Kisah Jenderal Ahmad Sukendro yang Jadi Target Penculikan G30S/PKI, Tapi Akhirnya Selamat
Nama Brigadir Jenderal TNI Ahmad Sukendro memiliki kisah panjang saat pecahnya Gerakan 30 September PKI atau G30S/PKI.
TRIBUN MEDAN.com - Nama Brigadir Jenderal TNI Ahmad Sukendro memang masih terdengar asing bagi masyarakat umum.
Namun, sang empunya nama itu ternyata memiliki kisah panjang saat pecahnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September PKI atau G30S/PKI.
Dikutip dari Intisari dalam artikel 'Seharusnya Ada 8 Jenderal yang Akan Diculik G30S PKI, Kenapa Akhirnya Hanya 7?', sosok Ahmad Sukendro mulai terkuak.
Rekam jejak Ahmad Sukendro menunjukkan karier militernya sempat moncer di era Soekarno
Jenderal TNI ini sebenarnya merupakan salah satu target yang akan disingkirkan oleh PKI saat peristiwa G30S/PKI.
Tapi takdir berkata lain. Ahmad Sukendro selamat karena Soekarno memerintahkannya menjadi anggota delegasi Indonesia di acara peringatan Hari Kelahiran Republik Cina pada 1 Oktober 1965.
Lantas, siapa sebenarnya jenderal TNI Ahmad Sukendro? berikut biodatanya
Ahmad Sukendro dilahirkan di Banyumas tahun 1923.
Seperti banyak anak muda seusianya, di zaman Jepang ia memilih mendaftar menjadi anggota PETA.
Saat revolusi, Sukendro bergabung dengan Divisi Siliwangi.
AH Nasution yang melihatnya segera tahu Sukendro bukanlah perwira biasa.
Cara berpikir dan kemampuan analisis Sukendro di atas rata-rata perwira lainnya.
Karena itu saat Nasution menjadi KSAD, ia menarik Sukendro sebagai Asintel I KSAD.
Nyatanya, Sukendro tak mengecewakan.
Seiring dengan tugas belajar yang diperolehnya di Amerika Serikat (AS), ia juga sukses menjalin kontak dengan CIA.
Beberapa program kerjasama TNI dan CIA, mampir lewat tangannya.
Sampai-sampai ada anggapan pada masa itu, sosok Sukendro adalah penghubung utama AH Nasution dan juga Achmad Yani dengan CIA.
Bahkan dalam salah satu versi skenario Gestok, karena kecerdasan dan lobi baiknya dengan CIA, Sukendro disebut-sebut sebagai salah satu orang yang layak dicurigai sebagai dalang, seperti disebut dalam buku Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto karangan FX. Baskara Tulus Wardaya.
Selepas peristiwa G30S/PKI, karier intelijen Sukendro mulai tersisih oleh kiprah Ali Moertopo.
Ia tidak bisa membendung jaring-jaring intelijen Ali Moertopo yang kemudian mempercepat keruntuhan Soekarno.
Ketika Soeharto naik ke puncak kekuasaan, Sukendro praktis redup.
Dalam sebuah kursus perwira di Bandung, ia secara mengejutkan mengakui keberadaan Dewan Jenderal.
Soeharto melalui Pangkopkamtib Jenderal Sumitro menggiringnya ke dalam penjara RTM Nirbaya Cimahi selama 9 bulan.
Lepas dari tahanan, Sukendro ditampung Gubernur Jateng, Supardjo Rustam. Ia diberi kepercayaan mengelola perusahaan daerah Jateng.
Meski demikian, Soemitro terus memantaunya.
Setiap kali terdengar ada gerakan antipemerintah, Sukendro adalah orang pertama yang didatangi Soemitro.
“Tidak ada orang intelijen yang lebih hebat daripada dia. Karena itu saya selalu mencurigainya,” kata Soemitro.
Sekadar informasi, dalam pertemuan terakhir operasi penculikan Dewan Jenderal di rumah Sjam Kamaruzzaman, di Salemba Tengah, pada Hari-H, 30 September 1965, ternyata ditentukan nama delapan jenderal TNI yang akan dijemput.
Mereka adalah Jenderal AH Nasution, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayjen Soewondo Parman, Mayjen R Soeprapto, Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono, Brigjen Donald Izacus Pandjaitan, Brigjen Soetojo Siswomihardjo, dan Brigjen Ahmad Soekendro.
Selain Sukendro, Abdul Haris Nasution juga berhasil lolos dari kejaran tentara antek PKI.
Dilansir dari Tribunnewswiki dalam artikel '17 AGUSTUS - Serial Pahlawan Nasional: Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution', pada waktu itu ada tentara yang melepaskan tembakan, namun terpeleset.
Ia berhasil memanjat dinding dan terjatuh ke halaman Kedutaan Irak untuk bersembunyi.
Namun akibat kejadian ini ia mengalami patah pergelangan kaki.
AH Nasution bisa selamat juga berkat pengorbanan ajudannya yakni Perre Tendean.
Dilansir dari Tribun Jabar dalam artikel 'Pierre Tendean, Korban G30S, Diperebutkan 3 Jenderal dan Gugur karena Ngaku Jadi Jenderal Nasution', Lettu Pierre Tendean menjadi ajudan Jenderal AH Nasution untuk menggantikan ajudan sebelumnya.
Pada usia 26 tahun, ia sudah mengawal sang jenderal ternama.
Tidak hanya mengawal Jenderal AH Nasution, Lettu Pierre Tendean pun akrab dengan putri Jenderal AH Nasution, Ade Irma Suryani.
Potret berdua mereka bahkan terpajang di Museum AH Nasution.
Namun, kisah hidup Lettu Pierre Tendean sebagai ajudan AH Nasution berakhir tragis.
Saat itu (30/9/1965) Lettu Pierre Tendean biasanya pulang ke Semarang merayakan ulang tahun sang ibu. Namun, ia menunda kepulangannya karena tugasnya sebagai pengawal Jenderal AH Nasution.
Ia tengah beristirahat di ruang tamu, di rumah Jenderal AH Nasution, Jalan Teuku Umar Nomor 40, Jakarta Pusat. Namun, waktu istirahatnya terganggu karena ada keributan.
Lettu Pierre Tendean pun langsung bergegas mencari sumber keributan itu. ernyata keributan itu berasal dari segerombol pasukan bersenjata yang tak dikenal
Mereka pun menodongkan senjata pada Lettu Pierre Tendean.
Lettu Pierre Tendean tak bisa berkutik. Ia dikepung pasukan itu.
Demi melindungi atasannya, Lettu Pierre Tendean pun menyebut dirinya sebagai Jenderal AH Nasution. "Saya Jenderal AH Nasution," ujarnya.
Akhirnya, ia yang dikira Jenderal AH Nasution pun langsung diculik.
Sementara itu, putri Jenderal AH Nasution, Ade Irma, nyawanya tak tertolong karena tertembak.
Pada akhirnya, Lettu Pierre Tendean pun harus gugur di tangan orang-orang yang menyerangnya.
Tubuhnya yang tidak bernyawa bahkan diikat kakinya, lalu dimasukan ke dalam sumur, di Lubang Buaya.
Pada usianya yang masih muda, Lettu Pierre Tendean pun jadi korban dalam peristiwa mengerikan yang dikenal dengan pemberontakan PKI atau G30S/PKI
Kematiannya memberikan luka mendalam terhadap keluarganya.
Apalagi pada November 1965, Lettu Pierre dijadwalkan akan menikahi Rukmini Chaimin, di Medan. Namun, takdir berkata lain. Ia meninggal demi melindungi atasannya di depan para pemberontak itu.
Sebagai bentuk kehormatan, ia pun dinaikkan pangkatnya menjadi Kapten.
Kapten Tendean pun ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia, pada 5 Oktober 1965.
(Putra Dewangga Candra Seta)
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Biodata Jenderal TNI Ahmad Sukendro yang Lolos dari PKI, Karier Militernya Meredup di Era Soeharto