Menengok Sungai Ular, Lokasi Penjagalan Mereka yang Disebut PKI
Sekumpulan burung layang-layang berseliweran di udara. Riuh tapi tak bising. Mereka hendak kembali ke sarang selepas seharian mencari makanan
Laporan Wartawan Tribun Medan / Abul Muamar
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Sekumpulan burung layang-layang berseliweran di udara. Riuh tapi tak bising. Mereka hendak kembali ke sarang selepas seharian mencari makanan.
Di ufuk barat, lembayung mulai mengambilalih posisi biru, memantul lurus diagonal di atas Sungai Ular yang airnya mengalir berderai-derai.
Setiap sore, di sungai yang mengalir di sepanjang garis demarkasi antara Kabupaten Serdangbedagai dan Deliserdang itu, puluhan anak-anak, juga yang beranjak remaja dan dewasa, ramai-ramai menjadi saksi tenggelamnya matahari.
Dari tebing (pinggir) sungai ini, tepatnya dari satu titik di Desa Citaman Jernih, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdangbedagai, orang dapat menyaksikan matahari terbit (sunrise) dan juga matahari terbenam (sunset).
Sama sekali tak ada gedung-gedung yang menghalangi mata untuk memandang.
Yang ada adalah hamparan pohon ubi kayu yang terpapar sinar dan membentang dengan merdeka, tumbuh subur bersama gelagah yang mirip tebu, pisang liar, petai cina, dan jagung. Juga jembatan rel kereta api yang melengkung di atasnya.
Tak ayal, sungai yang konon merupakan tempat pembantaian orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) ini sering dimanfaatkan untuk mengabadikan foto pra-pernikahan, berfoto-foto atau berselfie, hingga syuting film.
Salah satu film terkenal yang berlatarkan sungai ini tentu saja adalah The Act of Killing (Jagal), karya sutradara Joshua Oppenheimer.
Bagi warga sekitar, sungai yang panjangnya sekitar 112 kilometer ini pun menjadi "obyek wisata" alternatif, selain daripada pantai-pantai yang ada di Kecamatan Pantaicermin dan Teluk Mengkudu.
Ute (58), warga setempat, mengatakan, Sungai Ular menyimpan banyak sejarah peperangan. Selain cerita tentang pembantaian PKI, kata dia, di sungai ini juga dulu para pejuang pernah berperang dengan pasukan Belanda.
"Dulu kalau mati mayatnya dibuang ke sini," ujarnya.
Bahkan dulu, lanjut pria yang mencari nafkah dengan mengeruk pasir ini, sekitar tahun 1980-an, sesekali masih ditemukan peluru-peluru dan puing-puting senjata yang diduga bekas peperangan.
"Kalau kami dulu masih ada yang dapat kayak gitu. Kalau sekarang udah gak ada lagi," katanya.
Meski demikian, tak banyak orang yang menganggap Sungai Ular sebagai tempat untuk berwisata.



