Guru Inspiratif
14 Tahun Guru Honor Cuma Digaji Rp 400 Ribu, Melita Sagala Terpaksa Bertani di Ladang Kontrakan
"14 tahun jadi honorer, tantangannya semua duka tak ada suka," ungkap Melita mengawali pembicaraan sakecil.
Penulis: Arjuna Bakkara |
TRIBUN-MEDAN.COM, SAMOSIR -Nikmatnya kehidupan guru-guru lainnya terlebih yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak semanis yang dirasakan guru honorer seperti yang dirasakan Melita Syilpia Sagala.
Melita menjadi guru honorer di desa terencil tepatnya di Binangara Kecamatan Silalahi Sabungan perbatasan Kabupaten Samosir dengan Kabupaten Dairi.
Sejak menjadi guru honor Melita mengaku memiliki banyak tantangan mulai dihargai 100 ribu rupiah sampai bertahan saat ini demi memajukan pendidikan di SD Negeri 030343 Binangara, Kecamatan Silalahi Sabungan.
"14 tahun jadi honorer, tantangannya semua duka tak ada suka," ungkap Melita mengawali pembicaraan sambil tertawa kecil, Senin (25/11/2019).
Melita mulai terjun ke dunia pendidikan sejak tamat SMA tahun 2005. Kemudian September 2005, Melita mulai mengajar dan digaji Rp 150 ribu per bulan.
Sejak awal mengabdi pun, Melita sudah mendapat tantangan luar biasa selain harus rela diupah dengan gaji 150 ribu.
Selama dua tahun pertama Melita bahkan harus mengarungi Danau Toba selama 1 jam 25 menit dari Desa Sitio-tio Kabupaten Samosir menuju sekolah.
Melita menggunakan perahu tradisional "solu" bermesin yang dipinjamkan ayahnya.
Dijerang teriknya matahari dan menahan hujan hingga basah kuyup sudah biasa dilaluinya saat itu.
"Semenjak jadi honor pada tahun 2005 selalu bolak balik dari Binangara ke Sitiotio (Perbatasan Samosir-Dairi) dengan jarak tmpuh 1 jam 25 menit dengan menggunakan solu sejak 2005-Awal 2007.
Untuk bensin aja 1 hari 4 liter. Sedangkan gaji hanya 150 ribu, dan memang sempat putus asa" tutur Melita.
Mempermudah jangkauan baik jarak tempuh dan efisiensi waktu untuk mendidik, Melita akhirnya memilih tinggal di rumah kontrakan yang semi sederhana.
Sejak 2007 sampai saat ini Melita tinggal di rumah kayu yang dikontraknya dengan jarak 100 meter dari sekolah.
Sampai saat ini Melita hanya digaji 400 ribu per bulan, sementara banyak biaya yang harus ditutupinya. Termasuk biaya untuk ketiga anaknya.
"Setelah dilimpahkan ke Dana BOS tahun 2007, barulah saya memperoleh gaji 400 ribu sampai hari ini,"tambahnya.
Melita pun berinisiatif, untuk mengontrak ladang warga yang luasnya bisa ditanami bibit satu kaling padi.
Sebagian lagi lahan untuk tanaman jagung dan bawang.
Menurut Melita, satu-satunya cara agar bisa bertahan hidup memang harus sambil bertani.
Untuk membayar sewa ladang, Melita sepakat menyerahkan 30 kaleng padi ke pemilik lahan sebagai bayarannya.
"Mencukupi kebutuhan rumah tangga, saya dan suami mengontrak ladang warga dengan menyerahkan 30 kaleng padi per tahun sebagai bayaran kontrak ladangya,"tambah Melita.
Sehari-hari hidup serba sulit, Melita mengaku hampir menyerah menjalankan tugasnya sebagai guru.
Namun, saat itu masih relatif banyak siswa di pedesaan menurutnya butih pendidikan dan hal itulah membuatnya bertahan.
Apalagi, di SD tempat dia mengajar, hanya ada satu guru lain selain dia.
Sepulang mengajar di sekolah, Melita tidak lagi langsung pulang ke rumah melainkan menuju ladang dengan bekal nasi yang disiapkannya sebelum akhirnya pulang ke rumah sore harinya.
"Begitulah memang setiap harinya, mau tak mau harus mandiri dan sambil berladang," tambah Melita.
Dalam mengajar, mereka pun tak bis maksimal. Mau tak mau, harus mengajari siswa tiga kelas sekaligus selama ini.
Berbeda dengan sekarang, sudah ada tiga guru yang baru saja ditempatkan setelah lolos PN, mengajar pun sudah lebih efisien. Sedangkan siswa yang mereka didik saat total 24 orang.
"Selama ini kami hanya bise mengajar seadanya, bahkan ada pelajaran yang tidak tuntas dalam satu semester karena harus men gajari tiga kelas sekaligus.
Tapi, daripada tidak ada yang penting kita ajarkan ketimbang enggak pernah sama sekali kita bisa berdosa,"tambahnya.
Melita tetap semangat mengajar, meski tidak tinggal di rumah yang layak. Rumah kayu sederhana yang dia tempati seluas 4x5 meter sering bocor dan basah kala hujan.
Melita memang pernah mengikuti ujian CPNS, dan keberuntungan belum menjadi miliknya. Meski dua kali gagal, dia mengaku tetap akan mengajar.
Disinggung kenapa bertahan jadi guru, Melita mengaku agar nasib anak-anak di pesisir Danau Toba yang masih terpencil bisa berubah lebih baik.
Menjadi guru, baginya adalag kepuasan bathin dan merupakan utang moral jika tidak memberikan pendidikan ke anak-anak di pedesaan.
"Setidaknya, sebagai guru saya bisa menjembatani bagaimana adik-adik (siswa) yang senasib seperti saya waktu kecil ini bisa melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan nasibnya berubah lebih baik, tak seperti bagaimana susahnya para orang tua mereka di desa,"ujar Melita ibu tiga anak ini.
(jun-tribun-medan.com)