(Kepercayaan Batak Karo) Pemena, Minoritas Mencari Pemimpin

Saya tidak pernah golput. Tapi kami cuma mau diakui. Sama kayak orang yang lain,” keluh Terkelin sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

zoom-inlihat foto (Kepercayaan Batak Karo) Pemena, Minoritas Mencari Pemimpin
Dok.
Salahsatu tarian adat masyarakat Batak Karo

(Kepercayaan Batak Karo) Pemena, Minoritas Mencari Pemimpin

Aku masih ingat wajahnya yang tampak sumringah ketika menatapku. Seorang laki-laki paruh baya bertubuh kurus itu berjarak dua meter di depanku. Tubuhnya lebih pendek dariku. Kemeja coklatnya tampak melambai-lambai ditiup angin yang cukup kencang siang itu. Menandakan ada ruang kosong di bagian perutnya. Ia benar-benar kurus.

Aku memang sadar laki-laki ini sudah berjalan ke arahku sedari tadi. Kami sudah berjanji untuk bertemu di persimpangan jalan Pasar III Tanjungsari, Medan. Tak banyak laki-laki paruh baya yang hilir mudik di persimpangan itu. Apalagi dalam cuaca seterik ini.

“Iya pak. Saya temannya pak Khairul,” kataku menyebutkan nama pengurus Badan Warisan Sumatera (BWS) yang memang menyarankanku untuk menemui bapak ini.

Kami pun ngobrol sekadarnya. Senyumnya tak juga hilang dari bibirnya yang berwarna kehitaman. Mungkin akibat terlalu banyak merokok, pikirku. Ia langsung mengajakku ke sebuah warung kopi yang tak jauh dari persimpangan itu. Untunglah. Cuaca yang cukup panas siang ini memang sudah membuat kulit kepalaku keringatan karena menunggu sedari tadi.

Ia menghempaskan pantatnya yang dibalut celana hitam di kursi kayu panjang itu. Tangannya lantas menyambar sebuah koran yang ada di meja.

“Kopi biasa ya!” teriaknya kepada ibu pemilik warung. Tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya pada korannya. Ia bahkan tak ingat menawariku minuman karena asyiknya membaca. Entah berita apa yang dibacanya.

“Eh, pesan minum kam. Sampe lupa aku,” katanya tertawa.

Selanjutnya obrolan kami pun mulai serius. Aku terus mengangguk-angguk mendengar setiap detil cerita yang meluncur dari bibirnya. Raut mukanya tampak berbinar ketika menceritakan kepercayaan yang dianutnya itu. Bak anak kecil sedang menceritakan aksi heroik tokoh kartun idolanya.

Tak Pernah Golput

Bapak itu bernama Terkelin Sembiring. Sudah sejak tahun 2000-an ia hijrah ke Medan setelah sebelumnya berdiam di daerah Lingga, Kabupaten Karo. Ia memboyong istri dan kedua anaknya ke kota ini. Sehari-hari bekerja sebagai pemborong di pajak Sentral Medan.

Meski sudah belasan tahun terpisah dari tanah kelahirannya, tak sedikitpun ia lupa akan adat istiadatnya. Termasuk agama ataupun aliran kepercayaan yang masih dianutnya, Pemena. Aliran kepercayaan ini di asalnya disebut Kiniteken Sipemena, alias agama yang pertama.

“Betul yang kam (sebutan ‘kamu’ dalam bahasa karo) bilang tadi. Kalau sejarahnya seperti itu ya memang kekgitu adanya. Tapi sudah nggak banyak lagi penganutnya. Kebanyakan sudah nasionalis,” terangnya.

Ia memaksudkan nasionalis sebagai banyaknya penganut Pemena yang sudah memilih agama resmi yang ditetapkan pemerintah, seperti Kristen, Katholik dan Islam. Jumlah pemeluk Pemena yang tersebar di Karo, Medan, Deliserdang dan Langkat terus menyusut. Jumlah terbesar ada di wilayah Karo, seperti di Batukarang, Lingga dan Sukanalu.

Ukuran sedikit atau banyak memang seharusnya bukan menjadi alasan pemerintah boleh peduli atau tidak. Tapi sebagai warga negara sudah sepantasnya mereka mendapatkan perlakuan hal yang sama. Apalagi dalam pemenuhan hak politik pada Pemilu.

 “Saya tidak pernah golput. Tapi kami cuma mau diakui. Sama kayak orang yang lain,” keluh Terkelin sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

Lahir dari Proses Politik

Pemena ini merupakan aliran kepercayaan yang ada pada masyarakat tradisional  Karo, ataupun bisa juga disebut agama asli dari masyarakat Karo. Pemena, merupakan kepercayaan yang menganut sistem politheisme dan dinanisme.

Pemena ini tak ubahnya Parmalim di Tanah Batak. Bedanya, Parmalim lebih berani berekspresi dan menuntut pengakuan akan eksistensinya. Keberadaannya juga kerap menghiasi publikasi di beberapa media massa, baik lokal maupun nasional. Kalau Parmalim mengklaim jumlahnya mencapai 6000-an di seluruh Indonesia, Pemena jauh lebih sedikit. Paling banyak hanya sekitar 800-an orang saja. Yang pasti keduanya senasib, Parmalim dan Pemena sama-sama tak diakui keberadaannya oleh pemerintah.

Meskipun populasinya terus menipis, kepercayaan Pemena, yang dipercaya merupakan turunan langsung dari Senata Dharma Agama Hindu di India ini, masih menghiasi beberapa wilayah di Kabupaten Karo, Kabupaten Deliserdang hingga Kabupaten Langkat. Bahkan tak sedikit juga yang sudah pindah ke Kota Medan dan masih memeluk kepercayaan yang sama. Indikasinya, di beberapa jambur (balai pertemuan masyarakat Karo) di Kota Medan, sesekali masih ditemui perayaan  pernikahan anak kecil yang biasa disebut ‘Cabur Bulung’. Ritual pernikahan ini persis sama seperti pernikahan orang dewasa lainnya. Namun si anak kecil tidak akan benar-benar menikah karena Cabur Bulung hanya dilakukan bukan untuk berketurunan. Melainkan untuk pengobatan penyakit dan ritual permohonan maaf.

Pengalaman pahit di pesta demokrasi, yaitu Pemilu, juga menjadi pelajaran bagi penganut kepercayaan Pemena ini. Ada beberapa partai di wilayah Sumatera Utara yang mengklaim akan mempedulikan dan memperjuangkan nasib penganut kepercayaan minoritas. Tapi alih-alih menepati janji, masuk ke dalam partai politik untuk memperjuangkan nasib mereka saja pun tak dibolehkan.

Seharusnya dengan menganut kepercayaan tradisional tak lantas membuat mereka merasa berbeda dengan orang lain. Kalau sudah begini, pemimpin ke depan harus benar-benar mampu meyakinkan pemeluk agama/kepercayaan minoritas mereka tetap mendapatkan porsi serupa dengan masyarakat lainnya.

Budayawan dan Antropolog Karo, Juara R Ginting, mengakui lahirnya Pemena di masa silam memang tak lepas dari sebuah proses politik.

“Ya memang seperti itu. Dulu ketuanya itu almarhum Jasa Tarigan. Sekarang tidak tahu lagi bagaimana nasib komunitas mereka. Jumlahnya mungkin ada ratusan,” kata pria yang kini sedang menetap di Belanda ini.

Ia memperlihatkan salahsatu artikelnya dalam buku yang dicetak terbatas, Hinduism Modern Indonesia. Dalam buku itu jelas diperlihatkannya bagaimana awalnya Pemena ini masuk ke dalam Batak Karo termasuk proses perkembangannya. Meski awalnya sempat diterima, namun karena tarik menarik dan adanya upaya politisasi dengan Hindu, akhirnya banyak masyarakat Karo penganut Pemena, menarik diri. Mereka membentuk kelompok-kelompok sendiri.

Mereka melanjutkan aktifitas dan ritual Pemena dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sebagian kecil masyarakat pemeluk agama ini membentuk beberapa organisasi , seperti Persatuan Pengobatan Tradisional Karo dan Arisen Perjenujung Deleng Sibayak.

“Sementara sebagian besar lainnya langsung bergabung dan memeluk beberapa agama, seperti Kristen Protestan, Katholik, Pantekosta, Adven dan juga agama Islam,” jelas Juara.

Ada banyak versi memang tentang proses masuknya Pemena ke Tanah Karo ini. Dari beberapa literatur tambahan, diyakini Hindu sudah masuk ke Karo (Aru/Haru) di awal-awal tahun Masehi (dan dipercaya aksara Palawa mulai diperkenalkan. Hal ini didukung dengan ditemukannya sebuah inskripsi pada batu bertulis di Lobu Tua, dekat Barus (pantai barat Sumatera bagian Utara), yang ditemukan oleh G.J.J. Deuts pada tahun 1879. Tulisan tersebut di tahun 1932 diterjemahkan oleh Prof. Nilakantiasastri, guru besar dari Universitas Madras. Maka, diketahuilah bahwa pada tahun 1080, di Lobu Tua tak jauh dari Sungai Singkil ada permukiman pedagang dari India Selatan. Mereka orang Tamil yang menjadi pedagang kapur barus yang menurut tafsiran  membawa pegawai dan penjaga-penjaga gudang kira-kira 1. 500 orang. 

Mereka diyakini berasal dari negeri-negeri di Selatan India, seperti: Colay (Cōla), Pandya (Pandyth), Teykaman, Muoham, Malaylam dan Kalingga (Orysa). Sekitar tahun 1128-1285 karena terdesak oleh misi dagang dan siar Islam yang dilakukan prajurit dan pedagang dari Arab serta Turki(ada beberapa ahli  juga berpendapat, jikalau mere sebenarnya terdesak oleh sedadu Jawa, Minang, ataupun Aceh) maka kaum Tamil di Barus mengungsi ke pedalaman Alas dan Gayo di (Kabupaten Aceh Tenggara,) dan kemudian mendirikan Kampung Renun. Ada juga yang menyingkir lewat Sungai Cinendang, lalu berbiak di pelosok Karo kemudian berbaur dengan Proto Karo(Karo Tua).

Ini yang menjadi asumsi sebagian pihak bahwa Bangsa Tamil-lah yang sudah berbiak dan bermarga di Karo itulah yang menjadi motor penggerak dari kepercayaan Pemena di kemudian hari. Dan bukan tidak mungkin Pemena di Karo sama dengan Senata Dharma yang pernah berkembang di Selatan India. Apalagi bila ditinjau dari segi bahasa, "Pemena” = pertama, awal, dasar. bandingkan dengan ''Senata Dharma” yang juga berarti kepercayaan (agama) pertama.

Minim Perhatian

Abdi Nusa Sembiring, salahsatu masyarakat Karo yang masih aktif di kepercayaan Pemena, berharap ada perhatian khusus dari pemerintah daerah terkait aliran kepercayaan minoritas. Seharusnya, katanya, potensi aliran kepercayaan minoritas ini bisa menjadi salahsatu fokus pemerintah termasuk dalam melestarikan kesenian dan kebudayaan yang ada di dalamnya.

“Banyak kesenian dan kebudayaan kita yang tidak diketahui banyak orang. Termasuk juga teknik pengobatan tradisional Karo yang sudah melegenda. Itu kan aset daerah. Harusnya kita diperhatikan juga,” tegasnya.

Proses politik dalam Pileg dan Pilpres diterjemahkannya sebagai media untuk menentukan nasib bangsa ini. Benar. Dan itu pula yang selalu disosialisasikannya kepada teman-temannya yang masih memeluk kepercayaan ini.

“Kita tidak golput. Sebisa mungkin tidak akan golput. Tapi sebagai kaum minoritas, wajar juga lah kita minta diperhatikan. Walaupun belum tentu juganya nanti itu,” katanya tergelak.

Ia kini tidak lagi mempersoalkan pengakuan untuk administrasi kependudukan mereka bisa tercantum di KTP. Ataupun diberikan peluang untuk ikut menyumbangkan kebijakan-kebijakan publik yang outputnya bisa mengakomodir keinginan mereka.

“Ah, tidak lah. Sia-sia itu. Untuk melakukan kegiatan saja kadang kita tidak diakomodir. Tidak usah berharap terlalu tinggi lah. Lagipula sudah banyak kita (Pemena) yang beragama. Jadi hanya tinggal ritual saja yang dilakukan. Kadang ritual ini pula yang lebih mengental daripada agama yang kita anut,” tambahnya.

Kerinduan untuk lebih dipedulikan dan diakui ini memang menjadi dambaan para penganut aliran kepercayaan minoritas di Sumatera Utara. Itu pula yang dirasakan Ketua Himpunan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Sumut, Marudut Sirait. Nada suaranya terdengar meninggi ketika ditanyakan tentang partisipasi politik penganut aliran kepercayaan di Sumut.

“Ah, tak banyak itu yang aktif. Kita tidak dipedulikan. Tidak diakui,” katanya setengah berteriak. Ada ribuan jumlah anggota penganut kepercayaan di Sumut. Dan semuanya memiliki hak pilih. Tapi hanya sebatas itu. Tidak dilirik, tidak diakui dan bahkan tidak dipedulikan.

“Katanya dulu mau peduli. Tapi faktanya kita ditinggalkan,” katanya. Kali ini dengan suara yang lebih rendah.

Bagaimana mendorong kaum marginal, termasuk penganut Pemena, agar mau memilih dan menyalurkan hak suaranya pada Pilpres nanti ?

“Sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang, bahwa semua warga negara yang memiliki identitas sah dan terdaftar di TPS berhak untuk memilih dan menyalurkan suaranya. Keberadaan pemilih marginal ini sudah menjadi perhatian KPU dalam mengapresiasi suara mereka. Karena, di beberapa kabupaten kota ada banyak masyarakat yang masuk dalam daftar pemilih tetap,” komisioner KPU Sumut, Benget Silitonga.

“Persoalan di lapangan adalah, pemilih minoritas dan pemilih marginal ini perlu mendapat dukungan dan dorongan semangat dari semua kalangan agar mereka mau menyalurkan suaranya,” kata Benget. 

Bagaimana dengan penganut aliran kepercayaan yang tidak terdata? Benget menjanjikan pihaknya akan kembali mengecek apakah para penganut aliran kepercayaan itu sudah terdata sebagai pemilih atau belum.

"Prinsipnya KPU tetap mengacu pada 5 kategori untuk dimasukkan sebagai pemilih yakni Nama, NIK, Alamat, Umur dan Jenis Kelamin, kita tidak pernah menyebutkan soal agamanya," terangnya.

Kelompok masyarakat penganut aliran kepercayaan memang terkesan rawan diabaikan. Komisioner Komnas HAM, Manager Nasution mengatakan, terabaikannya hak masyarakat dari kelompok aliran kepercayaan itu berkaitan dengan pemutakhiran data pemilih yang didasarkan pada validasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan  juga Nomor Kartu Keluarga (NKK).

"Sementara yang kita ketahui, banyak diantara mereka (penganut aliran kepercayaan) tidak memiliki KTP karena terganjal aliran kepercayaan yang mereka anut," paparnya.

Komnas HAM beranggapan bahwa kelompok masyarakat penganut aliran kepercayaan memiliki hak untuk terakomodir terlibat dalam pemilu, terlepas dari persoalan legitimasi negara terhadap kepercayaan itu. (ers)

Liputan ini didukung oleh Yayasan Kippas dan Uni Eropa

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved