Pengajar Anak Disleksia yang Salah Jurusan
Disleksia menurut Meri merupakan gangguan perkembangan intelegensi pada anak terkait kemampuan baca, menulis dan berbicara.
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Berawal dari pengalaman mengasuh anak-anak di gereja dan mengajar les private murid-murid SD, akhirnya ia tertarik kepada dunia pendidikan anak. Hingga akhirnya ia melibatkan diri menjadi seorang pengajar disleksia, padahal latar belakang pendidikannya tak sesuai untuk menjadi seorang pengajar.
Meriati Angelia Tobing (23), telah menjalani pekerjaannya sebagai seorang pengajar sukarela untuk anak-anak penderita disleksia, sejak tahun 2015 silam. Alumni Universitas Sumatera Utara, lulusan D3 Keuangan ini mengaku mengerjakan pekerjaan ini selain menambah pengalaman juga menjadi kepuasan batin tersendiri baginya.
Disleksia menurut Meri merupakan gangguan perkembangan intelegensi pada anak terkait kemampuan baca, menulis dan berbicara. Biasanya, anak-anak yang diserang dari umur 5-8 tahun.
"Penyakit ini biasanya disebabkan dari faktor keturunan dan faktor lingkungan," ujarnya.
Anak-anak Disleksia beda dengan anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental yang sering disebut autis. Anak disleksia mengalami gangguan membaca, mengurutkan dan berhitung.
"Mereka susah membedakan antara huruf A dan H, B dan D, M dan N. Jadi, mereka juga dipengaruhi oleh lingkungan. Bila teman-temannya berkelakuan jahat, maka si anak bisa menjadi jahat dan sebaliknya," ujarnya.
Maka, atas dasar itulah ia berniat untuk bagaimana agar anak-anak yang mengalami disleksia ini bisa dididik menjadi lebih baik. Meri mengaku tidak mematok tarif ke orang tua penderita disleksi atas jasanya ini.
"Ya seikhlasnya saja bang. Saya tidak pernah mematok harga, gimana pantasnya saja menurut orang tua dari anak penderita disleksia ini," ujarnya.
Meri pernah punya pengalaman, suatu ketika seorang siswa mengadu ke dirinya bahwa ia ingin bunuh diri. Mendengar hal itu, Meri pun terkejut dan menanyakan ke orang tua si anak.
"Ternyata anak itu meniru ucapan orangtuanya ketika sedang berkelahi. Menurut pengakuan si ibu, saat itu dirinya memang mengancam suaminya akan melakukan bunuh diri. Setelah itu saya ingatkan ke si ibu, jangan berbuat hal negatif di depan sang anak, karena mereka meniru perbuatan tersebut," ujarnya.
Anak-anak penderita disleksia juga akan selalu mengingat apa yang dikatakan tentang dirinya. Misalnya, bila
seorang anak dikatakan bodoh, maka ia akan mengingatnya sampai kapan pun. Sehingga diperlukan kehati-hatian bila berbicara dengan anak tersebut.
Berbicara tentang awalnya ia terjun menjadi pengajar tentu panjang ceritanya. Satu pengalamannya adalah ketika ia pernah melamar di Sekolah Luar Biasa (SLB) namun ia ditolak. Alasannya, karena ia bukan berasal dari latar belakang pendidikan yang sesuai. Sebagai alumni D3 Keuangan, Meri dinilai lebih layak bekerja di bank.
"Namun, karena niat saya kuat untuk jadi pengajar. Ya saya gak mau menyerah sampai di situ. Kalau di lembaga formal kita tidak bisa berbuat, ya di informal kita buktikan," ujar gadis berkacamata ini.
Akhirnya, ia pun mulai mengajar anak yang disleksia ini berawal dari tawaran seorang ibu yang datang menemuinya dan meminta untuk mengajar anaknya. Sejauh ini, Meri sudah mengajari enam anak penderita disleksia, empat di antaranya sudah mengalami kemajuan, dengan metode yang diterapkannya.
"Ada yang sudah bisa membaca dan berhitung. Dua orang anak sudah tidak saya tangani lagi karena ikut orang tuanya pindah ke luar kota," ujarnya.
Selain anak penderita disleksia, pekerjaannya menjadi guru les private masih terus dijalankannya. (cr10)