Breaking News

Catatan Bulu Tangkis

Piala Sudirman Masih Jauh, tapi Tidak Menyesakkan

Dick Sudirman turut serta membidani kelahiran Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI)

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Ayu Prasandi
instagram/@badminton.ina
KEMBALIKAN BOLA - Pebulutangkis tunggal putra Indonesia, Alwi Fahran, mengembalikan bola pada pertandingan semifinal Piala Sudirman versus Korea Selatan di Fenghuang Gymnasium, Xiamen, China, Sabtu (3/5). Indonesia kalah 2-3 dan gagal melaju ke babak final.  

TRIBUN-MEDAN.com- Di antara tiga supremasi bulu tangkis beregu dunia, hanya satu yang jauh dari jangkuan Indonesia.

Supremasi yang dari namanya justru sangat Indonesia, Sudirman.

Indonesia berkali-kali merengkuh Piala Thomas. 

Catatan Badminton World Federation (BWF), 14 kali, terakhir kali di tahun 2020. Di Uber Cup, putri-putri Indonesia, pernah tiga kali memboyongnya ke tanah air, yakni pada tahun 1975, 1994, dan 1996.

Namun tidak Sudirman Cup.

Sejak dipertandingkan pertama kali di tahun 1989, kejuaraan bulu tangkis yang mengusung format campuran putra dan putri ini (dua tunggal, dua ganda, dan satu ganda campuran), Indonesia baru merengkuhnya satu kali.

Satu-satunya di tahun 1989 itu, pada penyelenggaraannya yang pertama di Jakarta. Saat itu Indonesia menghadapi Korea Selatan di partai puncak dan menang 3-2.

Sudirman pada tropi kejuaraan ini berasal dari nama Doktorandus (Drs) Dick Sudirman.

Ia pemain bulu tangkis, yang pada dasarnya tidak terlalu ternama, tapi memiliki kecakapan yang luar biasa dalam berorganisasi.

Dick Sudirman turut serta membidani kelahiran Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) dan kemudian menjadi ketuanya selama 22 tahun, dalam dua periode (1952-1963 dan berlanjut 1967-1981).

Berseiring, ia berkiprah pula di International Badminton Federation (IBF), otoritas bulu tangkis dunia sebelum bermetamorfosa menjadi BWF. Dick Sudirman menjabat Wakil Ketua IBF selama delapan tahun, 1975-1983.

Dick Sudirman meninggal dunia pada 10 Juni 1983, dan enam tahun berselang, IBF yang berencana membuat supremasi ketiga setelah Thomas dan Uber Cup, menerima usulan Indonesia untuk mengabadikan namanya, untuk menghormatinya sekaligus mengenang jasa-jasanya bagi bulutangkis dunia.

Setelah di Jakarta 1989, Indonesia sebenarnya tidak “tenggelam-tenggelam amat”. Setidaknya enam kali Indonesia mampu melangkah hingga laga pamungkas.

Namun memang, sejak Glasgow 2007, final kian sulit diraih. Edisi 2009, 2011, 2015, dan 2019, Indonesia terhenti di semifinal.

KALAH - Pebulutangkis Indonesia Siti Fadia Silva Ramadhanti mengembalikan bola pada pertandingan semifinal Piala Sudirman versus Korea Selatan di Fenghuang Gymnasium, Xiamen, China, Sabtu (3/5). Indonesia kalah 2-3 dari Korea dan gagal melaju ke babak final.
KALAH - Pebulutangkis Indonesia Siti Fadia Silva Ramadhanti mengembalikan bola pada pertandingan semifinal Piala Sudirman versus Korea Selatan di Fenghuang Gymnasium, Xiamen, China, Sabtu (3/5). Indonesia kalah 2-3 dari Korea dan gagal melaju ke babak final. (instagram/@badminton.ina)

Dua edisi terakhir bahkan terhenti di perempat final: 2021 dihentikan Malaysia 3-2 dan di 2023 dibekap China 3-0.

Banyak faktor yang menyebabkan kerontokan ini.

Indonesia masih menakutkan di turnamen-turnamen BWF, tapi tak lagi solid di turnamen beregu.

Penyebabnya adalah ketidakseimbangan kekuatan antarsektor. Indonesia tidak pernah bisa menyamai China yang solid di semua sektor. Atau paling tidak di tiga sektor.

Mereka pernah agak goyah di tunggal dan ganda putra, tapi tunggal putri, ganda putri, dan ganda campuran betul-betul untouchable, sama sekali tak tersentuh, nyaris mustahil untuk dikalahkan.

Indonesia sebaliknya. Pada sektor-sektor yang terbilang kuat pun, sebutlah tunggal putra dan ganda putra, terkadang masih bisa kecolongan.

Pada medio 2021-2023, Indonesia sempat menempatkan lima ganda putra bercokol di jajaran 20 besar, dan dua tunggal putra di kelompok 10 besar.

Semestinya ini bisa jadi kartu-kartu truf. Nyatanya tidak demikian. Ganda-ganda putra tidak selalu bisa menyumbangkan poin.

Tunggal putra juga. Sementara di tiga nomor lain, Indonesia sekadar medioker.

Tunggal putri, sejak era Susi Susanti, belum pernah ada lagi pemain yang betul-betul cemerlang.

Gregoria Mariska Tunjung menakjubkan secara teknis. Di performa terbaiknya, Gregoria bisa mengalahkan siapa saja, tapi ia angin-anginan. Ganda putri pernah melahirkan juara olimpiade.

Namun sayang, medali itu diraih di penghujung karier Greysia Polii.

Setelah Olimpiade ia pensiun, dan pasangan yang ia tinggalkan Apriyani Rahayu, tak pernah bisa klop dengan pasangan-pasangannya yang lain.

Bagaimana ganda campuran? Ini sebenarnya paling menyesakkan. Bertahun-tahun lalu, Indonesia punya Tontowi Ahmad dan Lilyana Natsir. Pelapis mereka juga ciamik, Praveen dan Debby Susanto.

Tahun 2016 Jordan/Debby memenangkan All England, dan Jordan mengulangnya pada 2020, saat berpasangan dengan Melati Daeva Oktavianti.

Namun setelah pasangan-pasangan ini menurun, tidak ada lagi pengganti dan sektor ganda campuran menjadi titik paling lemah.

Atas hitung-hitungan ini pulalah, tidak banyak yang menaruh harap pada Tim Nasional Bulutangkis Indonesia yang bertolak ke Piala Sudirman 2025 yang digelar di Kota Xiamen, China.

Lolos dari fase grup saja sudah dianggap bagus. Selain komposisi kekuatan yang tidak merata, dalam tim juga tidak ada Anthony Sinisuka Ginting dan Gregoria Mariska Tunjung.

Keduanya dicoret karena sedang bermasalah dengan kebugaran. Kondisi Fajar Alfian dan Muhammad Rian Ardianto, ganda putra paling berpengalaman, juga tidak terlalu fit meski keduanya kemudian tetap disertakan.

Nyatanya, Indonesia melaju sampai ke semifinal, mengulang pencapaian terakhir di Nanning. Di empat besar, Indonesia menghadapi Korea dan akhirnya kalah 2-3. Final kembali gagal diraih, Piala Sudirman masih jauh untuk direngkuh.

Namun kekalahan kali ini, rasa-rasanya, tidak terlalu menyesakkan. Bukan lantaran melejit jauh dari bayangan semula, tetapi pada performa dan semangat yang ditunjukkan oleh semua pemain Indonesia.

Performa dan semangat yang luar biasa. Terutama pemain-pemain muda seperti Mohammad Zaki Ubaidillah dan Alwi Farhan.

Keduanya baru berusia 17 dan 19, tapi bermain di lapangan seperti pemain yang sudah kenyang makan asam-garam.

Seperti pemain yang sudah bertahun-tahun jadi tulang punggung. Mereka tidak kenal takut, dan terus berjuang sampai pertandingan benar-benar tiba pada angka terakhir.

Di final, Alwi jadi bintang. Pun ganda putra Muhammad Shohibul Fikri dan Bagas Maulana yang menekuk Kim Won-ho dan Seo Seung-jae.

Determinasi tinggi, bola-bola cepat dan tajam, disuguhkan sepanjang pertandingan. Set ketiga, di mana mereka unggul 25-23, menunjukkan betapa kuat mental anak-anak muda ini.

Namun acungan jempol paling tinggi, tak keliru dialamatkan pada Putri Kusuma Wardhani dan Siti Fadia Silva Ramadhanti.

Turun di partai kedua, Putri KW, begitu namanya sering dituliskan, berhadapan dengan “raksasa”.

Pemain pilih tanding, yang bahkan belum terkalahkan sepanjang tahun kompetisi 2025, An Se-young. Prediksinya tentu mudah. Putri KW akan kalah dengan mudah, mungkin dua set, dengan “skor Afrika”.

Nyatanya tidak. Putri KW melawan. Dia kalah, tapi catatannya sepanjang turnamen ini sungguh ciamik. Dia mampu menjawab tantangan, membopong beban ketidakhadiran Gregoria. 

Fadia? Dia bermain di partai yang menjadi penentu kekalahan Indonesia.

Berpasangan dengan Amallia Cahaya Pratiwi, ia gagal melewati adangan ganda Korea Selatan, Baek Ha Na/Lee So Hee. Bermain panjang tiga set, Fadia/Tiwi takluk 10-21, 21-18, 15-21.

Mereka kalah, tapi tak lantas jadi pecundang. Khususnya Fadia, dia bermain dua kali.

Sebelumnya, di partai pertama, ia bersama Dejan Ferdinansyah menghadapi ganda campuran Korea yang terkenal solid, Seo Seung Jae/Chae Yu Jung.

Terbayang betapa melelahkannya, dan Fadia melakukannya. Dia bisa, dia kalah, dan baru pada akhir laga dia benar-benar menangis.

Namun dia menangis dalam peluk hangat jutaan rakyat Indonesia, para penonton dan pendukung bulu tangkis Indonesia, yang agaknya sadar betul bahwa kali ini memang sama sekali tidak ada celah untuk menggerutu, menghujat, apalagi memaki.

(t agus khaidir)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter   dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved