New Media Dibajak Elit, Masyarakat Sipil Harus Rebut Kembali

Mereka aktif selama momen Pemilu dan bekerja karena dibayar. Jika hari ini mereka mendukung A, lain waktu mereka bisa mendukung B.

Tribun Medan/Liston Damanik
Dosen UMA Ressi Dwiana (tengah) menjelaskan tentang perkembangan new media dan komunikasi politik di Indonesia pada Diskusi New Media dan Komunikasi Politik di Literacy Coffee, Medan, Jumat (31/8/2018) malam. Hadir juga sebagai pembahas dosen Universitas Pelita Harapan Darsono Nababan yang mengupas aspek teknologi new media. 

Laporan Wartawan Tribun Medan/Liston Damanik

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN-Internet dan new media sebagai ruang publik harus direbut oleh masyarakat sipil dari para aktor yang memanfaatkannya untuk kepentingan politik dan ekonomi semata.

Pesan ini mencuat dalam Diskusi New Media dan Komunikasi Politik di Literacy Coffee, Medan, Jumat (31/8/2018) malam.

Darsono Nababan, pengajar Universitas Pelita Harapan yang menjadi pembahas dalam diskusi ini mengatakan, para aktor seperti social buzzer yang menggelontorkan berbagai konten bersifat kampanye merupakan salah satu kelompok yang dominan menguasai new media saat ini.

“Mereka aktif selama momen Pemilu dan bekerja karena dibayar. Jika hari ini mereka mendukung A, lain waktu mereka bisa mendukung B. Tergantung pesanan,” katanya.

Social buzzer, katanya, punya pengaruh yang kuat dalam membentuk opini publik karena pesan yang mereka sampaikan dapat menyebar secara masif dan efektif didukung berbagai perangkat lunak pendukung media sosial.

“Satu orang bisa mengelola banyak akun, dan dia bisa menjangkau banyak orang di media sosial,” ujarnya. Pembahas lainnya, Ressi Dwiana, mengatakan new media saat ini seolah menjadi sarana penguatan politik identitas.

Polrestabes Medan Razia Tempat Hiburan Malam Barcelona, Ini Foto-fotonya

Bocah 13 Tahun Lulus SD Ngotot Nikahi Siswi SMK, Pernikahan Dini Bikin Heboh Lagi

Pengajar di Universitas Medan Area ini melakukan penelitian tentang Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2018.

“Ada usaha untuk memindahkan pola di Jakarta yang kampanye-nya kental politik identitas ke Sumut ini,” ujarnya.

Kapal Hantu Berbendera Indonesia Hebohkan Myanmar, Ini Foto-fotonya

Ferdinand Hutahaean Buka-bukaan Kenapa tak Suka Jokowi hingga Harus Diganti!

Foto - foto Annisa Pohan Berkerudung Tuai Pujian, Pulang Ibadah Haji Bersama Suami AHY

Kampanye yang mengandalkan politik identitas, menurutnya, tidak mendidik dan berbahaya. Seharusnya, kata Ressi, yang ditonjolkan dalam kampanye adalah rekam jejak dan kemampuan kontestan dalam mengatur sebuah pemerintahan.

Promosi Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Medan Batal, Begini Nasib Mereka Sekarang

“Pemilu itu kan bukan mencari pemimpin agama atau pemimpin suku. Yang dicari adalah pemimpin pemerintahan,” ujarnya.

Ressi berpendapat, new media memang didukung teknologi komputer dan teknologi informasi yang sifatnya lebih populis dan interaktif. Namun, katanya, new media juga bisa jadi bernasib sama dengan media konvensional seperti televisi, radio, dan surat kabar yang menurutnya sudah dibajak kaum elit.

“Di new media juga banyak perampok yang mengeksploitasi aspek politik dan ekonomi di dalamnya. Masyarakat sipil harus merebutnya agar menjadi ruang publik yang lebih demokratis,” katanya.

(ton/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved