Korupsi Pertamina

Kejagung Skakmat Pertamina Bantah Korupsi Oplos Pertamax, Temukan Bukti Geledah Perusahaan Chalid

Kejaksaan Agung (Kejagung) skakmat bantahan PT Pertamina Patra Niaga yang menyebut tidak ada pengoplosan. 

|
Editor: Salomo Tarigan
Dok/Pertamina Patra Niaga
KORUPSI PERTAMINA PATRA NIAGA - Momen saat Riva Siahaan (kanan) menyegel Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) 34.431.11 di Jalan RH. Didi Sukardi, Kelurahan Baros, Kecamatan Baros, Kota Sukabumi, Jawa Barat pada Rabu (19/2/2025). 5 hari kemudian Riva Siahaan ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). 

“Masih dilakukan penggeledahan lanjutan di rumah yang diduga sebagai kantor di Jalan Jenggala 2 itu. Dan, penyidik menemukan setidaknya 144 bundel berkas dokumen dan ini akan terus dipelajari apakah ada keterkaitan dengan perkara ini,” kata Harli lagi.

Setahun Kerugian Rp 193,7 Triliun

Kejagung menegaskan bahwa kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi Pertamina Patra Niaga akan lebih besar dari yang sudah diumumkan, yaitu Rp 193,7 triliun.

Sebab, kerugian Rp 193,7 triliun ini baru merupakan perhitungan dari tahun 2023 saja.

Sementara, kasus ini terjadi dari 2018 hingga 2023.

“Kemarin yang sudah disampaikan dirilis itu Rp 193,7 triliun, itu tahun 2023. Makanya, kita sampaikan, secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, ya berarti kan bisa dihitung, berarti kemungkinan lebih,” ujar Harli Siregar, Rabu (26/2/2025).

Namun, perhitungan pasti kerugian negara ini perlu dilakukan oleh ahli keuangan.

Besaran kerugian negara ini juga bisa jadi berbeda di tahun kejadian atau pada jumlah di masing-masing komponennya.

“Misalnya apakah setiap komponen itu di 2023 juga berlangsung di 2018, 2019, 2020, dan seterusnya. Kan, ini juga harus dilakukan pengecekan,” ujar Harli.

Berdasarkan keterangan resmi Kejagung, kerugian negara sementara mencapai Rp 193,7 triliun.

Kerugian ini terbagi menjadi lima komponen.

1. Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun. 

2. Kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp 2,7 triliun. 

3. Kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp 9 triliun. 

4. Kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp 126 triliun. 

5. Kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp 21 triliun. 

Harli menuturkan, faktor kerugian negara juga sangat tergantung pada proses distribusi yang dilakukan oleh Pertamina pada saat kasus ini terjadi. 

Misalnya, BBM yang didistribusikan ternyata lebih rendah dari spesifikasi yang dibayarkan, selisih harga ini akan diperhitungkan dalam total kerugian negara.

Total 9 Tersangka

Dalam kasus ini, Kejagung sudah menetapkan sembilan orang tersangka.

Enam di antaranya, merupakan pejabat Pertamina Patra Niaga.

Adapun dua tersangka baru dalam kasus ini adalah Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga dan Edward Corne selaku VP Trading Produk Pertamina Patra Niaga.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung RI, Febrie Adriansyah mengatakan pihaknya menjemput paksa salah satu tersangka baru dalam kasus yang merugikan negara Rp 193 triliun tersebut. 

“Iya (tersangka baru dan ada yang dijemput paksa)," kata Febrie, Rabu (26/2/2025).

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar mengatakan, keduanya ditetapkan sebagai tersangka baru usai menjalani pemeriksaan.

"Penyidik telah menemukan bukti cukup bahwa kedua tersangka diduga melakukan tindak pidana bersama tujuh tersangka yang telah kami sampaikan," ujar Abdul Qohar dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu malam.

Abdul menjelaskan dua orang itu telah diperiksa sejak pukul 15.00 WIB dalam kapasitasnya sebagai saksi. Selanjutnya, penyidik menemukan bukti cukup tentang keterlibatan mereka di kasus korupsi itu. 

Penyidik pun langsung menahan Maya dan Edward untuk kepentingan penyidikan. Keduanya ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung. "Selanjutnya tim penyidik melakukan penahanan selama 20 hari ke depan," katanya.

Qohar menyebut kedua tersangka baru itu diduga terlibat dalam permufakatan jahat bersama dengan tujuh tersangka yang sebelumnya telah ditahan Kejagung.

Dia mengatakan, keduanya atas persetujuan atasan mereka melakukan pembelian BBM Ron 90 atau lebih rendah dengan harga BBM Ron 92. Hal itu diduga menyebabkan pembayaran lebih tinggi.

"Kemudian tersangka MK memerintahkan dan atau memberikan persetujuan kepada EJ untuk melakukan blending produk kilang pada jenis RON 88 dengan RON 92 agar dapat menghasilkan RON 92 di terminal PT Orbit Terminal Merak milik tersangka MKAR dan tersangka GRJ atau yang dijual dengan harga RON 92," ujarnya.

Kedua tersangka juga mengetahui dan menyetujui mark up kontrak pengiriman. Akibatnya, perusahaan mengeluarkan fee 13 persen hingga 15 persen dengan melawan hukum, di mana uang itu mengalir ke tersangka MKAR yang telah ditahan sebelumnya.

Kejagung mengungkap bahwa pengoplosan minyak mentah RON 92 alias Pertamax dengan mencampur minyak yang kualitasnya lebih rendah dilakukan di terminal dan perusahaan milik anak pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid, yaitu tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR).

Pengoplosan ini terjadi di terminal PT Orbit Terminal Merak yang dimiliki bersama-sama oleh Kerry dan tersangka GRJ. (*/tribunmedan.com)

(*/TRIBUN-MEDAN.com)

Sumber: Kompas/tribunnews/wartakakota

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved