihat pertumbuhan ekonomi nasional saat ini sedang melambat dan daya beli masyarakat cenderung melemah. Kenaikan PPN jadi 12 persen dinilai bukan kebijakan yang tepat.
"Hal itu akan semakin memukul daya beli masyarakat," ujar Kholid di Jakarta, Jumat (15/11/2024).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional kuartal III tahun 2024 melambat di angka 4,95 persen year on year (yoy).
Konsumsi rumah tangga juga melambat, hanya naik 4,91 persen (yoy), lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93 persen.
Di samping itu, Indonesia juga mengalami deflasi selama 5 bulan berturut-turut dari bulan Mei sampai bulan September 2024.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan Oktober yang diterbitkan oleh Bank Indonesia ada di angka 121,1, turun dari IKK September sebesar 123,5.
"Artinya, ada pesimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan di masa depan," tuturnya.
Data Kemenaker, per Oktober 2024, ada sebanyak 59.796 orang di-PHK, naik 31,13 persen dari tahun lalu.
Data BPS, per Agustus 2024, proporsi pekerja penuh waktu (yang bekerja sedikitnya 35 jam seminggu) turun dari 68,92 persen ke 68,06 persen, sementara setengah pengangguran (yang bekerja di bawah 35 jam seminggu) naik dari 6,68 persen ke 8 persen.
Tidak hanya itu, jumlah kelas menengah juga menyusut tajam. Ini merupakan pertanda bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Kelas menengah turun dari 57,33 juta di 2019 menjadi 47,85 juta di 2024. “Artinya, dalam periode 5 tahun kita kehilangan 9,48 juta kelas menengah. Jadi, rencana pemerintah menaikkan PPN 12 persen seharusnya ditinjau ulang atau dibatalkan," kata Kholid.
Kholid menambahkan bahwa untuk meningkatkan rasio pajak, menaikkan tarif seperti PPN bukan satu-satunya pilihan. Pemerintah juga bisa mengoptimalkan penerimaan dari sektor-sektor tertentu.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pada kuartal III-2024, penerimaan pajak dari sektor Industri Pengolahan tumbuh negatif sebesar 6,3 persen secara netto dan 0,4 persen secara bruto dari tahun ke tahun.
Sementara penerimaan pajak sektor pertambangan turun signifikan, sebesar 41,4 persen secara netto dan 28,3 persen secara bruto.
Pemerintah juga bisa memperluas basis pajak dengan mengkaji potensi penerimaan baru dari shadow economy dan menekan kebocoran dari perilaku penghindaran dan penggelapan pajak, termasuk transfer pricing.
Pemerintah dengan persetujuan DPR RI memiliki kewenangan untuk tidak menaikkan PPN menjadi 12 persen karena ada ruang manuver kebijakan, di mana rentang penurunan dan kenaikan PPN ada di angka 5 persen sampai 15 persen.
"Jika pemerintah dan DPR sepakat, kita bisa menunda atau membatalkan kenaikan PPN 12 persen di awal tahun 2025 mendatang," terang Kholid.
Dampak Kenaikan PPN
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai rencana pemerintah menetapkan PPN 12 persen akan menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menurut dia, jika pelaku usaha dibebankan kenaikan PPN tentunya akan menambah biaya produksi.
"Ketika biaya produksi dibebankan pada produk akhir dan terjadi kenaikan harga yang kemudian dibebankan kepada konsumen, maka otomatis akan terjadi secara masif konsumen akan mengurangi pengeluaran belanja yang lain,” ujar Tauhid dalam keterangannya, Rabu (13/11/2024).
Karena kenaikan satu produk ke produk yang lain akan memiliki implikasi terhadap double counting dalam perhitungan PPN. Di mana ketika barang tersebut berada pada satu tangan ke tangan yang terakhir dikhawatirkan akan menjadi beban.
“Kenaikan PPN tentunya akan memiliki konsekuensi terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi. Di antaranya tingginya inflasi, menurunnya daya beli masyarakat, kemudian memberi efek negatif bagi perusahaan atau industri yang sangat sensitif terhadap kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen. Dan dikhawatirkan juga akan menurunkan lapangan pekerjaan,” beber Tauhid.
Lebih lanjut Tauhid mengatakan, jika dipelajari dari kenaikan PPN tahun 2022-2023 dari 10 persen ke 11 persen, ada tambahan penerimaan negara di atas Rp 100 triliun.
Akan tetapi mengakibatkan stagnasi pertumbuhan ekonomi terutama konsumsi masyarakat di tahun 2024, dan ini merupakan efek kenaikan PPN tahun sebelumnya.
Terkait dengan hal itu, INDEF merekomendasikan agar pemerintah menunda kenaikan PPN sampai ekonomi dalam negeri cukup pulih dan hambatan dari ekonomi global masih bisa diantisipasi.
Sebab, di banyak negara, PPN tidak juga harus sebesar 12 persen. Bahkan sejumlah negara masih mengenakan tarif PPN hanya 10 persen.
“Upaya lain di antaranya, melakukan ekstensifikasi maupun intensifikasi agar diperluas bukan kepada kenaikan tarif PPN itu sendiri, namun upaya dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan intensifikasi kenaikan PPN tersebut. Apakah penggunaan perluasan basis wajib pajak atau penggunaan teknologi, sehingga PPN itu lebih besar tanpa harus menaikkan tarif dari 11 persen menjadi 12 persen,” katanya.
Harga Tiket Pesawat Naik
Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Irfan Setiaputra, mengatakan maskapai penerbangan tentunya akan menyesuaikan harga tiket pesawat bila memang ada kenaikan PPN.
"Siap-siap ada PPN naik jadi 12 persen sudah pasti bikin naik harga tiket pesawat," ujar Irfan di Cengkarang Tangerang dikutip pada Jumat (15/11/2024).
Irfan menyebut PPN merupakan salah satu komponen penambah harga tiket pesawat, di luar tarif yang sudah ditetapkan maskapai.
Lebih rinci, ia membeberkan komponen penentu harga tiket pesawat terdiri dari tarif jarak, harga avtur, Iuran Wajib Jasa Raharja (IWJR) sebagai asuransi kecelakaan penumpang, dan biaya tambahan (surcharge).
Maskapai penerbangan juga membebankan biaya layanan bandara (PSC/airport tax) ke penumpang pesawat. PSC ini dibayarkan maskapai ke BUMN Angkasa Pura sebagai pengelola bandara.
Dengan kenaikan PPN dari awalnya 10 persen, lalu naik jadi 11 persen, dan kembali naik jadi 12 persen, tentu akan memaksa maskapai menaikkan harga tiket pesawat.
"Yah pasti naik memang, kalau itu semua naik yang mau nanggung biaya kenaikannya siapa coba? Yah pasti ke orang yang mau terbang itu juga kan," tegas Irfan. (*)
PPN 12 persen
Menteri Keuangan
Sri Mulyani
PPN 12 persen mulai Januari 2025
Pajak Pertambahan Nilai
6 Lembaga Bentuk Tim Independen Pencari Fakta Demo Agustus, Telusuri Kekerasan TNI-Polri |
![]() |
---|
Masih Berlanjut, Teror Untuk Keluarga Arya Daru Dikirim Simbol di Makam, Minta Perlindungan LPSK |
![]() |
---|
Kekayaan Dave Laksono, Anggota DPR RI 3 Periode, Viral Lagi Usai Disindir Ferry Irwandi |
![]() |
---|
Kecewa Berat, Sri Mulyani Telepon 2 Sosok Ini Sebelum Rumah Dijarah Tapi Tak Diangkat |
![]() |
---|
Dibongkar KPK, Sumber Uang Korupsi Diterima Lisa Mariana dari Ridwan Kamil, Ternyata Dana Iklan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.