News Analysis
Anggota Dewan Gadaikan SK, Pengamat Sosial: Mereka Memang Butuh Uang Banyak
Realitas anggota DPRD menggadaikan SK pengangkatan bukanlah hal yang baru.
Oleh: Agus Suriadi-Pengamat Sosial USU
TRIBUN-MEDAN.com-Realitas anggota DPRD menggadaikan SK pengangkatan bukanlah hal yang baru.
Beberapa tahun belakangan, tiap usai pemilihan, banyak anggota dewan terpilih yang menggadaikan Surat Keputusan (SK) Penetapan mereka.
Pertanyaannya, kenapa gadai ini jadi pilihan?
Ada beberapa sebab yang bisa dikedepankan, yang kesemuanya bermuara pada satu hal: mereka, para anggota dewan terpilih itu, memang butuh uang banyak.
Hitung-hitungan sudah dilakukan sejak mereka dipastikan terpilih. Alokasinya sudah ada. Uang ini akan mereka gunakan, pertama, untuk membiayai bimtek. Bimbingan teknis yang merupakan aktivitas partai.
Sebagai anggota partai yang sudah duduk di kursi DPR, entah di pusat maupun daerah, mereka tentu "dituntut" untuk memberikan semacam "sumbangan".
Kedua, hitung-hitungan soal dana kampanye yang lalu. Tidak sedikit dana yang dikeluarkan. Tidak sedikit yang pada saat itu memakai dana pinjaman, dan yang namanya pinjaman, tentu harus dikembalikan.
Syukur-syukur jumlahnya tidak berlipat. Belum lagi jika mereka masih tersangkut utang. Misalnya, utang kepada tim sukses.
Dari sini, kita bisa melihat gambaran, betapa mereka dihadapkan pada bayangan pengeluaran. Padahal di sisi yang lain, aktivitas sebagai anggota dewan belum ada. Dengan kata lain, pengeluaran sudah banyak, penghasilan belum ada.
Bukankah tiap anggota dewan memperoleh gaji yang besar? Benar, kalau tidak keliru ingat, gaji anggota dewan, berikut tunjangannya, rata-rata mencapai Rp 50 juta sampai Rp 80 juta per bulan. Jumlah yang besar. Namun angka ini jadi tak besar apabila kita tahu bahwa gaji ini tidak seluruhnya bisa mereka bawa pulang. Ada pos-pos yang mesti dibagi. Termasuk ke partai, ke fraksi, atau hal-hal yang sifatnya insidental. Katakanlah bertemu kolega atau konstituen.
Sebagai wakil rakyat, tentu, situasi tidak sama lagi. Ini semacam kelaziman sosial. Mereka tidak dapat menempatkan diri sebagai pihak yang ditraktik. Mereka mesti mentraktir.
Bagaimana dengan kebutuhan pribadi? Tidak sedikit memang yang seperti ini. SK digadaikan untuk membeli rumah atau mobil atau baju-baju yang bagus. Tidak salah juga karena pada dasarnya, menggadaikan SK Penetapan bukan perbuatan melanggar hukum. Tak ada kaidah-kaidah yang dilanggar dalam undang-undang.

Sudut pandang yang bisa digunakan dalam memandang realitas ini adalah sudut pandang sosial. Bukan sudut pandang hukum. Perkara pantas tak pantas.
Pertanyaan lebih lanjut, apakah pantas?
Saya kira, sepanjang tidak melanggar hukum, masih bisa ditolerir. Ketimbang mereka melakukan hal-hal di luar batas kewenangan, itu lebih berbahaya.(ase)
Tak Takut Korupsi, Pejabat Jaman Sekarang Merasa Ketiban Sial Jika Tertangkap |
![]() |
---|
Ichwan Azhari: Medan Dibangun sebagai Kota Anti-Banjir dan Canggih, Sekarang? |
![]() |
---|
Kepsek dan Dinas Pendidikan Jangan Cari Makan dari Sekolah dan Orang Tua Siswa |
![]() |
---|
Anak Pejabat dan Tokoh Jadi Caleg, Rendah Kapasitas Namun Berpeluang |
![]() |
---|
KPK Sengaja Bikin 'Sport Jantung' di Sumut, Seharusnya 38 Anggota Dewan Ditahan Bersamaan |
![]() |
---|