TRIBUN WIKI
Asal Usul Nama Jembatan Kabanaran yang Awalnya Jembatan Pandansimo, Dikaji Atas Nilai Sejarah
Pergantian nama Jembatan Kabanaran yang sebelumnya bernama Jembatan Pandasimo dilatarbelakangi kisah dan nilai sejarah.
Ringkasan Berita:
- Jembatan Kabanaran dahulunya bernama Jembatan Pandasimo
- Pemberian nama jembatan Kabanaran tak lepas dari nilai sejarah Yogyakarta
- Nama Kabanaran diambil dari nama Desa Kabanaran
- Desa Kabanaran adalah markas perjuangan Sultan Hamengku Bowono I saat melawan penjajah Belanda
- Karena itu pula, nama Jembatan Pandasimo berubah menjadi nama jembatan Kabanaran
TRIBUN-MEDAN.COM,- Pengesahan nama jembatan Kabanaran yang dulunya bernama Jembatan Pandasimo ternyata dilatarbelakangi kisah dan catatan sejarah.
Jembatan Kabanaran merupakan penghubung antara Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo, dan Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul.
Lokasi Jembatan Kabanaran ini ada di perbatasan area Sungai Progo.
Baca juga: Sejarah Sekolah Pahoa Gading Serpong yang Berdiri Sejak Penjajahan Belanda
Pada Rabu (19/11/2025), jembatan yang memiliki ikon gunungan ini diresmikan langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto.
Namun, setelah peresmian dilakukan, banyak pihak, termasuk warga Yogyakarta yang belum tahu, kenapa pemerintah memilih nama jembatan Kabanaran.
Padahal sebelum diresmikan, nama jembatan itu adalah Pandasimo.
Asal Usul Pemberian Nama
Perubahan nama Jembatan Pandasimo menjadi Jembatan Kabanaran karena usulan Bupati Kulon Progo, Agung Setyawan.
Sebelum diresmikan, Agung melakukan kajian sejarah di wilayah tersebut.
Baca juga: Sinopsis The Murky Stream, Drama Korea Berlatar Sejarah dan Aksi Balas Dendam
"Sejak diembuskan nama Pandansimo, saya lalu melakukan kajian secara data. Sekitar 80 persen jembatan berada di wilayah Kulon Progo, dan kami juga bertanggungjawab untuk sarana dan prasarananya," kata Agung, dikutip dari Tribun Jogja.
Karena lokasinya berada di wilayah Kulon Progo, persisnya di Desa Kabanaran, Agung pun mengusulkan pemberian nama jembatan itu dengan nama desa tersebut.
Kebetulan, Desa Kabanaran punya nilai historis yang cukup kuat bagi masyarakat Yogyakarta.
Baca juga: Titi Gantung, Simpul Sejarah yang Pernah Jadi Pusat Penjualan Buku Bekas
Desa Kabanaran adalah pusat markas perjuangan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I) ketika melawan Belanda.
Karena alasan itu, Agung kemudian menembuskan kajian ini kepada Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Setelah melihat kajian itu, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyetujui penamaan Jembatan Kabanaran.
Sejarah Perjuangan Sri Sultan Hamengku Buwono I
Pemberian nama Jembatan Kabanaran tak lepas dari ketokohan dan sosok Sultan Hamengku Buwono I.
Ia merupakan raja pertama keraton Yogyakarta.
Semasa hidupnya, Hamengku Buwono I dikenal sebagai pahlawan yang melindungi rakyat.
Baca juga: Sejarah Candi Sipamutung: Candi Buddha Megah dari Abad ke-11
Sri Sultan Hamengku Buwono I memiliki nama Pangeran Mangkubumi.
Ia lahir pada 5 Agustus 1717.
Saat lahir, ia diberi nama Bendara Raden Mas (BRM) Sujono.
Sultan Hamengku Buwono I adalah putra Sunan Amangkurat IV, melalui garwa selir yang bernama Mas Ayu Tejawati.
Sejak kecil, BRM Sujono (nama kecil Sri Sultan Hamengku Buwono I) dikenal sangat cakap dalam olah keprajuritan.
Baca juga: Sejarah Keberadaan Tugu Pers Pertama Indonesia yang Ada di Bumi Rafflesia
Ia mahir berkuda dan bermain senjata.
Selain itu, ia juga dikenal sangat taat beribadah, sembari tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Budaya Jawa.
Kisah tentang Pangeran Mangkubumi yang taat beribadah tertuang dalam Serat Cebolek.
Di situ, tertulis tentang kebiasaan beliau yang rutin puasa Senin dan Kamis, salat lima waktu, dan mengaji Al Quran.
Dalam Serat Cebolek pula dikisahkan bahwa beliau gemar mengembara dan mengadakan pendekatan dengan masyarakat, serta memberikan pertolongan kepada yang lemah.
Baca juga: Sejarah Masjid Syekh Zainal Abidin, Masjid Terua di Kota Padangsidimpuan
Diangkat menjadi Pangeran Mangkubumi
Kemampuan yang dimiliki BRM Sujono, membuatnya diangkat menjadi Pangeran Lurah. Sebagai informasi, Pangeran Lurah adalah pangeran yang dituakan di antara para putera Raja Yogyakarta.
Pengangkatan itu terjadi setelah pamannya yang bernama Mangkubumi meninggal dunia pada 27 November 1730.
Setelah beranjak dewasa, BRM Sujono menyandang nama yang sama dengan mendiang pamannya, yakni Pangeran Mangkubumi.
Perjuangan Melawan VOC
Era tahun 1740-an, merupakan masa-masa berat bagi bumi Mataram (Kerajaan Mataram).
Saat itu, pemberontakan ada di mana-mana, merajalela, dimulai dengan Geger Pacinan yang dipimpin oleh Sunan Kuning dibantu Pangeran Sambernyawa.
Muncul pula gerakan-gerakan sporadis yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa sendiri pada hari-hari selanjutnya.
Akibatnya, keraton harus berpindah dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745.
Untuk memadamkan pemberontakan Sambernyawa, Raja Mataram saat itu, Susuhunan Paku Buwono II, mengadakan sayembara yang disambut dan dimenangkan oleh Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Mangkubumi kemudian bermaksud untuk mengendalikan pesisir utara Jawa sebagai langkah strategis mengurangi pengaruh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di bumi Mataram.
Namun, akibat penghianatan dan kecurangan yang dilakukan oleh Patih Pringgoloyo yang didukung VOC, langkah Pangeran Mangkubumi menemui jalan buntu.
Pasukan Mangkubumi melakukan serangkaian gerakan militer di wilayah pesisir selatan dan daerah pedalaman yang kini masuk wilayah Kabupaten Bantul dan Kulon Progo.
Jalur di sekitar Kalurahan Kabanaran, Kulon Progo, memiliki posisi geografis strategis, menghubungkan pesisir selatan dengan pusat-pusat kekuatan di pedalaman, sehingga menjadi ruang mobilisasi, tempat berkumpul pasukan, serta jalur pengungsian dan penyusunan strategi.
Pada 1747, jumlah pengikut Pangeran Mangkubumi meningkat pesat menjadi 13.000 prajurit, di mana 2.500 orang di antaranya adalah prajurit berkuda.
Kesetiaan dan kesediaan para pengikut untuk mengabdi kepada Pangeran Mangkubumi lambat laun meluas hingga ke masyarakat umum.
Pada akhir 1749, kondisi kesehatan Paku Buwono II semakin menurun.
Belanda memanfaatkan kondisi tersebut, sehingga muncul traktat yang berisi penyerahan Kerajaan Mataram seluruhnya kepada VOC pada 16 Desember 1749.
Hanya berselang hari, Paku Buwono II wafat dan kemudian digantikan oleh putranya, yakni Paku Buwono III.
Mengetahui adanya kesepakatan tersebut, maka Pangeran Mangkubumi dan Sambernyawa semakin sengit bertempur.
Akibatnya, garis depan VOC terdesak dan pasukannya banyak yang tewas.
Hanya dalam hitungan bulan, hampir seluruh wilayah Kerajaan Mataram sudah berada di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi.
Kegagalan menghadapi perjuangan Pangeran Mangkubumi ini mengakibatkan Gubernur Jawa Utara, Baron von Hohendorff, mengundurkan diri.
Selain itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang berkedudukan di Batavia juga turut merasakan tekanan atas kekalahan tersebut.
Baron van Imhoff kemudian jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia.
Berikutnya, tampuk kepimpinan Gubernur Jawa Utara yang berkedudukan di Semarang diserahkan kepada Nicholas Hartingh.
Perubahan kepemimpinan VOC ini membawa perubahan dalam corak penyelesaian masalah.
Hartingh yang dikenal supel dan lancar berbahasa Jawa, mendapatkan ide bahwa masalah hanya bisa selesai dengan cara mendekati Pangeran Mangkubumi dan menawarkan jalan perdamaian.
Sadar bahwa dia tidak bisa melakukannya sendiri, maka Hartingh mengutus seorang keturunan Arab, Syekh Ibrahim (Tuan Sarip Besar), untuk menawarkan jalan perundingan kepada Pangeran Mangkubumi.
Pada 23 September 1754, Gubernur Jawa Utara, Nicholas Hartingh, bertemu dengan Pangeran Mangkubumi.
Pertemuan itu membuahkan hasil berupa kesepakatan yang dikenal sebagai “Palihan Nagari”.
Hasil kesepakatan itu disampaikan kepada Gubernur Jenderal dan Paku Buwono III.
Kata sepakat dari Paku Buwono III diperoleh pada tanggal 4 November 1754. Kemudian, butir-butir kesepakatan tersebut dituangkan dalam naskah Perjanjian Giyanti.
Puncaknya, pada tanggal 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh pihak-pihak terkait.
Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, babak awal Kasultanan Yogyakarta pun dimulai.
Sejarah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Pada hari Kamis Pon, 13 Maret 1755 atau tanggal 29 Jumadilawal 1680 Tahun Jawa (TJ), Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai Raja Pertama Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Kebijaksanaan dan kearifan Sri Sultan Hamengku Buwono I tertuang dalam Babad Nitik Ngayogya.
Menurut catatan sejarah, Sri Sultan Hamengku Buwono I memiliki kemampuan ilmu tata kota dan arsitektur.
Dalam menentukan posisi Keraton Yogyakarta, beliau mempertimbangkan letak dan keadaan lahan agar berpotensi menyejahterakan dan memberi keamanan untuk masyarakat.
Keraton Yogyakarta yang berdiri kokoh hingga saat ini menempati posisi yang sangat strategis.
Terdapat batas-batas alam berupa Kali Code di sebelah timur, dan Kali Winongo di sebelah barat.
Di sebelah utara, dibatasi oleh Gunung Merapi, sementara di selatan berbatasan dengan Pantai Laut Selatan.
Arsitektural Keraton Yogyakarta sendiri sepenuhnya dirancang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I yang juga merupakan arsitek Keraton Surakarta.
Tidak hanya tata ruang dan bangunan, semua hiasan bahkan tumbuh-tumbuhan yang ditanam di kompleks Keraton Yogyakarta dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki nilai filosofis dan spiritual yang tinggi.
Selain kompleks keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono I juga membangun kompleks istana air Taman Sari.
Atas hasil karya serta karakter kuat Sri Sultan Hamengku Buwono I, sejarawan menjuluki beliau sebagai "a great builder" yang artinya “pembangun yang hebat”, sejajar dengan Sultan Agung.
Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I bagi Yogyakarta begitu besar.
Beliau mencetuskan konsep Watak Satriya seperti:
- Nyawiji (konsentrasi total)
- Greget (semangat jiwa)
- Sengguh (percaya diri)
- Ora mingguh (penuh tanggung jawab)
Konsep-konsep luhur itulah yang menjadi credo atau prinsip bagi Prajurit Keraton, Abdi Dalem, dan juga gerak tari yang disebut Joged Mataram.
Sri Sultan Hamengku Buwono I juga mengajarkan falsafah berikut ini:
Golong gilig manunggaling kawula Gusti
Artinya: hubungan yang erat antara rakyat dengan raja dan antara umat dengan Tuhan.
Hamemayu Hayuning Bawono
Artinya: menjaga kelestarian alam.
Semuanya menjadi pedoman utama karakter Keraton Yogyakarta dan masyarakat yang hidup di Yogyakarta.
Dalam bidang seni, peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I diantaranya:
- Tari Beksan Lawung
- Tarian Wayang Wong Lakon Gondowerdaya
- Tarian Eteng, dan
- Wayang Purwo
Wafat
Sri Sultan Hamengku Buwono I wafat pada 24 Maret 1792 atau tepat pada tanggal 1 Ruwah 1718 TJ.
Beliau meninggal dunia pada usia 74 tahun.
Sri Sultan Hamengku Buwono I dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY.
Mengutip Wikipedia Indonesia, selama hidupnya, Sri Sultan Hamengku Buwono I memiliki dua orang permaisuri, yakni:
1. Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kencana, putri Bendara Pangeran Harya Dipanegara. Kakek dari pihak ayah adalah Pakubuwana I
2. Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kadipaten, putri Ki Ageng Drepayuda. Ia juga dikenal sebagai Gusti Kanjeng Ratu Tegalrejo atau Gusti Kanjeng Ratu Hageng setelah kematian suaminya.
Sri Sultan Hamengku Buwono I memiliki 20 orang selir dan 31 orang anak.
Anak pertama Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah Gusti Raden Mas Intu yang lahir dari GKR Kencana.
Gusti Raden Mas Intu kemudian bergelar Kanjeng Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara Ingkang Sudibya Atmarinaja Sudarma Mahanalendra.
Namun, Gusti Raden Mas Intu meninggal sebelum ditandatanganinya Perjanjian Giyanti.
Anak kedua Sri Sultan Hamengku Buwono I lahir dari seorang selir.
Lebih lanjut, anak ketiga Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah Gusti Raden Mas Sundara. Ia lahir dari GKR Kadipaten.
Gusti Raden Mas Sundara inilah yang kemudian naik takhta sebagai Raja Kedua Yogyakarta, bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Anak keenam Sri Sultan Hamengku Buwono I, yaitu Bendara Pangeran Harya Natakusuma, diangkat menjadi Adipati Kadipaten Pakualaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Paku Alam I.
Bendara Pangeran Harya Natakusuma lahir dari seorang selir bernama Bendara Raden Ayu Srenggara. Beliau merupakan putri dari Ki Tumenggung Natayudha, Bupati Kedu.
Itulah kisah tentang Raja Pertama Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I. (tribun-medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.