Dari Akademisi ke Aksi: AI Membantu Peneliti Indonesia Atasi Penyakit Zoonosis dari Tikus
Dari Akademisi ke Aksi: AI Membantu Peneliti Indonesia Atasi Penyakit Zoonosis dari Tikus
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Tim peneliti multidisiplin dari Indonesia membuat terobosan pencegahan penyakit zoonosis melalui pengembangan RodentWatch, platform surveilans penyakit infeksi berbasis kecerdasan buatan yang dirancang untuk memprediksi dan mengurangi wabah infeksi tular tikus seperti leptospirosis.
Tim tersebut terdiri dari tiga akademisi Universitas Sumatera Utara yaitu Dr. Sunna Vyatra Hutagalung (Pakar Kedokteran Tropis), Dr. Anita Zaitunah (Pakar Teknologi Spasial), Dr. Erna Budhiarti Nababan (Pakar Sains Data dan Kecerdasan Buatan), serta dosen Universitas Tjut Nyak Dhien Dr. Rita Rosmala Dewi (Pakar Epidemiologi Veteriner). Bersama, mereka mengintegrasikan keilmuan kesehatan manusia, kedokteran hewan, data lingkungan dan analisis spasial, serta data sains dan kecerdasan buatan, untuk mengubah cara masyarakat dan otoritas kesehatan masyarakat menanggapi ancaman infeksi zoonosis emerging yang muncul di era perubahan iklim.
Mengatasi Ancaman Kesehatan Masyarakat yang Persisten
Leptospirosis merupakan penyakit infeksi bakteri yang ditularkan melalui kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi urin hewan pengerat seperti tikus, menyebabkan demam tinggi mendadak, sakit kepala, nyeri otot, mual, muntah, diare, dan mata merah, bahkan gagal ginjal dan kematian pada manusia.
Selain itu, infeksinya juga dapat menurukan produktivitas ternak dan kerugian ekonomi. Banyak kasus tidak dilaporkan, atau dikategorikan sebagai demam dengue, karena kapasitas pengawasan yang terbatas, sumber daya diagnostik yang tidak mencukupi, dan kesadaran masyarakat yang rendah. Metode surveilans tradisional yang hanya mengandalkan data kasus retrospektif belum mampu mengantisipasi wabah maupun memperhitungkan faktor penunjang lain seperti banjir musiman, pola penggunaan lahan, kesalahan pengelolaan limbah, serta faktor perilaku karena rendahnya kesadaran.
RodentWatch berupaya menjembatani kesenjangan ini melalui pendekatan terintegrasi berbasis data. Sistem ini menggabungkan pemodelan risiko berbasis kecerdasan buatan dengan data spasial dan lingkungan, untuk mengidentifikasi zona rawan leptospirosis dan memberikan peringatan dini melalui saluran digital yang dapat diakses seperti pesan teks dan media sosial. Platform ini juga menggabungkan modul edukasi berbasis story telling, memberdayakan petugas kesehatan, masyarakat, dan petani untuk mengadopsi perilaku pencegahan dan praktik pertanian berkelanjutan.
Memperluas Cakrawala Akademik melalui Kolaborasi Global
Partisipasi tim dalam program inkubasi SingHealth Duke-NUS Global Health Innovation Hackathon, yang dikoordinir oleh Daniel Mahadzir dan Jonas Karlström, menandai titik balik penting dalam perjalanan tim. Berasal dari latar belakang yang didominasi akademis dan berorientasi penelitian, pengalaman tersebut memperkenalkan mereka pada dimensi baru inovasi, kewirausahaan, dan pendekatan system thinking. Melalui lokakarya, bimbingan, dan kolaborasi interdisipliner, program inkubasi ini memberikan paparan berharga untuk proses transformasi konsep penelitian menjadi solusi praktis yang berpusat pada pengguna.
Selama masa inkubasi enam bulan, tim terlibat dalam sesi langsung yang memperdalam pemahaman mereka tentang desain produk, integrasi sistem kesehatan, dan keterlibatan pemangku kepentingan. Lebih lanjut, tim mengakui bahwa keunggulan ilmiah saja belum cukup untuk memastikan terciptanya dampak kesehatan masyarakat yang berkesinambungan. Solusi yang ditawarkan juga harus layak secara finansial dan berkelanjutan secara operasional, mampu menjangkau tidak hanya lingkungan ilmiah namun juga merangkul masyarakat dan pembuat kebijakan secara efektif.
Membangun Kerangka Kerja Berkelanjutan untuk Dampak
Misi RodentWatch bukan hanya terbatas pada deteksi penyakit. Dengan mengubah data menjadi tinjauan strategis masa depan yang dapat ditindaklanjuti, platform ini bertujuan untuk memberdayakan pembuat kebijakan dan masyarakat untuk mengantisipasi risiko, mengalokasikan sumber daya secara efisien, dan mempromosikan perilaku sehat, sebagai bagian dari upaya mitigasi dan pencegahan. Tim memproyeksikan terbentuknya sistem di masa depan yang juga menggabungkan kemampuan telemedicine untuk diagnosis dini dan pengobatan tepat cepat, serta perluasan cakupan ke patogen zoonosis yang ditularkan melalui hewan pengerat tikus lainnya.
Pengalaman dari program inkubasi ini memperkuat pentingnya kolaborasi antara akademisi, industri, dan sektor pemerintah untuk menghadapi tantangan perubahan dunia yang nyata. Dibekali dengan perspektif baru tentang inovasi dan keberlanjutan, tim menyempurnakan strategi mereka untuk implementasi nyata yang lebih luas di seluruh Indonesia, serta potensi pengembangan cakupan pada kawasan Asia-Pasifik yang lebih luas.
Ucapan Terima kasih
Tim menyampaikan apresiasi mendalam kepada SingHealth Duke-NUS Global Health Institute sebagai penyelenggara program inkubasi Global Health Innovation Hackathon 2025 , serta co-lead program Daniel Mahadzir dan Jonas Karlström atas bimbingan mereka yang luar biasa. Terima kasih juga ditujukan kepada para mentor: Farida Dwi Handayani dari BRIN, serta Dr. Iris Tan dan Dr. Indumathi Venkatachalam dari SingHealth Duke-NUS. Apresiasi turut ditujukan kepada Dekanat Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dengan ucapan terima kasih khusus kepada Wakil Dekan III; Dr. Inke Nadia D. Lubis. Dukungan mereka telah berperan penting dalam membantu tim RodentWatch menjembatani kesenjangan antara penelitian akademis dan inovasi yang dapat ditindaklanjuti, menunjukkan bagaimana sains, teknologi, dan kewirausahaan dapat bersatu untuk membangun komunitas yang lebih sehat dan tangguh.(*)
