Metode Belajar Menyenangkan dan Bermakna, Cerita Guru Mengajar Anak Cerdas Istimewa

Menurut Tri, musik berperan penting untuk menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan para siswa.

Penulis: Husna Fadilla Tarigan | Editor: Eti Wahyuni
TRIBUN MEDAN/HUSNA
SISWA CIBI- Suasana lingkungan belajar di SMP Al Azhar Medan yang asri dan hijau, menjadi ruang nyaman bagi siswa program Cerdas Istimewa Bakat Istimewa (CIBI) untuk berkembang secara akademik dan karakter. 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Tidak semua ruang kelas berisi siswa dengan kemampuan rata-rata. Di SMA dan SMP Al Azhar Medan, ada ruang belajar khusus bagi mereka yang memiliki IQ di atas 130.

Program ini dikenal sebagai Cerdas Istimewa Bakat Istimewa atau CIBI, dan di sinilah guru seperti Tri Adinata dan yang lainnya menemukan tantangan sekaligus kebahagiaan tersendiri dalam mengajar.

Tri Adinata, guru musik yang sudah mengajar sejak 2012, mengatakan bahwa mengajar anak-anak CIBI justru terasa lebih mudah sekaligus menyenangkan.

“Hampir semua anak di kelas CIBI jago musik. Mereka cepat tangkap, suka menantang diri, dan tiap hari minta pelajaran lebih,” ujarnya.

Menurut Tri, musik berperan penting untuk menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan para siswa.

Baca juga: Reaksi Gubernur Dedi Mulyadi pada Rocky Gerung soal Kritik Pemuja KDM Ber-IQ 78

“Mereka bukan hanya cerdas secara akademik, tapi juga akhlaknya baik karena di sekolah ini juga dibekali ilmu agama,” tambahnya.

Tri mengaku selalu memakai metode demonstrasi atau praktik langsung dalam pembelajaran.

“Kalau suasana jenuh, kami belajar di luar kelas. Aktivitas mengajar yang sempat viral itu sebenarnya cuma dokumentasi, bukan niat supaya viral,” katanya sambil tersenyum.

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMP Al Azhar, Syaiful Anshari, menjelaskan bahwa program CIBI di Al Azhar ditujukan bagi anak-anak dengan IQ di atas 130.

“Mereka melalui tes psikotest dan akademik yang bekerja sama dengan lembaga psikologi dari USU,” katanya.

Siswa CIBI menempuh pendidikan lebih cepat dari reguler SD 5 tahun, SMP 2 tahun, dan SMA 2 tahun.

“Setiap kelas maksimal hanya 20 siswa agar fokus belajar tetap terjaga. Gurunya pun dipilih yang memahami gaya belajar percepatan,” ujarnya.

Syaiful menambahkan, gaya belajar anak-anak CIBI sangat beragam. Ada yang kinestetik, auditori, atau visual. Mereka bisa terlihat tidak fokus, tapi sebenarnya sedang memproses informasi lewat cara yang berbeda.

“Karena itu, metode belajarnya harus menyenangkan dan bermakna,” jelasnya.

Salah satu siswa CIBI, Daffa, mengaku menyukai pelajaran Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris sejak SD. Ia sering mengikuti olimpiade dan riset ilmiah.

“Saya suka menyelesaikan soal hitungan. Waktu SD saya pernah ke Ambon ikut Olimpiade Matematika dan dapat perunggu,” katanya.

Daffa juga menjadi ketua tim inovasi paving block dari sampah daur ulang yang membawanya ke ajang penemu muda internasional di Taiwan dan meraih medali perunggu.

“Awalnya lihat tumpukan sampah di kanal, saya pikir bisa jadi bahan inovasi. Akhirnya kami campur dengan residu padi dan oli bekas, hasilnya bagus,” tuturnya.

Meski sibuk sekolah dan les, Daffa tetap punya waktu berenang dan membaca. “Kami nggak terbebani walau kelasnya percepatan. Mungkin karena kami memang siap untuk itu,” ujarnya.

Ia pun sudah menatap masa depan dengan cita-cita menjadi programmer di bidang kecerdasan buatan (AI).

Guru Matematika CIBI, Anggita Ulan, mengatakan bahwa anak-anak CIBI memiliki rasa ingin tahu tinggi dan kemampuan nalar cepat.

“Mereka sering bertanya hal-hal tak terduga, misalnya kenapa Menara Pisa harus miring. Jadi, kita juga harus siap dengan jawaban yang logis dan menarik,” ujarnya sambil tertawa.

Menurutnya, tantangan terbesar bukan di akademik, tapi di hubungan sosial. Anak CIBI cenderung hanya nyaman dengan teman yang sefrekuensi.

“Kalau nggak nyambung, mereka tinggalin. Tapi tanggung jawab belajarnya tinggi sekali,” kata Anggita yang sudah delapan tahun mengajar di kelas akselerasi.

Untuk menghindari kebosanan, ia sering membuat ice breaking, kuis interaktif, atau mengajak siswa ikut lomba. “Belajar seperti zaman dulu itu nggak bisa lagi. Anak-anak ini butuh variasi dan tantangan. Kadang kami keluar bareng, bahkan ke mal, supaya hubungan lebih dekat,” ujarnya.

Al Azhar Medan menjadi salah satu sekolah inklusif yang melayani siswa dengan beragam kebutuhan, reguler, inklusif, dan CIBI. “Kami ingin setiap anak belajar sesuai potensinya,” ujar Syaiful.

Program CIBI di sekolah ini bukan hanya mencetak siswa ber-IQ tinggi, tapi juga membentuk pribadi berakhlak dan berjiwa sosial.

“Tujuan kami sederhana anak-anak ini cerdas, bahagia, dan siap jadi manusia yang memberi manfaat,” tutupnya.

 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved