Korupsi Pertamina
Kejagung Skakmat Pertamina Bantah Korupsi Oplos Pertamax, Temukan Bukti Geledah Perusahaan Chalid
Kejaksaan Agung (Kejagung) skakmat bantahan PT Pertamina Patra Niaga yang menyebut tidak ada pengoplosan.
TRIBUN-MEDAN.com - Heboh kasus korupsi Pertamina Patra Niaga, modus terkait pengoplosan RON 90 (Pertalite) menjadi RON 92 (Pertamax).
Kasus korupsi melibatkan Riva Siahaan sebagai Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga yag kini sudah dijadikan tersangka dan ditahan kejaksaan agung.
Sejumlah petinggi Pertamina Patra Niaga pun ikut terseret jadi tersangka.

Pertamina membantah tidak ada pengoplosan.
Namun, Kejaksaan Agung (Kejagung) skakmat bantahan PT Pertamina Patra Niaga yang menyebut tidak ada pengoplosan.
Pasalnya Kejagung memiliki sederet bukti terkait pengoplosan RON 90 (Pertalite) menjadi RON 92 (Pertamax).

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar menegaskan pihaknya bekerja dengan alat bukti.
"Tetapi penyidik menemukan tidak seperti itu. Ada RON 90 (Pertalite) atau di bawahnya 88 di-blending dengan 92 (Pertamax). Jadi RON dg RON sebagaimana yang sampaikan tadi," katanya di Kantor Kejagung, Rabu (26/2/2025) seperti dimuat Kompas.com.
Dia mengatakan, temuan tersebut berdasarkan keterangan saksi yang diperiksa penyidik. Bahkan, kata dia, bahan bakar minyak (BBM) oplosan tersebut dijual dengan harga Pertamax.
"Jadi hasil penyidikan, tadi saya sampaikan itu. RON 90 atau di bawahnya itu tadi fakta yang ada, dari keterangan saksi RON 88 di-blending dengan 92. Dan dipasarkan seharga 92," ungkapnya.
Baca juga: Skenario Liverpool Juara Liga Inggris Musim 2024/2025, tak Khawatir Kalah di 3 Laga
Terkait kepastian hal ini, pihaknya akan meminta ahli untuk meneliti hal tersebut. "Nanti ahli yang meneliti. Tapi fakta-fakta alat bukti yang ada seperti itu. Keterangan saksi menyatakan seperti itu," tuturnya.
Sebelumnya, dalam rapat dengan komisi XII DPR, PT Pertamina Patra Niaga mengakui adanya proses penambahan zat aditif pada BBM jenis Pertamax sebelum didistribusikan ke SPBU, Rabu (26/2/2025).
“Di Patra Niaga, kita terima di terminal itu sudah dalam bentuk RON 90 dan RON 92, tidak ada proses perubahan RON. Tetapi yang ada untuk Pertamax, kita tambahan aditif. Jadi di situ ada proses penambahan aditif dan proses penambahan warna,” ujar Pelaksana Tugas Harian (Pth) Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra.
Ega menekankan bahwa proses injeksi tersebut adalah proses umum dalam industri minyak. Tujuannya utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas produk.
“Meskipun sudah dalam RON 90 maupun RON 92, itu sifatnya masih best fuel, artinya belum ada aditif,” ucap Ega.
Namun, Ega memastikan bahwa penambahan zat aditif yang dilakukan, bukan berarti terjadi pengoplosan Pertamax dengan Pertalite. “Ketika kita menambahkan proses blending ini, tujuannya adalah untuk meningkatkan value daripada produk tersebut,” kata Ega.
“Jadi best fuel RON 92 ditambahkan aditif agar ada benefitnya, penambahan benefit untuk performance dari produk-produk ini,” sambungnya.
Selain itu, lanjut Ega, setiap produk yang diterima Pertamina telah melalui uji laboratorium guna memastikan kualitas BBM tetap terjaga hingga ke SPBU.
“Setelah kita terima di terminal, kami juga melakukan rutin pengujian kualitas produk. Nah, itu pun kita terus jaga sampai ke SPBU,” ungkap Ega.
Pertamina Mulai tak Dipercaya
Belakangan ini sedang heboh di media sosial pengendara kendaraan bermotor yang ramai-ramai mengisi bahan bakar minyak (BBM) di Shell.
Hal ini menyusul ketidak percayaan masyarakat terkait korupsi minyak mentah di tubuh Pertamina Patra Niaga yang diduga mengoplos Pertalite menjadi Pertamax.
Namun hal itu dibantah langsung oleh pihak Pertamina.
Pertamina menjelaskan proses pancampuran di depo atau terminal utama Bahan Bakar Minyak (BBM) bukanlah proses mengoplos.
Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari menyatakan, proses yang dilakukan di terminal utama BBM adalah proses injeksi warna (dyes) sebagai pembeda produk agar mudah dikenali masyarakat.
Selain itu juga ada injeksi additive yang berfungsi untuk meningkatkan performance produk Pertamax.
"Jadi bukan pengoplosan atau mengubah RON. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan kualitas Pertamax," kata Heppy dikutip dari laman resmi Pertamina, Kamis (27/2/2025).
Ia pun menegaskan, kualitas Pertamax dipastikan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah yakni RON 92.
Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina, lanjutnya, merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing, Pertalite memiliki RON 90 dan Pertamax memiliki RON 92.
"Spesifikasi yang disalurkan ke masyarakat dari awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah,” ujarnya.
Ia menyampaikan, Pertamina Patra Niaga melakukan prosedur dan pengawasan yang ketat dalam melaksanakan kegiatan Quality Control (QC). Distribusi BBM Pertamina juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
Heppy melanjutkan, Pertamina berkomitmen menjalankan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) untuk penyediaan produk yang dibutuhkan konsumen.
"Kami menaati prosedur untuk memastikan kualitas dan dalam distribusinya juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Migas,” ujarnya.
Geledah Perusahaan Minyak Riza Chalid
Kejaksaan Agung (Kejagung) gerak cepat (gercep) mengusut kasus bahan bakar minyak (BBM) Pertalite dioplos jadi Pertamax.
Penyidik Kejagung menggeledah PT Orbit Terminal Merak (PT OTM), perusahaan milik anak pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid, Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Penggeledahan ini dimulai pada Kamis (27/2/2025) pagi dan masih berlangsung hingga Kamis petang.
“Sejak tadi pagi, penyidik sudah melakukan penggeledahan juga di Cilegon, di Kota Cilegon ya, di satu tempat yaitu PT OTM yang diduga sebagai storage atau tempat depo, yang menampung minyak yang diimpor. Dan, itu sekarang sedang berlangsung juga,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum, Harli Siregar di kawasan Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis.
Harli menjelaskan, penggeledahan ini dilakukan untuk memeriksa keterkaitan antara kesaksian para tersangka dengan sejumlah dokumen yang ditemukan.
Selain itu, penyidik juga melakukan penggeledahan di sebuah rumah yang diduga milik Riza Chalid yang berada di Jalan Panglima Polim, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
“Sepertinya rumah (Riza Chalid), tapi apakah rumah ini juga digunakan sebagai kantor, nanti kita update lah, karena masih baru saja sedang berlangsung,” lanjut Harli.
Penyidik juga masih melakukan penggeledahan di rumah Riza Chalid yang berada di Jalan Jenggala 2 di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sejauh ini, dari rumah di Jalan Jenggala 2, penyidik telah menemukan dan menyita paling tidak 144 bundel berkas dokumen.
“Masih dilakukan penggeledahan lanjutan di rumah yang diduga sebagai kantor di Jalan Jenggala 2 itu. Dan, penyidik menemukan setidaknya 144 bundel berkas dokumen dan ini akan terus dipelajari apakah ada keterkaitan dengan perkara ini,” kata Harli lagi.
Setahun Kerugian Rp 193,7 Triliun
Kejagung menegaskan bahwa kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi Pertamina Patra Niaga akan lebih besar dari yang sudah diumumkan, yaitu Rp 193,7 triliun.
Sebab, kerugian Rp 193,7 triliun ini baru merupakan perhitungan dari tahun 2023 saja.
Sementara, kasus ini terjadi dari 2018 hingga 2023.
“Kemarin yang sudah disampaikan dirilis itu Rp 193,7 triliun, itu tahun 2023. Makanya, kita sampaikan, secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, ya berarti kan bisa dihitung, berarti kemungkinan lebih,” ujar Harli Siregar, Rabu (26/2/2025).
Namun, perhitungan pasti kerugian negara ini perlu dilakukan oleh ahli keuangan.
Besaran kerugian negara ini juga bisa jadi berbeda di tahun kejadian atau pada jumlah di masing-masing komponennya.
“Misalnya apakah setiap komponen itu di 2023 juga berlangsung di 2018, 2019, 2020, dan seterusnya. Kan, ini juga harus dilakukan pengecekan,” ujar Harli.
Berdasarkan keterangan resmi Kejagung, kerugian negara sementara mencapai Rp 193,7 triliun.
Kerugian ini terbagi menjadi lima komponen.
1. Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun.
2. Kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp 2,7 triliun.
3. Kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp 9 triliun.
4. Kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp 126 triliun.
5. Kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp 21 triliun.
Harli menuturkan, faktor kerugian negara juga sangat tergantung pada proses distribusi yang dilakukan oleh Pertamina pada saat kasus ini terjadi.
Misalnya, BBM yang didistribusikan ternyata lebih rendah dari spesifikasi yang dibayarkan, selisih harga ini akan diperhitungkan dalam total kerugian negara.
Total 9 Tersangka
Dalam kasus ini, Kejagung sudah menetapkan sembilan orang tersangka.
Enam di antaranya, merupakan pejabat Pertamina Patra Niaga.
Adapun dua tersangka baru dalam kasus ini adalah Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga dan Edward Corne selaku VP Trading Produk Pertamina Patra Niaga.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung RI, Febrie Adriansyah mengatakan pihaknya menjemput paksa salah satu tersangka baru dalam kasus yang merugikan negara Rp 193 triliun tersebut.
“Iya (tersangka baru dan ada yang dijemput paksa)," kata Febrie, Rabu (26/2/2025).
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar mengatakan, keduanya ditetapkan sebagai tersangka baru usai menjalani pemeriksaan.
"Penyidik telah menemukan bukti cukup bahwa kedua tersangka diduga melakukan tindak pidana bersama tujuh tersangka yang telah kami sampaikan," ujar Abdul Qohar dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu malam.
Abdul menjelaskan dua orang itu telah diperiksa sejak pukul 15.00 WIB dalam kapasitasnya sebagai saksi. Selanjutnya, penyidik menemukan bukti cukup tentang keterlibatan mereka di kasus korupsi itu.
Penyidik pun langsung menahan Maya dan Edward untuk kepentingan penyidikan. Keduanya ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung. "Selanjutnya tim penyidik melakukan penahanan selama 20 hari ke depan," katanya.
Qohar menyebut kedua tersangka baru itu diduga terlibat dalam permufakatan jahat bersama dengan tujuh tersangka yang sebelumnya telah ditahan Kejagung.
Dia mengatakan, keduanya atas persetujuan atasan mereka melakukan pembelian BBM Ron 90 atau lebih rendah dengan harga BBM Ron 92. Hal itu diduga menyebabkan pembayaran lebih tinggi.
"Kemudian tersangka MK memerintahkan dan atau memberikan persetujuan kepada EJ untuk melakukan blending produk kilang pada jenis RON 88 dengan RON 92 agar dapat menghasilkan RON 92 di terminal PT Orbit Terminal Merak milik tersangka MKAR dan tersangka GRJ atau yang dijual dengan harga RON 92," ujarnya.
Kedua tersangka juga mengetahui dan menyetujui mark up kontrak pengiriman. Akibatnya, perusahaan mengeluarkan fee 13 persen hingga 15 persen dengan melawan hukum, di mana uang itu mengalir ke tersangka MKAR yang telah ditahan sebelumnya.
Kejagung mengungkap bahwa pengoplosan minyak mentah RON 92 alias Pertamax dengan mencampur minyak yang kualitasnya lebih rendah dilakukan di terminal dan perusahaan milik anak pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid, yaitu tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR).
Pengoplosan ini terjadi di terminal PT Orbit Terminal Merak yang dimiliki bersama-sama oleh Kerry dan tersangka GRJ. (*/tribunmedan.com)
(*/TRIBUN-MEDAN.com)
Sumber: Kompas/tribunnews/wartakakota
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.