Baca Edisi Cetak Tribun Medan

Penderita Tumor Mata Tak Punya Biaya Berobat, Putra Sepanjang Hari Menahan Sakit

Usianya belum genap tiga tahun. Masih berbicara sepatah-sepatah. Justru raung tangis yang lebih sering melesat dari sela bibirnya.

TRIBUN MEDAN/ARJUNA BAKKARA
TUMOR - Tri Ananda Syaputra, bayi penderita tumor mata bersama ibunya saat ditemui di kediaman mereka di Jl AR Hakim, Gang Nangka, Kelurahan Tegal Sari III, Medan Area, Selasa (15/8). 

TRIBUN-MEDAN.com-Apakah Anda pernah mengalami sakit mata? Barangkali akibat kemasukan debu atau serangga, lantas mata Anda mengalami iritasi dan membengkak? Denyutnya sungguh menyakitkan, bukan?

Bagi yang pernah mengalami, tentu bisa membayangkan seperti apa denyut yang dirasakan Tri Ananda Syaputra. Barangkali berlipat-lipat dibanding sekadar kelilipan. Sekadar mata bengkak karena iritasi.

Usianya belum genap tiga tahun. Masih berbicara sepatah-sepatah. Justru raung tangis yang lebih sering melesat dari sela bibirnya. Putra, begitu dia disapa, telah menanggungkan sakit yang sangat dan harus ditahan sepanjang hari. Tumor menyerang sebelah matanya.

Mata sebelah kanan itu telah tertutup sepenuhnya. Daging seukuran kepal tangannya, menggelambir, menggantung di kelopak matanya.

"Penyakitnya sudah lima bulan. Sejak Maret lalu. Kata dokter anak saya ini kena tumor mata," kata Devi (32), ibu Putra, pada Tribun di kediamannya di Jl AR Hakim, Gang Nangka, Kelurahan Tegal Sari III, Kecamatan Medan Area, Medan, Selasa (15/8).

Menurut Devi, mata Putra awalnya membengkak. Bola matanya berubah warna jadi kuning. Dia beberapa kali membawa Putra berobat, ke Puskesmas maupun ke dokter umum. Hasilnya malah semakin parah.

"Itu terjadi saat anak saya ini berusia satu tahun. Bukan cuma enggak sembuh setelah dibawa berobat, matanya malah makin parah bengkaknya. Kemudian muncul daging. Besarnya seukuran biji jagung. Lama kelamaan makin besar," ucapnya.

Tatkala daging ini makin besar, Devi membawa Putra ke dokter spesialis mata di RSUP Adam Malik.

"Oleh dokter di sana dia dikemoterapi. Ada empat kali sudah dia dikemo sejak bulan April (2017)," kata Devi.

"Terakhir berobat pada Minggu ketiga Juli kemarin. Kata dokternya, kami disuruh datang lagi tanggal 20 Agustus," ujarnya menambahkan.

Kemoterapi bukan metode pengobatan yang murah. Terlebih-lebih bagi Devi yang sehari-hari hanya berdagang mi sop dan nasi goreng di ujung gang tempat tinggalnya. Membantu-bantu ibunya. Itu pun belakangan tak laku dan akhirnya terpaksa ditutup.

"Makin sedikit yang beli. Mungkin orang-orang juga pada jijik karena terbayang pada kondisi anak saya. Sedih, tapi mau bagaimana lagi," katanya.

Bukan cuma bengkak, memang. Mata Putra yang bengkak juga mengeluarkan aroma tak sedap. Aroma ini berasal dari daging yang mengelambir itu, yang pada waktu-waktu tertentu mengeluarkan darah, bahkan nanah.

Jika sudah demikian, Putra akan menangis sejadi-jadinya. Dan tak ada yang bisa dilakukan Devi selain memeluk Putra, membelainya, menyabarkannya, sembari ikut menangis. Derita Devi bertambah lantaran suaminya, disebut Devi, pergi meninggalkan mereka.

Devi memegang kartu BPJS Kesehatan. Beberapa kali pengobatan awal pun ditanggung sepenuhnya oleh BPJS. Akan tetapi, kemudian Devi menunggak pembayaran iuran sehingga layanan ini tak dapat lagi digunakan.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved