Berita Viral

Putri Gus Dur Pertanyakan Rekam Jejak Soeharto, Gelar Pahlawan Prematur,Banyak PR Belum Diselesaikan

Sehari pasca penobatan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI kedua, Soeharto masih jadi perdebatan.

|
Editor: Salomo Tarigan
Kolase Tribunwoiw
PUTRI GUS DUR - Foto Putri Gus Dur Alissa Qotrunnada Wahid dan Gus Dur 

TRIBUN-MEDAN.com - Sehari pasca penobatan, gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI kedua, Soeharto masih jadi perdebatan.

Kali ini, respons muncul dari Aktivis kemanusiaan dan Direktur Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Qotrunnada Wahid.

Seperti diketahui, penobatan Soeharto sebagai pahlawan menuai pro-kontra.

Bagaimana pendapat Putri Gus Dur Alissa ?

Gelar Prematur

 Alissa menegaskan bahwa gelar pahlawan tersebut masih prematur mengingat adanya sejumlah "pekerjaan rumah" (PR) besar yang belum diselesaikan.

Alissa menjelaskan, pemberian gelar Pahlawan Nasional tidak bisa dilepaskan dari tiga kriteria fundamental yang bahkan tertuang dalam undang-undang.

Hal itu disampaikan Alissa Wahid saat sesi wawancara khusus dengan Tribunnews, Senin (10/11/2025).

"Pertama, bagaimana orang dihargai menjadi pahlawan, itu karena integritas moral. Kedua, kesediaan untuk mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan integritas moral tersebut. Dan yang ketiga adalah, bagaimana perjuangan tersebut itu adalah untuk rakyat banyak," ujar Alissa.

Berdasarkan tiga pilar inilah, menurut Alissa, rekam jejak kepemimpinan Soeharto masih menyisakan banyak pertanyaan.

"Dari tiga hal ini, menurut kami ada banyak PR terkait dengan Presiden Soeharto. Selama PR itu belum diselesaikan, maka sebetulnya kita belum bisa untuk menyebut beliau sebagai pahlawan nasional, karena ada banyak pihak yang mereka menjadi korban dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Presiden Soeharto," tegas putri dari Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.

Alissa kemudian menyoroti upaya yang sempat digagas di era Presiden BJ Habibie, yaitu pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Komisi ini, yang bahkan telah dikirim ke Afrika Selatan untuk mempelajari model KKR di sana, dimaksudkan sebagai jalan untuk menyembuhkan luka sejarah.

"Ia (Soeharto) selalu menyatakan bahwa kita harus, pada akhirnya kita akan memaafkan Pak Soeharto, tapi harus melalui proses rekonsiliasi, Kebenaran dan Rekonsiliasi itu," jelas Alissa.

Dia pun mengapresiasi model yang diterapkan Nelson Mandela pasca-apartheid di Afrika Selatan sebagai contoh yang baik. Dalam model tersebut, semua pihak yang diduga melakukan pelanggaran HAM harus melalui proses pengadilan terlebih dahulu.

"Setelah kemudian dibuktikan dan mengakui—jadi, kebenarannya itu sudah muncul—maka semua keluarga korban juga diminta untuk memaafkan. Itu membuat kemudian integrasinya, jadi masa fase sejarah itu selesai," papar Alissa.

Melalui proses seperti itu, lanjutnya, para korban dan keluarga korban akan merasa dihargai pengorbanannya.

Mereka diakui sebagai korban, dan pada saat yang sama, mereka diberikan ruang untuk menutup bab kelam tersebut sebelum bangsa ini melangkah maju.

"Yang korban tidak merasa dikhianati dan dihargai pengorbanannya; keluarga korban itu dihargai bahwa mereka menjadi korban, tetapi juga pada saat yang sama, mereka kemudian bisa menutup bab itu, kemudian maju ke langkah yang lebih progresif menuju kemajuan negaranya," imbuhnya.

Oleh karena itu, Alissa menekankan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan bukanlah pemberian gelar, melainkan klarifikasi dan penyelesaian masa lalu melalui proses yang adil dan bermartabat bagi semua pihak, terutama para korban.

"Jadi, itu dulu yang harus diklarifikasi, justru," pungkas Alissa Wahid.

Berikut petikan wawancara khusus dengan Aktivis kemanusiaan dan Direktur Nasional Jaringan Gusdurian sekaligus putri sulung Presiden keempat RI Gus Dur, Alissa Qotrunnada Wahid bersama Tribunnews;

Tanya: Mungkin Anda pasti juga menyuarakan hal ini, karena di pemberian Gelar Pahlawan Nasional tahun ini mendapat sorotan, karena ada sejumlah penolakan dari kelompok masyarakat terkait dengan pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto.

Bagaimana orang dihargai menjadi pahlawan, itu karena integritas moral. Karena apa namanya kesediaan untuk mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan integritas moral tersebut.

Lalu bagaimana perjuangan tersebut itu adalah untuk rakyat banyak. Nah, dan sebetulnya ini ada dalam undang-undang juga terkait dengan pemberian gelar pahlawan nasional ini menurut kami ada banyak PR terkait dengan Presiden Soeharto.

Nah, selama PR itu belum diselesaikan, maka sebetulnya kita belum bisa untuk menyebut beliau sebagai pahlawan nasional, karena ada banyak pihak yang mereka menjadi korban dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Presiden Soeharto.

Itu dulu yang harus diklarifikasi. Pada saat beliau menjadi presiden, beliau membuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Beliau selalu menyatakan bahwa kita harus, pada akhirnya kita akan memaafkan Pak Soeharto, tapi harus melalui proses rekonsiliasi, Kebenaran dan Rekonsiliasi itu.

Itu bahkan sudah dibentuk timnya, jadi komisinya itu sudah dibentuk, sudah dikirim ke Afrika Selatan untuk belajar dari Komisi Kebenaran, Keadilan, dan Rekonsiliasi yang dibuat oleh Nelson Mandela pada saat mereka selesai dari apartheid.

Nelson Mandela itu membuat sebuah konsep pendekatan di mana semua pihak yang melakukan pelanggaran HAM itu masuk dulu ke pengadilan. Setelah kemudian dibuktikan dan mengakui. Jadi, kebenarannya itu sudah muncul maka semua keluarga korban juga diminta untuk memaafkan. Itu membuat kemudian integrasinya, jadi masa fase sejarah itu selesai.

Yang korban tidak merasa dikhianati dan dihargai pengorbanannya; keluarga korban itu dihargai bahwa mereka menjadi korban, tetapi juga pada saat yang sama, mereka kemudian bisa menutup bab itu, kemudian maju ke langkah yang lebih progresif menuju kemajuan negaranya.

Sayangnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi itu waktu itu kemudian tidak dilanjutkan pada zaman Ibu Megawati, jadi memang tidak ada proses pengungkapan kebenarannya.

Ketika proses pengungkapan kebenarannya ini tidak ada sementara catatan dari pihak-pihak yang menjadi korban, kebijakan yang diambil oleh presiden Soeharto ini kan kemudian menjadi luka-luka lama yang sebetulnya belum sepenuhnya pulih itu, jadi meradang. Kita masih punya PR soal itu. 

Lebih kesana kami penolakannya itu. Lebih ke kriteria pahlawan nasional, itu ditentukan lebih konsisten, lalu kedua kalau masih ada PR luka-luka sejarah itu dulu yang harus diselesaikan.

Kalau kita tidak terbiasa menutup luka secara baik, luka sejarah bangsa secara baik maka ke depan hal-hal itu akan berulang terus dan ini lebih berbahaya. Barangkali hal-hal semacam ini kenapa terus berulang di Indonesia ya karena kita tidak belajar, belum selesai nih kita belajarnya. Kan kata orang bijak ‘sebuah pelajaran kehidupan itu akan berulang terus sampai kita memang kita mau berubah’.

Gus Mus Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Banyak Kiai dan Warga NU Korban Intimidasi

 Polemik pemberian gelar Pahlawan Nasional pada Soeharto masih jadi sorotan.

Seperti diberitakan, Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada momentum Hari Pahlawan Nasional 10 November.

KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus secara tegas menolak rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

GUS MUS - KH. Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus.
GUS MUS - KH. Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus. (Tribun Jogja)

“Saya ini orang yang paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu, dikutip dari NU Online.

Penolakan Gus Mus bukan tanpa alasan.

Ia mengungkapkan bahwa selama masa Orde Baru, banyak ulama pesantren dan warga Nahdlatul Ulama (NU) mengalami perlakuan tidak adil.

“Banyak kiai yang dimasukin sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, yang suruh pasang malah dirobohin oleh bupati-bupati. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri, akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” ungkap Gus Mus di kediamannya di Leteh, Rembang, Jawa Tengah.

Ia juga mengenang bagaimana Kiai Sahal Mahfudh pernah didatangi pengurus Golkar Jawa Tengah yang memintanya menjadi penasihat partai.

“Kiai Sahal tidak mau, saya menyaksikan sendiri,” imbuhnya.

Menurut Gus Mus, banyak ulama dan pejuang bangsa yang memiliki jasa besar, namun keluarganya tidak pernah mengusulkan gelar pahlawan demi menjaga keikhlasan amal mereka.

“Banyak kiai yang dulu berjuang, tapi keluarganya tidak ingin mengajukan gelar pahlawan. Alasannya supaya amal kebaikannya tidak berkurang di mata Allah. Kalau istilahnya, menghindari riya’,” jelas Rais Aam PBNU periode 2014–2015 itu.

Ia menilai, jika ada warga NU yang mendukung Soeharto sebagai pahlawan, itu menunjukkan ketidaktahuan terhadap sejarah kelam masa Orde Baru.

“Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah,” tegas pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin itu.

Gus Mus mengingatkan bahwa banyak tragedi menimpa kiai, santri, dan warga NU selama Orde Baru.

Salah satunya terjadi saat Pemilu 1971 di Losarang, Indramayu—basis kuat Partai NU—di mana warga mengalami intimidasi, teror, hingga perlakuan sadis.

Pelengseran Soeharto 1998 soal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Alasan utama pelengseran Soeharto pada 1998 lalu diingatkan lagi oleh Mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), M Praswad Nugraha.

Praswad menyebut, alasan utama pelengseran Soeharto pada era reformasi kala itu, yakni maraknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Dia melontarkan kritik keras terkait keputusan pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto

Menurutnya, langkah ini berpotensi menjadi masalah mendasar pasca-reformasi dan mencederai semangat anti-korupsi.

Baca juga: Foto Marsinah dan Soeharto Jadi Sorotan, Dulu Heboh Marsinah Diduga Disekap di Markas Militer

Baca juga: Redenominasi Rupiah yang Diwacanakan Purbaya Pernah Berlaku Tahun 1959, Ternyata Ini Manfaatnya

"Soeharto diturunkan karena persoalan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang merajalela," kata Praswad dalam keterangannya, Senin (10/11/2025).

Ia memandang, dari sudut pandang kampanye anti-korupsi, pemberian gelar ini sangat problematis. 

Praswad menilai, menempatkan Soeharto—tokoh yang diturunkan karena isu korupsi—sejajar dengan pahlawan lain seperti Wakil Presiden Indonesia pertama, Mohammad Hatta, yang dikenal sebagai tokoh anti-korupsi, adalah sebuah ironi.

"Ini bukanlah preseden yang baik serta dapat menyebabkan adanya pembelokan sejarah yang dilakukan secara nyata," ujarnya.

Praswad juga mendesak pemerintah untuk lebih menahan diri dalam mengambil kebijakan yang bersifat kontroversial dan mengabaikan suara publik.

"Pemerintah harusnya dapat menahan diri untuk melakukan kebijakan yang kontroversial," katanya.

Ia mengkritik tindakan yang dinilainya sebagai upaya menyenangkan presiden tanpa mempertimbangkan risiko kekecewaan publik. 

Menurut Praswad, pemerintah seharusnya belajar dari sejarah dan membaca penolakan masif yang selama ini muncul terkait usulan gelar pahlawan bagi Soeharto.

"Tindakan para oknum di pemerintahan yang berupaya menyenangkan presiden tanpa memberikan pertimbangan resiko kekecewaan publik menjadi persoalan yang berpotensi melahirkan kebijakan yang koruptif dan tidak partisipatif," katanya.

Wacana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto yang akan diumumkan hari ini, Senin (10/11/2025), menuai kritik tajam dari para pegiat anti-korupsi. 


IM57+ Institute, organisasi yang mewadahi para mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menilai langkah ini sebagai bentuk pengaburan sejarah koruptif di Indonesia.


Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, yang juga merupakan mantan penyidik KPK, menyatakan bahwa pemberian gelar ini ironis di tengah upaya pemulihan aset hasil kejahatan Soeharto yang masih berlangsung.


"Saat berbagai upaya untuk memulihkan aset hasil kejahatan Soeharto dilakukan, pada sisi lain, malah terdapat penegasan status Soeharto menjadi pahlawan," kata Lakso dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/11/2025).


Lakso mempertanyakan kelayakan seorang presiden yang memiliki sejarah dugaan keterlibatan korupsi untuk menyandang gelar pahlawan


Menurutnya, hal ini berbahaya karena dapat menciptakan preseden buruk bagi para pemimpin di masa depan.


"Ini berbahaya karena akan membuat preseden bagi para presiden ke depan bahwa tidak masalah terlibat dalam skandal apapun, asalnya memiliki kekuasaan maka seluruh skandal seakan terhapus," ujar Lakso.


Lebih lanjut, ia mengkhawatirkan konsekuensi hukum dari status pahlawan tersebut. 


Ia mempertanyakan apakah proses pemulihan aset yang terus berlanjut nantinya dapat dianggap sebagai penistaan karena menelusuri harta seorang pahlawan nasional.

 

Baca juga: Terjepit di Lift, Peristiwa Tragis Menewaskan Seorang Teknisi di Sebuah Restoran

(*/TRIBUN-MEDAN.com)

Sumber: Tribunnews.com

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved