Berita Viral
Masih Ingat Tragedi Menimpa Kiai, Warga NU Diintimidasi, Gus Mus Tolak Gelar Pahlawan Soeharto
Polemik pemberian gelar Pahlawan Nasional pada Soeharto masih jadi sorotan. KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus secara tegas menola
Ringkasan Berita:Polemik Gelar Pahlawan Nasional pada Soeharto
- Soeharto, bakal mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada momentum Hari Pahlawan Nasional 10 November.
- Gus Mus mengingatkan bahwa banyak tragedi menimpa kiai, santri, dan warga NU selama Orde Baru.
- Eks penyidik KPK M Praswad Nugraha menyebut, alasan pelengseran Soeharto 1998 yakni maraknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
TRIBUN-MEDAN.com - Polemik pemberian gelar Pahlawan Nasional pada Soeharto masih jadi sorotan.
Seperti diberitakan, Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, bakal mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada momentum Hari Pahlawan Nasional 10 November.
KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus secara tegas menolak rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
“Saya ini orang yang paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu, dikutip dari NU Online.
Penolakan Gus Mus bukan tanpa alasan.
Ia mengungkapkan bahwa selama masa Orde Baru, banyak ulama pesantren dan warga Nahdlatul Ulama (NU) mengalami perlakuan tidak adil.
“Banyak kiai yang dimasukin sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, yang suruh pasang malah dirobohin oleh bupati-bupati. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri, akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” ungkap Gus Mus di kediamannya di Leteh, Rembang, Jawa Tengah.
Ia juga mengenang bagaimana Kiai Sahal Mahfudh pernah didatangi pengurus Golkar Jawa Tengah yang memintanya menjadi penasihat partai.
“Kiai Sahal tidak mau, saya menyaksikan sendiri,” imbuhnya.
Menurut Gus Mus, banyak ulama dan pejuang bangsa yang memiliki jasa besar, namun keluarganya tidak pernah mengusulkan gelar pahlawan demi menjaga keikhlasan amal mereka.
“Banyak kiai yang dulu berjuang, tapi keluarganya tidak ingin mengajukan gelar pahlawan. Alasannya supaya amal kebaikannya tidak berkurang di mata Allah. Kalau istilahnya, menghindari riya’,” jelas Rais Aam PBNU periode 2014–2015 itu.
Ia menilai, jika ada warga NU yang mendukung Soeharto sebagai pahlawan, itu menunjukkan ketidaktahuan terhadap sejarah kelam masa Orde Baru.
“Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah,” tegas pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin itu.
Gus Mus mengingatkan bahwa banyak tragedi menimpa kiai, santri, dan warga NU selama Orde Baru.
Salah satunya terjadi saat Pemilu 1971 di Losarang, Indramayu—basis kuat Partai NU—di mana warga mengalami intimidasi, teror, hingga perlakuan sadis.
Pelengseran Soeharto 1998 soal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Alasan utama pelengseran Soeharto pada 1998 lalu diingatkan lagi oleh Mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), M Praswad Nugraha.
Praswad menyebut, alasan utama pelengseran Soeharto pada era reformasi kala itu, yakni maraknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Dia melontarkan kritik keras terkait keputusan pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.
Menurutnya, langkah ini berpotensi menjadi masalah mendasar pasca-reformasi dan mencederai semangat anti-korupsi.
Baca juga: Redenominasi Rupiah yang Diwacanakan Purbaya Pernah Berlaku Tahun 1959, Ternyata Ini Manfaatnya
"Soeharto diturunkan karena persoalan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang merajalela," kata Praswad dalam keterangannya, Senin (10/11/2025).
Ia memandang, dari sudut pandang kampanye anti-korupsi, pemberian gelar ini sangat problematis.
Praswad menilai, menempatkan Soeharto—tokoh yang diturunkan karena isu korupsi—sejajar dengan pahlawan lain seperti Wakil Presiden Indonesia pertama, Mohammad Hatta, yang dikenal sebagai tokoh anti-korupsi, adalah sebuah ironi.
"Ini bukanlah preseden yang baik serta dapat menyebabkan adanya pembelokan sejarah yang dilakukan secara nyata," ujarnya.
Praswad juga mendesak pemerintah untuk lebih menahan diri dalam mengambil kebijakan yang bersifat kontroversial dan mengabaikan suara publik.
"Pemerintah harusnya dapat menahan diri untuk melakukan kebijakan yang kontroversial," katanya.
Ia mengkritik tindakan yang dinilainya sebagai upaya menyenangkan presiden tanpa mempertimbangkan risiko kekecewaan publik.
Menurut Praswad, pemerintah seharusnya belajar dari sejarah dan membaca penolakan masif yang selama ini muncul terkait usulan gelar pahlawan bagi Soeharto.
"Tindakan para oknum di pemerintahan yang berupaya menyenangkan presiden tanpa memberikan pertimbangan resiko kekecewaan publik menjadi persoalan yang berpotensi melahirkan kebijakan yang koruptif dan tidak partisipatif," katanya.
Wacana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto yang akan diumumkan hari ini, Senin (10/11/2025), menuai kritik tajam dari para pegiat anti-korupsi.
IM57+ Institute, organisasi yang mewadahi para mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menilai langkah ini sebagai bentuk pengaburan sejarah koruptif di Indonesia.
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, yang juga merupakan mantan penyidik KPK, menyatakan bahwa pemberian gelar ini ironis di tengah upaya pemulihan aset hasil kejahatan Soeharto yang masih berlangsung.
"Saat berbagai upaya untuk memulihkan aset hasil kejahatan Soeharto dilakukan, pada sisi lain, malah terdapat penegasan status Soeharto menjadi pahlawan," kata Lakso dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/11/2025).
Lakso mempertanyakan kelayakan seorang presiden yang memiliki sejarah dugaan keterlibatan korupsi untuk menyandang gelar pahlawan.
Menurutnya, hal ini berbahaya karena dapat menciptakan preseden buruk bagi para pemimpin di masa depan.
"Ini berbahaya karena akan membuat preseden bagi para presiden ke depan bahwa tidak masalah terlibat dalam skandal apapun, asalnya memiliki kekuasaan maka seluruh skandal seakan terhapus," ujar Lakso.
Lebih lanjut, ia mengkhawatirkan konsekuensi hukum dari status pahlawan tersebut.
Ia mempertanyakan apakah proses pemulihan aset yang terus berlanjut nantinya dapat dianggap sebagai penistaan karena menelusuri harta seorang pahlawan nasional.
IM57+ Institute, yang terdiri dari para mantan pegawai KPK yang disingkirkan melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang direkayawa juga menyoroti prioritas kebijakan pemerintah.
Menurut Lakso, di saat RUU Perampasan Aset yang krusial bagi pemberantasan korupsi belum juga disahkan, pemerintah justru sibuk memberikan gelar bagi sosok yang kontroversial karena isu korupsi.
"Prioritas yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat ini bisa menjadi tumpukan kekecewaan terhadap kinerja pemerintah ke depan," katanya.
Diberitakan, pemerintah akan mengumumkan secara resmi para penerima gelar Pahlawan Nasional tahun 2025 hari ini.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf sebelumnya mengungkapkan bahwa Dewan Gelar Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) telah menyerahkan 49 nama usulan kepada presiden.
Selain Soeharto, beberapa nama lain yang turut diusulkan dan mencuri perhatian publik adalah Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan aktivis buruh Marsinah.
Sebelumnya, usulan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto telah menuai perdebatan panjang.
500 Aktivis Menolak
Tercatat, sebanyak 500 aktivis dan akademisi telah menyatakan penolakan terhadap usulan tersebut.
Adapun rencana penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional sebelumnya telah dikonfirmasi oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi.
Saat ditemui di Kertanegara, Jakarta Selatan, Minggu (9/11/2025), Prasetyo membenarkan masuknya nama Soeharto dalam daftar penerima gelar.
"Ya, masuk, masuk. Besok (hari ini), Insya Allah akan diumumkan. Kurang lebih sepuluh nama," kata Prasetyo.
Gelombang penolakan pemberian gelar pahlawan nasional pada mantan Predisen RI Soeharto terus bermunculan.
Sebelumnya, korban atau penyintas tragedi Tanjung Priok 1984, menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto.
Aktivis korban penyintas tragedi 1965, Bedjo Untung hingga 468 tokoh juga menolak.
Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, bakal mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada momentum Hari Pahlawan Nasional 10 November.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi saat di Kertanegara, Selong, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (9/11/2025) mengonfirmasi hal tersebut.
Nama Soeharto masuk bersama sembilan tokoh lainnya.
“Ya, masuk, masuk (Soeharto),” ujarnya saat dikonfirmasi soal masuknya Soeharto sebagai penerima gelar Pahlawan Nasional, dikutip dari Kompas.com, Minggu.
(*/TRIBUN-MEDAN.com)
Sumber: tribunnews.com
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/MANTAN-PRESIDEN-SOEHARTO-Mantan-Presiden-atau-Presiden-RI-kedua-Soeharto.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.