Empat Kerajaan Karo Pernah Bertugas Melantik Sultan
"Wan itu adalah gelar dari Melayu tapi marga Barus yang disematkan adalah bukti penulis merupakan keturunan Karo. Kita mau cari identitas."
Penulis: Hendrik Naipospos |
Laporan Wartawan Tribun Medan / Hendrik Naipospos
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Buku berjudul Sebuah Pengantar Sejarah Kerajaan Urung Senembah yang ditulis oleh satu di antara keturunan Kerajaan Urung Senembah, Wan Chaidir Barus dibedah di Aula FIB USU, Senin (20/12/2016).
Buku ini bercerita mengenai bagaimanan hubungan antara suku Karo dan Kesultanan Deli.
Acara dimulai sekitar pukul 14.00 WIB, yang dibuka langsung oleh Dekan FIB USU Budi Agustono.
Dua dosen dari Ilmu Sejarah yakni Ratna dan Wara Sinuhaji didaulat sebagai pembahas dalam bedah buku ini.
Ketua Panitia Bedah Buku Edi Sumarno menyebutkan, bahwa acara ini merupakan upaya pencarian identitas.
Edi mengungkapkan, bahwa ada hubungan yang erat antara Kesultanan Deli dan Karo. Ia mencontohkan, nama penulis buku yakni Wan Chaidir Barus yang menyandang dua gelar budaya.
Baca: Soal Tradisi, Stefano Lilipaly: Istri Saya Masih Mewarisi Budaya Indonesia
"Wan itu adalah gelar dari Melayu tapi marga Barus yang disematkan adalah bukti penulis merupakan keturunan Karo. Kita mau cari identitas. Karo dan Kesultanan Deli hubungannya sebenarnya bagaimana," sebutnya di hadapan puluhan peserta bedah buku.
Wan Chaidir Barus menceritakan, bahwa berdasarkan temuannya dalam penulisan buku ini Karo dan Kesultanan memiliki hubungan erat.
Empat kerajaan Karo yakni Kerjaan Sepuluh Dua Kuta yang didirikan merga Sembiring Pelawi, Kerajaan Urung Sukapiring didirikan Karo Sekali atau Sembiring, Kerajaan Urung Sunggal didirikan merga Surbakti, dan Kerjaaan Urung Senembah yang didirikan merga Barus pernah bertugas melakukan penabalan sekaligus pembacaan sumpah Sultan.
"Empat kerajaan Karo, termasuk Kerajaan Urung Senembah ini dulunya adalah kerajaan yang berhak melantik Sultan. Jadi Kesultanan Deli itu bagian dari Karo," jelas Wan Chaidir.
Bedah buku ini juga mendapat apresiasi dari Budi Agustono. Ia mengungkapkan acara ini telah memanggil kembali masalah ratusan tahun yang lalu.
"Hal seperti ini perlu digalakkan untuk meluruskan berbagai sejarah lokal yang mungkin belum jelas. Saya apresiasi ini," sebut Budi mengakhiri.
(cr2/tribun-medan.com)
