Fraksi PDI-P Nyatakan Sikap Resmi Tolak Presiden Jokowi Terbitkan Perppu KPK

Polemik peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mencabut Undang-Undang KPK hasil revisi, semakin menguat.

Editor: Juang Naibaho
KOMPAS.com/Nabilla Tashandra
Anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P, Hendrawan Supratikno 

TRIBUN MEDAN.com - Polemik peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mencabut Undang-Undang KPK hasil revisi, semakin menguat.

Kalangan yang tak setuju Perppu KPK kini blak-blakan menyatakan sikapnya.

Fraksi PDI-P di DPR RI memastikan akan menolak jika Presiden Jokowi menerbitkan Perppu KPK.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi PDI-P, Hendrawan Supratikno mengatakan penolakan itu adalah sikap resmi fraksi PDI-P di Senayan.

Faksi PDI-P menyarankan agar polemik revisi UU KPK diselesaikan melalui judicial review di Mahkamah Konsitusi atau legislative review.

"Pandangan resmi kami di fraksi, sebaiknya tetap melalui judicial review dan legislative review," kata Hendrawan saat dihubungi, Selasa (8/10/2019).

Baca: Bupati Dosmar Banjarnahor Diancam Ditembak Mati

Baca: Pecatan TNI di Binjai Gagal Menjebak Seorang Guru SD, Tuduh Calon Korban Kumpul Kebo

Baca: Ibu Muda Ketiduran saat Menyusui, Bayi 15 Hari Meninggal Akibat Tersedak

Perppu KPK jika jadi diterbitkan Jokowi, memang akan langsung berlaku. Namun, Perppu itu tetap membutuhkan persetujuan DPR.

Hal ini diatur di pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut mengatur dalam kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan Perppu.

Ayat berikutnya mengatur, peraturan tersebut harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut.

Jika tidak mendapat persetujuan maka perppu itu harus dicabut.

Hendrawan pun menilai tidak elok jika polemik revisi UU KPK ini harus diselesaikan lewat tarik menarik kepentingan politik.

Ia menilai akan lebih baik diselesaikan lewat proses uji materi di MK atau revisi ulang di DPR dan pemerintah.

"Sedikit memakan waktu tetapi prosesnya lebih sehat, ada di jalur hukum, bukan dengan hasil tarik menarik kepentingan politik," kata Hendrawan.

Hendrawan kemudian menjelaskan semangat awal merevisi UU KPK yang telah belasan tahun diwacanakan itu.

Pada awalnya, kata dia, KPK sebagai lembaga superbody dinilai perlu check and balances. Maka dibuat dewan pengawas dengan harapan bisa menjadi penyeimbang.

"Pada awalnya sebenarnya sederhana yaitu harapan agar sebuah lembaga hukum dengan wewenang sangat besar, bahkan disebut sebagai superbody, diawasi dengan tata kelola yang sehat. Itu sebabnya dibuat Dewan Pengawas," ujar Hendrawan.

"Jadi KPK yang semula pakai sistem single tier (satu lapis) diganti dengan two tiers (dua lapis) agar terjadi proses check and balances secara internal," imbuhnya.

Baca: Bercanda Pamer Senjata Dalam Kondisi Mabuk, Roland Tak Sengaja Tembak Teman Sendiri

UU KPK hasil revisi ramai-ramai ditolak karena disusun secara terburu-buru tanpa melibatkan masyarakat dan unsur pimpinan KPK.

Isi UU KPK yang baru juga dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antirasuah.

Misalnya KPK yang berstatus lembaga negara dan pegawai KPK yang berstatus ASN dapat mengganggu independensi.

Dibentuknya dewan pengawas dan penyadapan harus seizin dewan pengawas dianggap bisa mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK.

Kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.

Setelah aksi unjuk rasa besar-besaran menolak UU KPK hasil revisi dan sejumlah RUU lain digelar mahasiswa di berbagai daerah, Presiden Jokowi akhirnya tampil ke publik dan angkat bicara.

Presiden Jokowi mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.

Hal itu disampaikan Jokowi usai bertemu puluhan tokoh di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019).

Namun sampai hari ini belum ada kabar terbaru mengenai sikap Presiden terkait Perppu.

Belakangan, mulai terlihat sinyal Presiden Jokowi berubah sikap terkait Perppu UU KPK.

Hal ini terlihat saat Jokowi diwawancara awak media pada perayaan Hari Batik. Dalam tayangan video yang diunggah di akun resmi Sekretariat Presiden, Rabu (2/10/2019) malam, Jokowi mulai enggan ditanyai soal Perppu KPK.

Awalnya wartawan bertanya seputar batik sesuai tema acara. Pertanyaan itu langsung direspons oleh Jokowi.

Kemudian, wartawan bertanya soal perkembangan seputar wacana penerbitan Perppu KPK. "Soal Perppu KPK pertimbangannya sudah sejauh mana Pak?" tanya wartawan.

"Hm?" kata Jokowi saat mendengar pertanyaan wartawan itu. Wartawan itu lalu mengulang pertanyaannya.

Wartawan lain juga ikut menimpali. "Perppu KPK Pak?" kata awak media kompak.

Namun, lagi-lagi Jokowi merespons "hmm" sebanyak dua kali.

Setelah itu, Jokowi meminta wartawan bertanya saja seputar batik sesuai tema acara yang baru dihadirinya. "Wong batik kok," kata Jokowi yang kemudian tertawa.

Seorang wartawan pun akhirnya kembali bertanya seputar batik, utamanya berkaitan dengan cara mempromosikan budaya Indonesia itu ke generasi milenial.

Kali ini, Jokowi menjawab antusias. Ia menyebut, batik sudah menjadi mata pelajaran muatan lokal di sekolah menengah kejuruan.

Setelah itu, wartawan bertanya lagi seputar persiapan pelantikannya bersama Ma'ruf Amin. Kali ini, meskipun pertanyaan bukan seputar batik, Jokowi bersedia menjawab. Ia mengaku menyerahkan mekanisme pelantikannya kepada MPR.

Baca: TKI Asal NTT Tewas Diterkam Buaya Malaysia, Terungkap Lewat Potongan Tubuh dan Hasil Tes DNA

Selain itu, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh juga sudah menyebutkan bahwa Presiden Jokowi tidak akan menerbitkan Perppu KPK.

Hal itu berdasarkan hasil kesepakatan dalam pertemuan antara Presiden Jokowi dengan pimpinan partai politik pendukungnya di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Senin (30/9/2019) lalu.

"Jadi yang jelas, Presiden bersama seluruh partai pengusungnya mempunyai satu bahasa yang sama. Untuk sementara enggak ada. Belum terpikirkan mengeluarkan Perppu," kata Surya Paloh saat dijumpai di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/10/2019).

Salah satu alasan tidak dikeluarkannya Perppu, yaitu UU KPK hasil revisi saat ini masih diuji materi di Mahkamah Konstitusi.

"Saya kira masalahnya sudah di MK, kenapa kita harus keluarkan Perppu? Ini kan sudah masuk ke ranah hukum, ranah yudisial namanya," ucap dia.

Presiden akan salah apabila menerbitkan Perppu di saat UU KPK hasil revisi tersebut sedang diuji materi di MK.

"Masyarakat dan mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana (MK), Presiden kita paksa keluarkan Perppu, ini justru dipolitisir. Salah-salah, Presiden bisa di-impeach karena itu," ujar Surya Paloh.

Baca: Menunggak Iuran BPJS, Pemerintah Siapkan Sanksi Tak Bisa Perpanjang SIM hingga Buat Paspor

Tak lama berselang, Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut Binsar Panjaitan yang menyebutkan Presiden Jokowi tak bisa menerbitkan Perppu KPK.

Alasannya, saat ini UU KPK hasil revisi sudah bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). “UU KPK sudah diajukan judicial review oleh mahasiswa, dam sudah berjalan (di MK),” kata Luhut Panjaitan di Jakarta, Rabu (2/10/2019).

Berdasarkan ketentuan bernegara, kata Luhut Panjaitan, eksekutif tidak bisa melakukan intervensi terhadap hal yang sudah masuk ranah yudikatif.

“UU KPK kini sudah ditangani yudikatif, jadi Presiden tidak lagi mencampuri hal itu,” kata Luhut Panjaitan.(*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sikap Resmi, Fraksi PDI-P Menolak jika Jokowi Terbitkan Perppu KPK"

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved