Kolom Bahasa
Kenapa Media Massa Doyan Memakai Kata Rasuah?
Tak jarang, perbuatan yang sebetulnya kurang pas dikatakan korupsi, "dipaksa" harus dikatakan "korupsi" biar terdengar lebih wah
TRIBUN-MEDAN.com - Pembahasan menyangkut korupsi dan segala rupa dan cabang yang berkaitan dengannya, entah itu pelakunya, modusnya, motifnya, atau jumlahnya, selalu saja menarik.
Kecil atau besar, gosip atau fakta, di ibukota yang punya banyak mal maupun di pelosok desa yang orang-orangnya belum lagi kenal dengan istilah LGBT (walaupun tentu saja sering melihat manusianya), segala sesuatu yang berhubungan dengan korupsi akan dengan cepat menyebar menjadi kabar yang menyita perhatian, setidaknya di habitat atau lingkungan tempat si pelaku berada.
Tak jarang, perbuatan yang sebetulnya kurang pas (atau sama sekali tidak pas) dikatakan korupsi, "dipaksa" harus dikatakan "korupsi" biar terdengar lebih "wah".
Saya, yang kebetulan bekerja sebagai juru warta, terakhir kali memberitakan kasus dugaan penyelewengan uang SPP Program Magister Manajemen di Universitas Sumatera Utara. Di sini perlu saya garisbawahi, bahwa kasus itu, oleh aparat penegak hukum --dan karenanya etika jurnalistik mengikutinya-- senyata-nyatanya adalah kasus dugaan penyelewengan, bukan atau belum tentu korupsi. Tetapi kasus itu tetap saja hampir selalu dijustifikasi sebagai korupsi.
Maka jadilah kata "korupsi" benar-benar tenar melebihi sebenar-benarnya korupsi itu sendiri.
Selanjutnya, seiring waktu, entah karena supaya tidak terdengar membosankan atau karena ingin membuat satu padanan kata yang "lebih berasa Indonesia", media massa memomulerkan kata rasuah untuk mensubstitusikan kata "korupsi". KPK diberi predikat sebagai lembaga antirasuah atau komisi antirasuah (walaupun tak sampai mengubah namanya menjadi Komisi Pemberantasan Rasuah atau KPR). Bupati XY dihukum empat tahun penjara karena berbuat rasuah. Gubernur XX dimusuhi wakilnya karena rasuah. Dan sebagainya.
Tapi, benarkah kata rasuah itu bahasa Indonesia? Ternyata bukan. Rasuah nyatanya adalah bahasa Malaysia (bahasa Melayu). Dalam Kamus Dewan (KBBI-nya Malaysia) Edisi Ke-IV yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, kata rasuah berarti "pemberian untuk menumbuk rusuk (menyogok, menyuap), (wang) tumbuk rusuk (sogok, suap)".
Seperti halnya kata "korupsi" yang diserap dari kata corruption, rasuah adalah nomina (kata benda). Contoh kalimat yang diberikan Kamus Dewan untuk kata rasuah: Ia dituduh memberi rasuah kepada pegawai itu.
Yang kita miliki dalam bahasa Indonesia sebenarnya adalah kata rasywah (juga nomina) yang berasal dari bahasa Arab risywah, rasya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, "rasywah" dimaknai sebagai pemberian untuk menyogok (menyuap); uang sogok (suap).
Lalu, kenapa bukan kata rasywah yang media massa kita gunakan? Kenapa media massa kita lebih memilih rasuah ketimbang rasywah? Saya benar-benar tidak tahu. Lema ini seakan tak dianggap dan hanya sekadar menjadi penghuni yang meramaikan kamus kita yang meskipun sudah sangat tebal tetap saja banyak kekurangannya itu.
Tetapi ini agaknya ada hubungannya dengan meredupnya penggunaan kata rasuah untuk menggantikan kata "korupsi" belakangan ini. Barangkali media massa kita, terutama yang menjadi pelopor, telah menyadari kekeliruannya dan sungkan untuk menggunakannya lagi (meskipun sesekali tetap saja ada).
Tetapi, sementara pertanyaan itu belum lagi terjawab, "korupsi" sudah menyodorkan bahan-bahan lain untuk dipikirkan: apakah (kenapa?) mencuri tidak disebut saja dengan "korupsi", dan sebaliknya? Padahal jelas kita tahu, dari sekian banyak kasus korupsi yang terjadi, seringkali bentuknya adalah "pencurian" uang rakyat, entah itu dari APBN atau APBD.
Kemudian, kenapa kita tidak menggunakan kata "pencurian" saja ketika kita menyadari bahwa kita tak punya "kata asli" bahasa Indonesia untuk memadani kata corruption? Apakah karena kurang gagah? Apakah supaya para pelaku itu, yang notabene orang-orang kaya raya itu, tidak merasa dipermalukan dengan kata "mencuri" dan menjaga mereka agar tetap elite? Kenapa kita masih saja gemar mengimpor kata bulat-bulat?
Oke, jikapun kemudian "korupsi" bukan cuma perkara "pencurian", melainkan juga termasuk di dalamnya "penyuapan/penyogokan", "pemuasan" (gratifikasi), dan lain sebagainya, maka, toh, pada akhirnya, rasuah (yang harusnya rasywah) juga tak dapat menggantikan "korupsi", bukan?
Oleh: Abul Muamar