TRIBUN-MEDAN.com- Sungguh, walau bertahun-tahun mengakrabi teh botol, saya belum lama tahu betapa minuman racikan ini berkaitpaut dengan banyak filosofi.
Dalam mitologi Tiongkok, misalnya, teh merupakan perlambang kesuburan.
Maka dari itu, dalam tiap-tiap pernikahan terdapat ritual yang disebut teh pai; keluarga mempelai laki-laki menghormati keluarga mempelai perempuan, sekaligus berharap pasangan yang baru disahkan sebagai suami-istri segera memperoleh keturunan.
Kemudian, dari seorang kawan yang memiliki tingkat kegemaran membaca lebih aduhai, saya diberitahu pula bahwa perkara teh dan serba-serbinya pernah terekam dalam satu kitab klasik Tiongkok, berjudul ‘Cha Jing’, ditulis (dan diselesaikan) oleh Lu Yu antara tahun 760 sampai 780.
Di sini dipapar secara detail mengenai jenis-jenis tanaman teh, bagaimana cara membudidayakan, bagaimana cara mengolahnya menjadi minuman, dan bagaimana pula tata cara menghidangkannya.
Kau tahu, kata kawan itu, jika dilakukan dengan baik dan benar, runut bagian per-bagian, maka untuk menuntaskan minum secangkir teh saja memang bisa jauh lebih ribet urusannya dari menetapkan hati untuk mencoblos orang-orang yang mengincar kursi dan jabatan di TPS.
Teh menurut Lu Yu dibagi ke dalam empat jenis yakni teh hijau (lu cha), teh merah (hong cha), teh wulung (wu long cha), dan teh bunga (hua cha). Pada masa Dinasti Tang (618-907), teh menyebar ke berbagai penjuru dunia lewat Jalur Sutra.
Tak terkecuali ke tanah Nusantara. Lidah pembawanya, meneer-meneer VOC, mengubah sebutan asli ‘te’ (dialek Fujian) dan ‘cha’ (dialek Tiongkok Utara), terutama ‘te’, menjadi ‘thee’.
Namun Belanda, mula-mula, tidak membawa teh masuk sebagai tradisi yang akan diasimilasi. Mereka punya tujuan lain.
Tujuan bisnis. Teh ditanam, secara paksa, dan hasilnya sebagian besar diekspor ke Inggris untuk dikonsumsi para bangsawan yang gemar meminumnya sore-sore, sambil menunggu senja.
Jadi berabad lalu, “anak-anak senja” ternyata ngeteh, bukan ngopi.
Sekarang, atas nama segmentasi pasar, teh tidak ditempatkan hanya di ruang-ruang dan momentum eksklusif. Teh menjadi bagian dari kebudayaan massa yang begitu fleksibel.
Dari cangkir-cangkir keramik, poci-poci tanah liat yang eksotis, teh kini bisa dengan mudah didapati di balik kaca-kaca lemari pendingin supermarket yang berembun, dalam kemasan-kemasan plastik.
Dengan beragam varian rasa pula.
Ada teh rasa leci, anggur, apel, markisa, peach, dan entah apa lagi.
Ada yang beraroma jasmine, ada yang dicampur madu, atau daun mint untuk memberikan kesan segar.
Untuk penyajian, ada yang ditubruk, ada juga yang dicelup.
Mereknya? Dari yang berizin sampai yang beredar dari tangan ke tangan tanpa menyertakan label halal MUI dan standarisasi BPOM, jumlahnya bisa ratusan, termasuk tentunya yang tanpa merek sama sekali, yang hanya ditambahkan beberapa sendok gula dan es batu dan dibanderol 5 ribuan saja, entah itu dijual di lapak atau dibawa berkeliling, dijunjung di kepala.
Di antara macam-macam teh ini, yang disebut terakhir sedang jadi perbincangan ramai.
Ihwal perkaranya adalah Miftah Maulana Habiburrahman, alias Gus Miftah, pendakwah yang ditarik masuk kabinet oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.
Saat tampil di acara pengajian dan selawatan yang digelar di Lapangan Drh Soepardi, Sawitan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 20 November 2024, Gus Miftah berinteraksi dengan seorang pedagang es teh yang berada di antara kerumunan massa di depan panggung.
Konon saat itu Gus Miftah sedang menyampaikan ceramah tentang konsep rezeki.
Sejumlah peserta pengajian dan selawatan kemudian berteriak agar Gus Miftah, dan orang-orang yang duduk di dekatnya di atas panggung, untuk membeli es teh yang dijual pedagang tersebut.
Teriakan ini didengar Gus Miftah, yang kemudian balik bertanya, dalam bahasa Jawa, “Es tehmu isih akeh ora?” –dalam bahasa Jawa, ‘isih akeh ora’ kurang lebih berarti ‘masih banyak atau tidak (?)’.
Tak jelas apa jawaban pedagang es teh.
Namun kemungkinan besar mengangguk, atau menjawab ‘masih’, hingga kemudian dari Gus Miftah meluncur kalimat yang melesatkan momentum ini jadi viral luar biasa di media sosial: “yo kono didol, goblok. Dolen disek, ngko ra kon payu, wes, takdir”.
Iya, sebut Gus Miftah, (jika masih banyak) sana dijual, goblok. “Kalau (sudah ada usaha menjual) tapi belum laku, itu takdir.”
Belakangan, persisnya setelah video momentum ini beredar di media sosial dan dengan cepat jadi viral (bahkan sempat trending topic nomor satu di ‘X’), Gus Miftah menyebut konteks kalimat-kalimatnya adalah sekadar guyonan, yang merupakan warna dari ceramah-ceramahnya selama ini.
Gus Miftah senang berguyon.
Rasa-rasanya, hampir semua orang di negeri ini tahu, baik yang suka maupun tak suka padanya.
Bahkan kadangkala guyon-guyonannya demikian nyelekit melebihi lontaran, katakanlah, para comic di program ‘Somasi’ besutan Deddy Corbuzier.
Di lain sisi, muncul pula selentingan bahwa Gus Miftah punya kebiasaan untuk membeli barang-barang dagangan para pedagang asongan yang hadir dalam pengajiannya.
Memborongnya, lalu membagi-bagikan kepada jemaahnya. Ini setidaknya bisa jadi penjelasan kenapa di video yang viral itu muncul beberapa kali teriakan ‘borongan’.
Namun terlepas dari canda atau bukan, kebiasaan atau bukan, ngenyek, melontar kata ‘goblok’ yang ditujukan kepada orang lain secara langsung di muka umum, tentu saja bukan perkara yang pantas.
Terlebih dengan kapasitas, dengan embel-embel Gus Mitfah sebagai pendakwah dan –sekaligus juga– pejabat negara.
Dia dilantik secara langsung dan mendapatkan gaji dari uang negara, dari pajak rakyat, yang di antaranya sangat mungkin berasal dari Sunhaji, 38 tahun, pedagang es teh itu.
Gus Miftah, konon setelah mendapatkan telepon dari Mayor Teddy, Sekretaris Kabinet yang berbicara mengatasnamakan Prabowo Subianto, meminta maaf kepada publik dan Sunhaji.
Dia menyalami Sunhaji, memeluknya, merangkulnya di bahu. Wartawan datang merekam peristiwa ini.
Persoalan selesai? Sepertinya belum. Bukan lantaran pada momentum tersebut tidak tersuguh es teh yang jadi akar sengkarut.
Melainkan karena gestur. Gus Mitfah adalah pihak yang bersalah –dan oleh sebab itu datang minta maaf– sebaliknya Sunhaji merupakan pihak yang hendak dimintai maaf.
Namun dalam video, gestur yang mencuat justru sebaliknya.
Sunhaji lebih kelihatan sebagai pesakitan ketimbang Gus Miftah.
Dia duduk “mengkerut” dan berkali-kali mengangguk-angguk takdim.
Sesekali tertawa tapi tak lepas. Seperti ada beban berat menggelayut di bahunya yang ringkih.
Tipikal sikap yang muncul secara alamiah jika berada dalam tekanan.
Tidak ada raut kebahagiaan di wajahnya. Sikap orang kalah.
Dan warganet Indonesia yang serba ganas menangkap gelagat ini, lalu bersepakat untuk kembali menjalankan peran mereka.
(t agus khaidir)