Mahasiswa USU Pajang Celana Dalam, Tolak Keberadaan Dosen Asusila

Kasus ini terus merebak setelah sempat tenggelam setahun tanpa penyelesaian yang jelas.

Penulis: M.Andimaz Kahfi |
TRIBUN MEDAN/M ANDIMAZ KAHFI
MABESU saat melakukan aksi unjuk rasa di depan Fisip USU, menolak pelecehan seksual di lingkungan kampus. 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Desakan penyelesaian kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oknum dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU terus bergulir.

Kali ini giliran mahasiswa yang menggeruduk kampus yang dipimpin oleh Dekan Muryanto Amin itu.

Mahasiswa berunjuk rasa di FISIP USU, Senin (27/5/2019) siang.

Kasus ini terus merebak setelah sempat tenggelam setahun tanpa penyelesaian yang jelas.

Korban sampai saat ini belum mendapat keadilan. Bahkan mulai merebak korban-korban lainnya yang mengaku pernah mendapat perilaku bejat dosen yang saat ini mengajar mata kuliah di Departemen Sosiologi tersebut.

Bahkan, dalam aksi itu mahasiswa pajang celana dalam di kampus FISIP USU sebagai bentuk perlawanan terhadap dosen asusila.

Mahasiswa Bersatu Universitas Sumatera Utara (MABESU) yang terdiri dari mahasiswa dari berbagai fakultas dan lintas organisasi, melakukan longmarch dari Pintu 2 USU, sebelum ke Kampus FISIP USU.

Mereka melakukan orasi terbuka dan memajang poster protes terhadap kampus yang terkesan melakukan pembiaran dengan kasus pelecehan seksual itu.

Sampai di Kampus FISIP USU, massa kembali berorasi di tengah lapangan. Protes yang paling keras dilakukan massa dengan memajang celana dalam di depan Kantor Prodi Sosiologi.

“Kami mendesak agar kampus memberikan sanksi tegas kepada dosen HS yang telah melakukan tindak asusila," kata kata Gubernur Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) FISIP USU Harry Cahya Pratama Purwanto.

"Jika tidak diberikan sanksi tegas, maka ini akan menjadi catatan buruk USU sebagai universitas negeri,” sambungnya.

Menurut Harry, selama ini pelecehan seksual di kampus terjadi karena ada relasi kuasa terhadap mahasiswa dari dosen.

Sehingga dosen memanfaatkan kondisi ini sebagai peluang untuk berbuat asusila kepada mahasiswa.

Karena pada hakekatnya, dunia pendidikan harus menjunjung tinggi moralitas. Tapi masih ada perilaku dosen asusila dan ini tidak bisa ditolerir.

"Kampus harus membuat regulasi sebagai bentuk pencegahan terhadap perilaku dosen yang tidak beretika,” ujarnya.

Merebaknya kasus pelecehan seksual di Kampus FISIP USU, mencoreng nama baik kampus yang sudah melahirkan banyak aktivis kelas wahid itu. Kasus ini memberikan teror baru di kalangan mahasiswa.

Mahasiswi FISIP USU, Adinda Azzahra mengatakan dalam kasus pelecehan oleh dosen, para korban kebanyakan memilih bungkam. Karena ada ketakutan yang merundung para korbannya. Baik itu dari sisi akademis atau pun takut karena dianggap mahasiswa yang tidak baik.

“Saya mahasiswa angkatan 2015. Dan saya sudah dengar rumor ini sejak saya masuk ke dalam kampus," kata Dinda.

"Saya berharap kampus bisa memberikan sanksi tegas dan membuat regulasi sebagai langkah preventif,” sambungnya.

Sementara itu, Dekan FISIP USU Muryanto Amin mengaku sudah serius menangani kasus ini. Muryanto mendorong, korban lainnya bisa membuat laporan tertulis tentang kebejatan dosen yang dialaminya.

“Kalau ada lebih dari satu korban, tolong buat laporan tertulis. Saya akan jamin kerahasiaan identitasnya,” kata Muryanto.

Menurutnya, sanksi bisa diberikan jika ada bukti pendukung untuk membuktikan kasus pelecehan seksual.

Muryanto pun memberi kesan jika sangat sulit untuk mengumpulkan bukti-bukti kasus pelecehan seksual yang dilakukan HS. Makanya dia meminta agar dibuat laporan tertulis.

Kasus ini pun juga sudah ditangani sejak 2018 lalu. Bahkan dia mengaku, kampus sudah memberikan sanksi tegas kepada dosen agar memperbaiki perilakunya dan tidak mengulangi perbuatan itu.

Sejak Mei 2018, kasus itu tidak menemukan bukti baru sebelum akhirnya kembali merebak Mei 2019.

Muryanto juga menunjukkan peraturan yang bisa menjerat pelaku untuk mendapatkan sanksi.

Dalam dua minggu terakhir, kampus kembali mulai mengumpulkan bukti-bukti kasus tersebut.

“Sanksi sudah ada. Karena ini masuk dalam kode etik. Untuk menegakan kode etik itu, harus ada bukti. Kalau ada bukti baru kita akan proses secara proporsional. Harus ada bukti yang kuat proses pemecatan itu. Karena mengikuti prosedur untuk pemecatan PNS," jelas Muryanto.

(mak/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved