Berita Viral

Komnas HAM Keberatan Gelar Pahlawan Soeharto, Ungkit Berbagai Peristiwa Pelanggaran HAM Berat

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merespon, penetapan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dianggap tidak pantas.

Editor: Salomo Tarigan
Kolase Tribunnews/irwan RIsmawan
TOLAK GELAR PAHLAWAN SOEHARTO- Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan mengikuti Aksi Kamisan ke-885 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (6/11/2025). Aksi menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto . Senin (11/11/2025), Komnas HAM menyampaikan keprihatinan terkait pemberian gelar Pahlawan Nasional pada Soeharto. 

TRIBUN-MEDAN.com - Pro-kontra penobatan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto masih jadi perbincangan hangat.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merespon, penetapan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dianggap tidak pantas.

Komnas HAM menyatakan keberatan.

Ringkasan Berita:Polemik Gelar Pahlawan Nasional pada Soeharto
 
  • Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) keberatan pemberian gelar Pahlawan pada Soeharto
 
  • Penetapan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dianggap tidak pantas.
 
  • Pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto dinilai mencederai cita-cita Reformasi 1998 
 
  • Komnas HAM  prihatin dengan pemberian gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto.
 
  • Fakta sejarah dari berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat di masa pemerintahan Soeharto 1966-1998.

 


“Komnas HAM menyatakan keprihatinan dan keberatan atas penetapan almarhum Jenderal Besar (Purn) Soeharto sebagai pahlawan nasional pada 10 November 2025,” kata Ketua Komnas HAM Anis Hidayah dalam keterangannya, Senin (11/11/2025).

Ketua Komnas HAM Anis Hidayah
KETUA KOMNAS HAM - Ketua Komnas HAM Anis Hidayah


Pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto dinilai mencederai cita-cita Reformasi 1998 yang mengamanatkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Selain itu, pemberian gelar pahlawan nasional juga mencederai fakta sejarah dari berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi masa pemerintahan Soeharto 1966-1998.

Di antaranya peristiwa 1965/1966, peristiwa penembakan misterius, peristiwa Talangsari, peristiwa Tanjung Priok, dan penerapan DOM Aceh.

 

“Peristiwa-peristiwa tersebut telah diselidiki Komnas HAM dengan kesimpulan merupakan pelanggaran HAM yang berat sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” tegas Anis.

Kerusuhan Mei 1998 misalnya, berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, telah dinyatakan sebagai Pelanggaran HAM yang Berat, yaitu Kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU Pengadilan HAM.


Bentuk-bentuk kejahatan yang dimaksud yaitu pembunuhan; perampasan kemerdekaan; penyiksaan; perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; serta persekusi.
 

Komnas HAM pun menyinggung ihwal Presiden Joko Widodo pada 2023 telah menyatakan penyesalan dan mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM yang berat.

“Penetapan almarhum Soeharto tidak hanya melukai para korban pelanggaran HAM yang berat, namun juga keluarganya yang masih terus menuntut hak-haknya sampai saat ini,” tutur Anis.

Lebih lanjut, Anis menekankan, penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional tidak lantas memberikan impunitas atas berbagai kejahatan hak asasi manusia yang terjadi di masa pemerintahannya.

Bagi Komnas HAM, semua peristiwa pelanggaran HAM yang berat harus terus diproses, diusut, dan dituntaskan demi keadilan dan kebenaran yang hakiki.

“Pemerintah seharusnya lebih hati-hati dalam penetapan pahlawan nasional, karena gelar kehormatan tersebut akan menjadi inspirasi dan teladan anak bangsa terhadap jejak perjuangan, keadilan, dan kemanusiaan dalam upaya membangun bangsa melalui nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia,” kata Anis.

10 Tokoh

Pemberian gelar Pahlawan Nasional dihelat di Istana Presiden, Jakarta, Senin (10/11/2025).

Ada 10 tokoh yang mendapat gelar Pahlawan Nasional 2025:

  1. KH Abdurrahman Wahid (Bidang Perjuangan Politik dan Pendidikan Islam)
  2. Jenderal Besar TNI HM Soeharto (Bidang Perjuangan Bersenjata dan Politik)
  3. Marsinah (Bidang Perjuangan Sosial dan Kemanusiaan)
  4. Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja (Bidang Perjuangan Hukum dan Politik)
  5. Hajjah Rahmah El Yunusiyyah (Bidang Perjuangan Pendidikan Islam)
  6. Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo (Bidang Perjuangan Bersenjata)
  7. Sultan Muhammad Salahuddin (Bidang Perjuangan Pendidikan dan Diplomasi)
  8. Syaikhona Muhammad Kholil (Bidang Perjuangan Pendidikan Islam)
  9. Tuan Rondahaim Saragih (Bidang Perjuangan Bersenjata)
  10. Zainal Abidin Syah (Bidang Perjuangan Politik dan Diplomasi)

     

Gelar Pahlawan Prematur

Putri Gus Dur, Alissa Qotrunnada Wahid juga menolak penobatan Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto

A ktivis kemanusiaan dan Direktur Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa  menegaskan bahwa gelar pahlawan tersebut masih prematur mengingat adanya sejumlah "pekerjaan rumah" (PR) besar yang belum diselesaikan.

Alissa menjelaskan, pemberian gelar Pahlawan Nasional tidak bisa dilepaskan dari tiga kriteria fundamental yang bahkan tertuang dalam undang-undang.

Hal itu disampaikan Alissa Wahid saat sesi wawancara khusus dengan Tribunnews, Senin (10/11/2025).

"Pertama, bagaimana orang dihargai menjadi pahlawan, itu karena integritas moral. Kedua, kesediaan untuk mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan integritas moral tersebut. Dan yang ketiga adalah, bagaimana perjuangan tersebut itu adalah untuk rakyat banyak," ujar Alissa.

Berdasarkan tiga pilar inilah, menurut Alissa, rekam jejak kepemimpinan Soeharto masih menyisakan banyak pertanyaan.

"Dari tiga hal ini, menurut kami ada banyak PR terkait dengan Presiden Soeharto. Selama PR itu belum diselesaikan, maka sebetulnya kita belum bisa untuk menyebut beliau sebagai pahlawan nasional, karena ada banyak pihak yang mereka menjadi korban dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Presiden Soeharto," tegas putri dari Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.

Alissa kemudian menyoroti upaya yang sempat digagas di era Presiden BJ Habibie, yaitu pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Komisi ini, yang bahkan telah dikirim ke Afrika Selatan untuk mempelajari model KKR di sana, dimaksudkan sebagai jalan untuk menyembuhkan luka sejarah.

"Ia (Soeharto) selalu menyatakan bahwa kita harus, pada akhirnya kita akan memaafkan Pak Soeharto, tapi harus melalui proses rekonsiliasi, Kebenaran dan Rekonsiliasi itu," jelas Alissa.

Dia pun mengapresiasi model yang diterapkan Nelson Mandela pasca-apartheid di Afrika Selatan sebagai contoh yang baik. Dalam model tersebut, semua pihak yang diduga melakukan pelanggaran HAM harus melalui proses pengadilan terlebih dahulu.

"Setelah kemudian dibuktikan dan mengakui—jadi, kebenarannya itu sudah muncul—maka semua keluarga korban juga diminta untuk memaafkan. Itu membuat kemudian integrasinya, jadi masa fase sejarah itu selesai," papar Alissa.

Melalui proses seperti itu, lanjutnya, para korban dan keluarga korban akan merasa dihargai pengorbanannya.

Mereka diakui sebagai korban, dan pada saat yang sama, mereka diberikan ruang untuk menutup bab kelam tersebut sebelum bangsa ini melangkah maju.

"Yang korban tidak merasa dikhianati dan dihargai pengorbanannya; keluarga korban itu dihargai bahwa mereka menjadi korban, tetapi juga pada saat yang sama, mereka kemudian bisa menutup bab itu, kemudian maju ke langkah yang lebih progresif menuju kemajuan negaranya," imbuhnya.

Oleh karena itu, Alissa menekankan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan bukanlah pemberian gelar, melainkan klarifikasi dan penyelesaian masa lalu melalui proses yang adil dan bermartabat bagi semua pihak, terutama para korban.

"Jadi, itu dulu yang harus diklarifikasi, justru," pungkas Alissa Wahid.

Baca juga: Terjepit di Lift, Peristiwa Tragis Menewaskan Seorang Teknisi di Sebuah Restoran

Baca juga: MODUS ASN dan Istrinya Edarkan Narkoba di Hajatan di Sumsel, Berakhir Ditangkap Polisi

Gus Mus Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Banyak Kiai dan Warga NU Korban Intimidasi

 Polemik pemberian gelar Pahlawan Nasional pada Soeharto masih jadi sorotan.

Seperti diberitakan, Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada momentum Hari Pahlawan Nasional 10 November.

KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus secara tegas menolak rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

GUS MUS - KH. Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus.
GUS MUS - KH. Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus. (Tribun Jogja)

“Saya ini orang yang paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu, dikutip dari NU Online.

Penolakan Gus Mus bukan tanpa alasan.

Ia mengungkapkan bahwa selama masa Orde Baru, banyak ulama pesantren dan warga Nahdlatul Ulama (NU) mengalami perlakuan tidak adil.

“Banyak kiai yang dimasukin sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, yang suruh pasang malah dirobohin oleh bupati-bupati. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri, akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” ungkap Gus Mus di kediamannya di Leteh, Rembang, Jawa Tengah.

Ia juga mengenang bagaimana Kiai Sahal Mahfudh pernah didatangi pengurus Golkar Jawa Tengah yang memintanya menjadi penasihat partai.

“Kiai Sahal tidak mau, saya menyaksikan sendiri,” imbuhnya.

Menurut Gus Mus, banyak ulama dan pejuang bangsa yang memiliki jasa besar, namun keluarganya tidak pernah mengusulkan gelar pahlawan demi menjaga keikhlasan amal mereka.

“Banyak kiai yang dulu berjuang, tapi keluarganya tidak ingin mengajukan gelar pahlawan. Alasannya supaya amal kebaikannya tidak berkurang di mata Allah. Kalau istilahnya, menghindari riya’,” jelas Rais Aam PBNU periode 2014–2015 itu.

Ia menilai, jika ada warga NU yang mendukung Soeharto sebagai pahlawan, itu menunjukkan ketidaktahuan terhadap sejarah kelam masa Orde Baru.

“Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah,” tegas pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin itu.

Gus Mus mengingatkan bahwa banyak tragedi menimpa kiai, santri, dan warga NU selama Orde Baru.

Salah satunya terjadi saat Pemilu 1971 di Losarang, Indramayu—basis kuat Partai NU—di mana warga mengalami intimidasi, teror, hingga perlakuan sadis.

Pelengseran Soeharto 1998 soal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Alasan utama pelengseran Soeharto pada 1998 lalu diingatkan lagi oleh Mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), M Praswad Nugraha.

Praswad menyebut, alasan utama pelengseran Soeharto pada era reformasi kala itu, yakni maraknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Dia melontarkan kritik keras terkait keputusan pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto

Menurutnya, langkah ini berpotensi menjadi masalah mendasar pasca-reformasi dan mencederai semangat anti-korupsi.

Baca juga: Foto Marsinah dan Soeharto Jadi Sorotan, Dulu Heboh Marsinah Diduga Disekap di Markas Militer

Baca juga: Redenominasi Rupiah yang Diwacanakan Purbaya Pernah Berlaku Tahun 1959, Ternyata Ini Manfaatnya

"Soeharto diturunkan karena persoalan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang merajalela," kata Praswad dalam keterangannya, Senin (10/11/2025).

Ia memandang, dari sudut pandang kampanye anti-korupsi, pemberian gelar ini sangat problematis. 

Praswad menilai, menempatkan Soeharto—tokoh yang diturunkan karena isu korupsi—sejajar dengan pahlawan lain seperti Wakil Presiden Indonesia pertama, Mohammad Hatta, yang dikenal sebagai tokoh anti-korupsi, adalah sebuah ironi.

"Ini bukanlah preseden yang baik serta dapat menyebabkan adanya pembelokan sejarah yang dilakukan secara nyata," ujarnya.

Praswad juga mendesak pemerintah untuk lebih menahan diri dalam mengambil kebijakan yang bersifat kontroversial dan mengabaikan suara publik.

Baca juga: Foto Marsinah dan Soeharto Jadi Sorotan, Dulu Heboh Marsinah Diduga Disekap di Markas Militer

(*/TRIBUN-MEDAN.com)

Sumber: Tribunnews.com

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan  

 

 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved