Kecelakaan Ethiopian Airlines dan Lion Air Sama, Pilot Lebih Sulit Menangani Boeing 737 MAX

Indonesia dan setidaknya 40 negara lainnya, termasuk Amerika Serikat, di mana Boeing diproduksi, kini telah melarang penerbangan Boeing 737 MAX.

AFP/T.Warren
Pesawat model 737 MAX 

TRIBUN-MEDAN.com-Kementerian Transportasi Etiopia mengungkapkan hasil penyelidikan awalnya, Minggu (17/3/2019) waktu setempat.

Kecelakaan pesawat Ethiopian Airlines yang menewaskan 157 orang pada pekan lalu dinilai ada  kesamaan dengan kecelakaan pesawat Lion Air di Indonesia, Oktober 2018.

Kesimpulan awal itu bersumberkan dari analisis awal kotak hitam pesawat. Insiden Ethiopian Airlines dan Lion Air, keduanya melibatkan pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 dan jatuh beberapa menit setelah lepas landas.

Tidak lama sebelum jatuh, pilot melaporkan masalah pada kontrol pesawat.

Indonesia dan setidaknya 40 negara lainnya, termasuk Amerika Serikat, di mana Boeing diproduksi, kini telah melarang penerbangan Boeing 737 MAX.

“Kasus (Ethiopian Airlines) sama dengan kasus di Indonesia (Lion Air). Sejauh ini, ada kesamaan yang jelas antara kedua insiden,” kata juru bicara Kementerian Transportasi Etiopia, Muse Yiheyis.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat Laksamana Muda TNI Yudo Margono menunjukkan CVR Lion Air PK-LQP kepada wartawan setelah ditemukan penyelam Dinas Penyelamatan Bawah Air Koarmada 1 di perairan utara Karawang, Senin (14/1/2019). Pusat Hidrologi TNI AL bersama KNKT mencari CVR menggunakan KRI Spica-934 sejak Selasa pekan lalu.

Namun, ada pejabat dari AS yang mengatakan, Badan Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA) dan Dewan Keamanan Transportasi Nasional AS (NTSB) belum memvalidasi temuan Etiopia tersebut.

Ada pula sumber yang mengatakan, belum ada banyak informasi yang beredar antara pihak berwenang mengenai konten data kotak hitam dan rekaman suara dari Ehiopian Airlines penerbangan ET 302.

Adapun Kementerian Etiopia tidak menjelaskan bagaimana kesimpulan awal didapat. Terlebih lagi, ada ribuan data pemerbangan dan dua jam rekaman kokpit, yang mencakup enam menit percakapan terakhir sebelum pesawat itu menghantam bumi.

REUTERS/TIKSA NEGERI
Suasana di lokasi jatuhnya pesawat Boeing 737 Max milik Ethiopian Airlines di kota Bishoftu, Ethiopia, Minggu (10/3/2019) waktu setempat.

Minggu lalu, kotak hitam pesawat Ethiopian Airlines yang jatuh itu dibawa oleh investigator Etiopia ke Perancis untuk dianalisis oleh Biro Penyelidikan dan Analisis untuk Keselamatan Penerbangan Sipil (BEA), badan pemerintah Perancis yang bertugas menyelidiki kecelakaan penerbangan. NTSB juga terlibat dalam analisis data itu.

BEA telah menyatakan, data suara kokpit telah berhasil diunduh. Rekaman suara itu telah mereka dengar dan ditransfer ke tim investigator Etiopia.

Sebelumnya, FAA juga telah mengungkapkan, berdasarkan bukti dan data satelit, ada kesamaan dalam kecelakaan Ethiopian Airlines dan Lion Air.

Sejumlah maskapai penerbangan pun langsung membatalkan pesanan Boeing 737 MAX. 

Pilot Lebih Sulit Menangani Boeing 737 MAX

Pesawat model 737 MAX adalah andalan baru perusahaan Boeing untuk menggantikan model Boeing 737 yang paling sukses dalam sejarah penerbangan komersial.

Pesawat baru ini memang laku keras. Sampai sekarang sudah ada lebih 5000 pesanan yang masuk ke Boeing, 350 pesawat sudah dikirim ke maskapai-maskapai pembeli.

Setelah terjadi dua kecelakaan dalam selang waktu tidak sampai setengah tahun dengan model 737 MAX, Boeing kini berada dalam sorotan dan pengawasan ketat.

Setelah pesawat Ethiopian Airlines jatuh dekat Addis Abeba, harga saham Boeing sempat anjlok lebih dari 10 persen.

Kecelakaan pesawat hari Minggu (10/3) adalah kecelakaan kedua yang melibatkan model pesawat yang sama, Boeing 737 MAX 8, setelah kecelakaan Lion Air di Laut Jawa Oktober 2018, yang menewaskan seluruh 189 penumpang dan awak pesawat.

Boeing 737 MAX 8 (Getty Images/AFP)

3 pesawat Boeing MAX 737 milik Shanghai Airlines berhenti beroperasi di bandara internasional Shanghai, 11 Maret 2019

Persaingan ketat dan masalah aerodinamika Boeing 737

Sekitar 10 tahun lalu, Boeing memutuskan untuk membuat pesawat baru menggantikan model 737 yang merupakan pesawat paling laris dalam sejarah penerbangan komersial.

Persaingan bisnis pesawat memang makin ketat, dengan munculnya perusahaan dirgantara Eropa Airbus yang menyasar pasar di segmen yang sama.

Airbus cukup berhasil memasarkan model A 320 yang laku keras untuk penerbangan jarak dekat. Boeing pun berusaha membalas langkah Airbus dengan model pesawat baru.

Secara teknis, A320 mampu mengakomodasi mesin yang lebih besar di bawah sayapnya, sedangkan model Boeing 737 tidak bisa melakukan itu dengan mudah, karena sayapnya lebih dekat ke tanah dibanding model Airbus.

Padahal, permintaan untuk jenis pesawat jarak dekat terus meningkat. Untuk mengembangkan model pesawat yang sama sekali baru, Boeing perlu investasi besar.

Tetapi perusahaan itu masih bersaing keras di segmen penerbangan jarak jauh dengan model 787, sebagai saingan model Airbus A350.

Boeing kemudian memutuskan tidak membuat rancangan baru, tetapi memperbaiki model 737.

Untuk memasang mesin baru pas di bawah sayap, modul roda pendaratan harus dibuat lebih tinggi, memastikan jarak yang cukup ke tanah.

Selain itu, mesin-mesin baru harus dipasang terpisah lebih jauh dari biasanya.

Perubahan-perubahan ini mengubah aerodinamika pesawat. Dan pada gilirannya bisa menyebabkan pesawat cenderung "mengangkat hidungnya" ketika berada di udara.

Dalam situasi terburuk, kondisi ini bisa berdampak pada modul kompresor dan membuatnya tidak berfungsi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kecelakaan pesawat.

Masalah teknologi otomatis dan komunikasi?

Untuk mengatasi kemungkinan dampak ini, Boeing lalu menggunakan teknologi khusus yang disebut Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS), yang secara otomatis menurunkan hidung pesawat.

Namun Boeing gagal mengomunikasikan pembaruan software ini secara komprehensif kepada maskapai maupun pilot dan tidak memasukkan materi itu ke dalam program pelatihan regulernya.

Menurut para ahli, kegagalan komunikasi ini bisa menyebabkan kecelakaan, karena software cenderung mengangkat hidung pesawat secara otomatis, ketika pilot dalam situasi tertentu justru sengaja ingin menurunkannya.

Kondisi ini membuat pesawat suatu saat berada dalam formasi "stall", yaitu kehilangan gaya angkat aerodinamik karena "hidung pesawat terangkat terlalu tinggi" sementara kecepatan terlalu rendah (biasanya jika pesawat berada dalam kemiringan lebih dari 15 derajat untuk waktu cukup lama).

Asosiasi pilot di Amerika Serikat sempat mengeritik Boeing karena komunikasi yang tidak memadai.

Memang belum jelas apakah kecelakaan hari Minggu disebabkan oleh masalah teknis yang serupa atau terkait dengan karakteristik Boeing 737 MAX.

Namun politik informasi Boeing bisa berakibat fatal bagi perusahaan maupun bagi nyawa penumpang dan awak pesawat.

Hari Senin (11/3) setelah kecelakaan Ethiopian Airlines Boeing menyatakan akan memperbaiki sesegera mungkin softwarenya untuk model 737 MAX 8 "dalam beberapa bulan ke depan.. untuk membuat pesawat yang sudah aman ini menjadi lebih aman lagi".

Korban WNI

Dalam kecelakaan itu, seorang WNI bernama Harina Hafitz menjadi salah satu korban tewas.

Pada hari Jumat (15/3/2019) waktu setempat, Kedutaan Besar RI Addis Ababa pun telah menerima sampel DNA Harina. Sampel DNA itu kemudian akan disampaikan kepada pihak berwenang setempat.

Duta Besar Indonesia untuk Etiopia Al Busyra Basnur mengatakan, pada Sabtu (16/3/2019), Menteri Transportasi Etiopia Dagmawit Mogess dan Menteri Luar Negeri Etiopia Markos Tekle memberikan sejumlah informasi kepada para Duta Besar tentang perkembangan terakhir dan langkah yang diambil Pemerintah Etiopia terkait kecelakaan pesawat Ethiopian Airlines.

AFP
Peta lokasi jatuhnya pesawat Ethiopian Airlines dan jumlah korban meninggal berdasarkan asal negaranya

Pemerintah Etiopia saat ini membentuk Komite Pengarah Tinggi (High Steering Committee) untuk menangani kecelakaan itu.

Komite itu dipimpin oleh Dagmawit, serta anggota dari sejumlah lembaga kementerian, kepolisian, kejaksaan, dan penerbangan Etiopia.

Ada enam isu yang ditangani, yaitu investigasi kecelakaan, identifikasi korban dan dukungan untuk keluarga korban, masalah hukum, lokasi kejadian kecelakaan, komunikasi dan humas, serta keuangan dan logistik.

Al Busyra, yang hadir saat penjelasan itu disampaikan mengatakan, proses identifikasi korban diperkirakan selesai dalam 5-6 bulan.

Sebelumnya, pada Rabu (13/3/2019), Al Busyra dan staf dari KBRI Addis Ababa berkunjung ke lokasi jatuhnya pesawat, yang terletak sekitar 125 kilometer arah selatan dari Addis Ababa.

Acara doa bersama pun telah digelar untuk Harina. (Reuters/Kompas.Id/DWIndonesia)

Artikel ini sudah tayang di Kompas.Id dengan judul Analisis Awal: Kecelakaan Ethiopian Airlines Sama dengan Kecelakaan Lion Air dan di DW Indonesia dengan judul Inilah Soal Teknis Mengapa Pilot Lebih Sulit Menangani Boeing 737 MAX

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved