Akuisisi PT Inalum
10 Daerah Minta Saham Inalum
Proyek PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) ternyata tidak memberikan kemakmuran bagi Sumut.
Laporan wartawan Tribun Medan/Adolf Rumaijuk
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN-Sebanyak 10 daerah di Sumut mendesak pemerintah pusat mengakhiri kontrak kerja sama dengan konsorsium Jepang dalam proyek PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), yang akan habis 2013 nanti.
Keinginan tersebut disampaikan kepada 10 kepala daerah pada rapat Panitia Khusus (Pansus) PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) DPRD Sumut, Kamis (24/2).
Kabupaten/kota itu masing-masing Asahan, Simalungun, Dairi, Humbang Hasundutan, Batu Bara, Karo, Samosir, Toba Samosir, dan Tapanuli Utara, serta Kota Tanjung Balai.
Ke-10 daerah ini menilai Inalum tidak banyak memberi kontribusi bagi daerah, kecuali dalam bentuk program corporate social responsibility (CSR) atau program kemitraan dan peduli lingkungan (PKBL).
Wakil Bupati Toba Samosir Liberty Pasaribu, mengatakan, meski PT Inalum mampu menghasilkan energi murah hingga 600 MW dengan memanfaatkan air Danau Toba, hingga kini masih ada desa dan dusun di Tobasa yang belum tersentuh listrik.
Hal ini menjadi sesuatu yang dianggap sebagai contoh alasan kuat untuk mengambil alih kepemilikan Inalum oleh Pemerintah Indonesia.
"Jadi tidak ada solusi lain selain Inalum diambil alih dan dikelola sepenuhnya oleh negara. Kita butuh bagian saham atau bagian keuntungan yang jelas karena Inalum mendapatkan energi listrik dari keberadaan Danau Toba, tidak cukup lagi jika hanya dalam bentuk royalty atau annual fee," katanya, seusai melakukan rapat panita Pansus PT Inalum di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Medan, Kamis (24/2).
Wali Kota Tanjung Balai, Thamrin Munthe, juga mendukung aspirasi pengambil alihan PT Inalum, meski selama ini mereka mendapatkan annual fee.
"Meskipun kami terletak di bagian paling hilir, kami sangat mendukung pengambilalihan tersebut," kata Thamrin.
Semangat dan antusiasme tergambar dalam setiap pengajuan usul dari masing-masing daerah. Dalam rapat yang dipimpin oleh Ketua Pansus PT Inalum, Bustami Hadi tersebut, ke-10 kabupaten/kota tidak sabar untuk bisa merasakan hasil bumi yang selama ini hanya bisa dirasakan pihak Jepang.
"Banyak hasil yang telah digali dari bumi kita, baik dalam bentuk energi, namun di perkampungan sekitar PT Inalum sendiri banyak yang belum merasakan kecukupan energi," kata Thamrin.
Anggota Pansus PT Inalum, Tunggul Siagian menilai tender terbuka sebagai solusi terbaik bagi PT Inalum setelah kontrak kerja sama dengan konsorsium perusahaan Jepang berakhir pada 2013.
"Tender terbuka seperti yang diusulkan Wakil Presiden Boediono merupakan solusi terbaik untuk menentukan pihak mana yang nantinya akan mengelola perusahaan setelah 2013," katanya kemarin.
Usai rapat pansus dengan 10 pemerintah kabupaten/kota, politisi Partai Demokrat itu mengatakan, tender terbuka akan jauh lebih menguntungkan dengan harapan potensi perusahaan bakal dikelola secara maksimal.
"Memang tetap terbuka peluang bagi pihak Jepang untuk ikut tender terbuka itu, namun kendali perusahaan telah berada di tangan Pemerintah Indonesia," katanya.
Namun demikian, Tunggul yang juga Sekretaris Komisi D DPRD Sumut, dalam klausul tender itu harus termuat dengan jelas keikutsertaan pemerintah daerah di perusahaan tersebut, apakah dalam bentuk kepemilikan modal atau penerima bagian keuntungan.
"Sesuai harapan pemerintah daerah dan juga masyarakat Sumut, keikutsertaan daerah harus menjadi satu bagian perundingan dan persyaratan dalam klausul tender. Jadi, siapa pun yang nantinya keluar sebagai pemenang tender, Sumut ada di dalamnya," katanya.
Sehingga daerah tidak lagi ditinggalkan sebagaimana yang selama ini terjadi ketika PT Inalum dikelola konsorsium Jepang. "Cukup sudah selama 30 tahun Sumut tidak mendapatkan apa-apa, seperti yang tadi juga disampaikan 10 pemerintah kabupaten/kota pada rapat pansus," katanya.
Sesuai master agreement antara Pemerintah Indonesia dengan 12 investor asal Jepang yang tergabung dalam Nippon Asahan Aluminium (NAA) Corp pada 7 Juli 1975, kerja sama akan berakhir pada 2013.
NAA menguasai 58,88 persen saham PT Inalum dan sisanya (41,12 persen) dikuasai Pemerintah Indonesia. Perusahaan yang berdiri 6 Januari 1976 dengan investasi awal sebesar 411 miliar yen itu mempekerjakan 2.014 tenaga kerja Indonesia dan dua orang tenaga kerja asal Jepang.
Pada 2009, perusahaan peleburan aluminium itu mampu menghasilkan 254 ribu ton ingot (aluminium batangan) dengan penjualan 394 juta dolar AS dan laba bersih 66 juta dolar AS. Penjualan tertinggi tercatat pada tahun 2007 sebesar 650 juta dolar AS, sementara laba bersih tertinggi pada tahun 2005 sebesar 157 juta dolar AS.(afr)
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN-Sebanyak 10 daerah di Sumut mendesak pemerintah pusat mengakhiri kontrak kerja sama dengan konsorsium Jepang dalam proyek PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), yang akan habis 2013 nanti.
Keinginan tersebut disampaikan kepada 10 kepala daerah pada rapat Panitia Khusus (Pansus) PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) DPRD Sumut, Kamis (24/2).
Kabupaten/kota itu masing-masing Asahan, Simalungun, Dairi, Humbang Hasundutan, Batu Bara, Karo, Samosir, Toba Samosir, dan Tapanuli Utara, serta Kota Tanjung Balai.
Ke-10 daerah ini menilai Inalum tidak banyak memberi kontribusi bagi daerah, kecuali dalam bentuk program corporate social responsibility (CSR) atau program kemitraan dan peduli lingkungan (PKBL).
Wakil Bupati Toba Samosir Liberty Pasaribu, mengatakan, meski PT Inalum mampu menghasilkan energi murah hingga 600 MW dengan memanfaatkan air Danau Toba, hingga kini masih ada desa dan dusun di Tobasa yang belum tersentuh listrik.
Hal ini menjadi sesuatu yang dianggap sebagai contoh alasan kuat untuk mengambil alih kepemilikan Inalum oleh Pemerintah Indonesia.
"Jadi tidak ada solusi lain selain Inalum diambil alih dan dikelola sepenuhnya oleh negara. Kita butuh bagian saham atau bagian keuntungan yang jelas karena Inalum mendapatkan energi listrik dari keberadaan Danau Toba, tidak cukup lagi jika hanya dalam bentuk royalty atau annual fee," katanya, seusai melakukan rapat panita Pansus PT Inalum di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Medan, Kamis (24/2).
Wali Kota Tanjung Balai, Thamrin Munthe, juga mendukung aspirasi pengambil alihan PT Inalum, meski selama ini mereka mendapatkan annual fee.
"Meskipun kami terletak di bagian paling hilir, kami sangat mendukung pengambilalihan tersebut," kata Thamrin.
Semangat dan antusiasme tergambar dalam setiap pengajuan usul dari masing-masing daerah. Dalam rapat yang dipimpin oleh Ketua Pansus PT Inalum, Bustami Hadi tersebut, ke-10 kabupaten/kota tidak sabar untuk bisa merasakan hasil bumi yang selama ini hanya bisa dirasakan pihak Jepang.
"Banyak hasil yang telah digali dari bumi kita, baik dalam bentuk energi, namun di perkampungan sekitar PT Inalum sendiri banyak yang belum merasakan kecukupan energi," kata Thamrin.
Anggota Pansus PT Inalum, Tunggul Siagian menilai tender terbuka sebagai solusi terbaik bagi PT Inalum setelah kontrak kerja sama dengan konsorsium perusahaan Jepang berakhir pada 2013.
"Tender terbuka seperti yang diusulkan Wakil Presiden Boediono merupakan solusi terbaik untuk menentukan pihak mana yang nantinya akan mengelola perusahaan setelah 2013," katanya kemarin.
Usai rapat pansus dengan 10 pemerintah kabupaten/kota, politisi Partai Demokrat itu mengatakan, tender terbuka akan jauh lebih menguntungkan dengan harapan potensi perusahaan bakal dikelola secara maksimal.
"Memang tetap terbuka peluang bagi pihak Jepang untuk ikut tender terbuka itu, namun kendali perusahaan telah berada di tangan Pemerintah Indonesia," katanya.
Namun demikian, Tunggul yang juga Sekretaris Komisi D DPRD Sumut, dalam klausul tender itu harus termuat dengan jelas keikutsertaan pemerintah daerah di perusahaan tersebut, apakah dalam bentuk kepemilikan modal atau penerima bagian keuntungan.
"Sesuai harapan pemerintah daerah dan juga masyarakat Sumut, keikutsertaan daerah harus menjadi satu bagian perundingan dan persyaratan dalam klausul tender. Jadi, siapa pun yang nantinya keluar sebagai pemenang tender, Sumut ada di dalamnya," katanya.
Sehingga daerah tidak lagi ditinggalkan sebagaimana yang selama ini terjadi ketika PT Inalum dikelola konsorsium Jepang. "Cukup sudah selama 30 tahun Sumut tidak mendapatkan apa-apa, seperti yang tadi juga disampaikan 10 pemerintah kabupaten/kota pada rapat pansus," katanya.
Sesuai master agreement antara Pemerintah Indonesia dengan 12 investor asal Jepang yang tergabung dalam Nippon Asahan Aluminium (NAA) Corp pada 7 Juli 1975, kerja sama akan berakhir pada 2013.
NAA menguasai 58,88 persen saham PT Inalum dan sisanya (41,12 persen) dikuasai Pemerintah Indonesia. Perusahaan yang berdiri 6 Januari 1976 dengan investasi awal sebesar 411 miliar yen itu mempekerjakan 2.014 tenaga kerja Indonesia dan dua orang tenaga kerja asal Jepang.
Pada 2009, perusahaan peleburan aluminium itu mampu menghasilkan 254 ribu ton ingot (aluminium batangan) dengan penjualan 394 juta dolar AS dan laba bersih 66 juta dolar AS. Penjualan tertinggi tercatat pada tahun 2007 sebesar 650 juta dolar AS, sementara laba bersih tertinggi pada tahun 2005 sebesar 157 juta dolar AS.(afr)