Mengenal Kapal Perang Monster Kebanggaan Sukarno KRI Irian 201 yang Akhirnya jadi Rongsokan

Kekuatan militer Indonesia pernah menjadi momok menakutkan di Asia hingga membuat Belanda angkat kaki dari Papua (Irian Barat saat itu).

Editor: Tariden Turnip
ISTIMEWA
Mengenal Kapal Perang Monster Kebanggaan Sukarno KRI Irian 201 yang Akhirnya jadi Rongsokan. KRI Irian 201 

Mengenal Kapal Perang Monster Kebanggaan Sukarno KRI Irian 201 yang Akhirnya jadi Rongsokan

Kekuatan militer Indonesia pernah menjadi momok menakutkan di Asia hingga membuat Belanda angkat kaki dari Papua (Irian Barat saat itu).

Mobilisasi kekuatan militer Indonesia ini tak lepas dari bantuan Uni Soviet saat Sukarno melancarkan Operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat (IRIAN artinya Ikut Republik Indonesia Anti Nederland) dari cengkraman Belanda.

Dari akhir 1950-an hingga akhir masa kepemimpinan Sukarno pada 1966, Uni Soviet telah memasok Indonesia dengan satu kapal penjelajah, 14 kapal perusak, delapan kapal patroli antikapal selam, 20 kapal rudal, beberapa kapal torpedo bermotor dan kapal meriam, serta kendaraan-kendaraan lapis baja dan amfibi, helikopter, dan pesawat pengebom.

LUHUT Pandjaitan Blak-blakan Bongkar Percakapan dengan Prabowo soal Jokowi: Wo, Terusin Aja

VIRAL Kisah Pernikahan Fenomenal Nenek 80 Tahun dengan Pria 35 Tahun, Umur bukan Penghalang

Deretan Fakta Pelecehan Seksual di Penjara Perempuan, Kronologi hingga Sudah Jadi Rahasia Umum

Nikita Mirzani Terang-terangan Uraikan Ucapan Penyidik yang Memicu Dirinya Jadi Teramat Marah

Satu alutsista yang paling  menonjol kapal perang kebanggaan Presiden Soekarno (Bung Karno) bernama KRI Irian 201 yang dimiliki Angkatan Laut RI (ALRI/TNI AL) saat itu. 

Sebagai kapal perang terbesar tipe penjelajah ringan (light cruiser) yang pernah dimiliki oleh Indonesia, KRI Irian memang sangat istimewa.

Jika konflik Indonesia-Belanda berkembang menjadi perang terbuka, maka tugas dari KRI Irian adalah sebagai penyeimbang bagi armada laut Belanda yang telah digelar di perairan Irian.

Sebelum diserahkan kepada ALRI, KRI Irian bernama Ordzonnikidze yang tergabung dalam armada laut Baltik dan mulai dinas aktif pada 30 Juni 1952.

KRI Irian 201
KRI Irian 201 (ISTIMEWA)

Dunia internasional mengenal kapal buatan Uni Soviet (Rusia) ini sebagai kelas Sverdlov dan dibuat sebanyak 14 buah.

Sebagai kapal perang yang diproduksi ketika Perang Dingin sedang berlangsung, Ordzonnikidze merupakan pengembangan dari penjelajah ringan kelas Champayev yang ukurannya kemudian diperbesar dan lebih disempurnakan.

Sementara sistem persenjataannya masih sama tapi kapasitas tanki bahan bakarnya diperbesar sehingga jarak tempuhnya semakin jauh.

Sebagai tenaga penggeraknya adalah mesin turbin uap tipe TB-72 sebanyak dua buah dan mampu menghasilkan tenaga sebesar 122.000 tenaga kuda serta dapat menggerakkan kapal dengan kecepatan maksimum 32,5 Knot.

Sebagai penjelajah konvensional KRI Irian bernomor lambung 201 memang tidak dilengkapi rudal.

Tapi dengan empat kubah kanon yang masing-masing berisi tiga buah laras berukuran 12,5 cm tipe 57 tentunya bukan lawan yang ringan untuk kapal perang jenis Frigat atau Destroyer.

Apalagi KRI Irian masih dilengkapi sejumlah persenjataan tambahan berupa 12 kanon kaliber 10 cm, 32 kanon kaliber 3,5 cm, 4 Tripel Gun kaliber 20 mm.

KRI Irian 201
KRI Irian 201 (ISTIMEWA)

Bahkan untuk melawan kapal selama, KRI Irian dilengkapi 10 tabung torpedo kaliber 533 mm.

KRI Irian sebenarnya sejak awal tidaklah dipersiapkan untuk beroperasi di daerah tropis. Untuk itu sebelum diserahkan ke ALRI rencananya akan dilakukan sejumlah modifikasi.

Tapi begitu mengetahui biayanya yang terlalu tinggi perubahan itu urung dilakukan.

Namun, mengingat kapal ini sejak awal didesain untuk daerah dingin maka ketika dibeli oleh Indonesia yang beriklim tropis mau tidak mau ventilator kapal harus ditambah.

Tujuannya guna menambah sirkulasi udara di dalam ruangan kapal dan untuk memenuhi kebutuhan teknis itu, genset sebagai tenaga penggerak diganti menggunakan kapasitas yang lebih besar.

Di luar Uni Soviet pengguna kapal kelas Sverdlov ini pada zaman itu (1960-an) hanya Indonesia.

Dalam penjualan kapal kelas Sverdlov, Uni Soviet memang sangat selektif dan berusaha keras agar pihak Barat tidak mengetahui teknologi yang dimiliki.

Oleh karenanya Uni Soviet berprinsip tidak akan pernah menjual kapal sebesar itu ke pihak luar selain kepada sahabat dekatnya.

Sebagai negara yang sedang berhubungan baik dengan Uni Soviet, maka saat itu Indonesia tidak hanya membeli kapal perang atas air tapi juga sejumlah kapal selam (bawah air).

Tepat pada 24 Januari 1963 Ordzonnikidze resmi bertugas di Indonesia dan diberi nama KRI Irian (kependekan dari Ikut Republik Indonesia Anti Netherland) dengan nomor lambung 201.

Angka dua di depan menunjukan bahwa semakin kecil angkanya bobot dan ukuran kapalnya semakin besar.

Dilihat dari sejarahnya TNI AL ternyata baru pertama kali menggunakan nomor lambung berkepala dua pada armada kapal perangnya dan sampai sekarang belum ada penggantinya.

Pasalnya memang tidak pernah menggunakan kapal sekelas itu lagi.

KRI Irian memiliki jumlah total anak buah kapal (ABK) mencapai 1.250 orang dengan komandan pertamanya Kolonel Frits Suak.

KRI Irian langsung digunakan dalam Operasi Trikora khususnya untuk mendukung operasi militer secara besar-besaran bertajuk Operasi Jayawijaya.

Dengan bobot yang luar biasa besar 16.640 ton dalam keadaan penuh awak kapal dan persenjataan, maka selama mengoperasikannya tidak aneh jika terjadi kesalahan-kesalahan.

Misalnya saja KRI Irian pernah bersenggolan dengan kapal selam yang akan menuju permukaan.

Setelah kampanye militer pembebasan Irian Barat selesai pada tahun 1964, KRI Irian mendapat perbaikan di galangan kapal Dalzavod-Uni Soviet.

Ketika melakukan perbaikan ada hal kecil yang menarik perhatian para teknisi Uni Soviet sewaktu melihat ruang yang tadinya digunakan untuk menyimpan pakaian sudah diubah menjadi tempat ibadah.

Pada bulan Agustus di tahun yang sama perbaikan terhadap KRI Irian selesai dan siap dilayarkan menuju Indonesia.

Dalam perjalanan kembali ke Surabaya untuk menghindari segala kemungkinan buruk, KRI Irian dikawal oleh sebuah destroyer milik Uni Soviet.

Namun, tidak lama kemudian suasana politik di Indonesia pun berubah dari Orde Lama pimpinan Soekarno menjadi Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.

Pemerintahan Orde Baru ternyata tidak begitu menaruh perhatian pada KRI Irian dan mulai jarang dioperasikan serta malah cenderung terlantar sehingga mengalami kemunduran.

Dengan alasan biaya perawatan yang sangat besar akhirnya KRI Irian dibebastugaskan dan dijadikan besi tua.

Pada tahun 1970 kondisi KRI Irian sudah sangat parah dan sedikit demi sedikit mulai kebanjiran air laut.

Laksamana Soedomo yang saat itu menjabat sebagai KSAL lalu memerintahkan agar KRI Irian dibesituakan (scrap) di Taiwan tahun 1972 dengan alasan kekurangan komponen suku cadang kronis.

Menurut penjelasan Kolonel Laut Purnawirawan Soepono yang pernah menjadi staf Soedomo, untuk membawa KRI Irian ke Taiwan yang tidak berfungsi mesinnya, kapal perang yang pernah berjaya ini ditarik menggunakan kapal tunda dan diawaki oleh sejumlah personel ALRI.

Dalam perjalanan sebuah kapal perang Uni Soviet sempat mencegat pelayaran KRI Irian dan sejumlah perwira militer Uni Soviet memasuki kapal untuk melakukan inspeksi apakah semua persenjata di KRI Irian sudah dicopot.

Setelah memastikan KRI Irian sudah ‘dilumpuhkan’ (disabled) persenjataannya, dengan ditarik kapal tunda, KRI Irian tiba di Taiwan dan menjalani nasib tragis untuk di-scrap serta dijadikan beragam produk otomotif.

PEMBEBASAN IRIAN BARAT

Pada Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, kecuali Papua.

Pemerintah Belanda beralasan bahwa pulau dan suku-suku yang mendiami Papua memiliki kebudayaan mereka sendiri yang berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya.

Presiden pertama RI Sukarno, yang memimpin gerakan kemerdekaan Indonesia, menggelar Operasi Trikora untuk membebaskan wilayah yang saat itu disebut sebagai Irian Barat dari kekuasaan Belanda.

“Pada awalnya, ini adalah upaya yang sia-sia,” kata Clarice Van den Hengel, seorang peneliti dan ahli Indonesia yang tinggal di Den Haag, kepada RBTH.

“Awalnya, Amerika, yang telah membentuk NATO, mendukung Belanda, sedangkan Stalin tidak peduli dengan Indonesia yang berada jauh di khatulistiwa.”

Upaya Sukarno untuk membebaskan Irian Barat dimulai dengan melakukan negosiasi bilateral langsung dengan Belanda. Ketika langkah ini gagal, Indonesia kemudian mencoba untuk menggalang dukungan di Majelis Umum PBB. Namun, hal ini pun terbukti sia-sia.

Konfrontasi
Pada tahun 1956, Presiden Sukarno, yang memiliki kecenderungan jiwa sosialis yang kuat, melakukan kunjungan pertamanya ke Moskow. Di Moskow, sang presiden pertama RI membahas sengketa negaranya dengan Belanda, yang kemudian disebut sebagai Sengketa Irian Barat.

Dari kiri ke kanan: kosmonot legendaris Uni Soviet Yuri Gagarin, Nikita Khruchev, Presiden RI Soekarno, dan Leonid Brezhnev di Kremlin, Moskow, Juni 1961.
Dari kiri ke kanan: kosmonot legendaris Uni Soviet Yuri Gagarin, Nikita Khruchev, Presiden RI Soekarno, dan Leonid Brezhnev di Kremlin, Moskow, Juni 1961. (RIA Novosti)

Pemimpin Soviet Nikita Khrushchev, yang mendukung gerakan antikolonialisme di Asia dan Afrika, dengan cepat mengumumkan dukungannya terhadap Indonesia yang pada waktu itu tengah berupaya mendapatkan dukungan di PBB.

Moskow juga mulai mempersenjatai angkatan bersenjata Indonesia. Dari akhir 1950-an hingga akhir masa kepemimpinan Sukarno pada 1966, Uni Soviet telah memasok Indonesia dengan satu kapal penjelajah, 14 kapal perusak, delapan kapal patroli antikapal selam, 20 kapal rudal, beberapa kapal torpedo bermotor dan kapal meriam, serta kendaraan-kendaraan lapis baja dan amfibi, helikopter, dan pesawat pengebom.

“Situasi benar-benar berubah ketika Indonesia dipersenjatai oleh Soviet,” kata Van den Hengel. “Belanda sudah kalah perang dengan rakyat Indonesia dan tidak siapa untuk berurusan dengan tentara Indonesia yang dilengkapi dengan senjata modern.”

Dengan dukungan persenjataan Soviet, Indonesia memulai kebijakan konfrontasi dengan Belanda pada tahun 1960.

Subandrio Bertemu Khrushchev
Konfrontasi antara Indonesia dan Belanda melibatkan kombinasi tekanan diplomatik, politik, dan ekonomi, serta kekuatan militer yang terbatas.

Tahap akhir konfrontasi memaksa invasi militer berskala penuh, suatu rencana berisiko yang akan memaksa Amerika untuk campur tangan dan membantu sekutu NATO mereka.

Selama puncak konfrontasi, Subandrio, menteri luar negeri Sukarno yang fasih berbahasa Rusia, terbang ke Moskow untuk meminta dukungan Soviet.

Nikita Khrushchev menggambarkan peristiwa yang berujung pada konfrontasi ini dalam memoarnya. “Saya bertanya kepada Subandrio, ‘Seberapa besar kemungkinan kesepakatan (dengan Belanda) bisa tercapai’,” tulis Khruschev.

“Dia menjawab, ‘Tidak terlalu besar.’ Saya bilang, ‘Jika Belanda tidak bisa bersikap rasional dan memilih terlibat dalam operasi militer, ini akan menjadi perang yang, pada batas tertentu, bisa berfungsi sebagai medan pembuktian bagi pilot-pilot kami yang menerbangkan pesawat tempur yang dilengkapi dengan rudal. Kita akan melihat bagaimana rudal kami bekerja’.”

Meskipun dukungan Moskow terhadap Indonesia sangat jelas dan dinyatakan secara terbuka, pembicaraan antara Khrushchev dan Subandrio ini seharusnya bersifat rahasia. Namun, sang menlu, menurut memoar Khrushchev, mengungkapkan hasil pembicaraannya itu kepada Amerika, yang sama sekali tak ingin terjebak dalam krisis lain yang berpotensi menjadi Perang Dunia.

“Ini menjadi momen berakhirnya kekuasaan Belanda di Irian Barat,” kata Van den Hengel. “Selain ingin menghindari konfrontasi langsung dengan Uni Soviet, AS tidak ingin terlihat bahwa negaranya tampak mendukung penjajah Eropa melawan negara dunia ketiga yang baru merdeka.”

Di bawah tekanan Amerika, pada Agustus 1962, Belanda akhirnya setuju untuk menyerahkan Irian Barat ke Otoritas PBB (UNTEA). Pada 1963, wilayah Irian Barat akhirnya diserahkan kepada Indonesia.

Setelah referendum tahun 1969, atau yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), rakyat Irian Barat dengan suara bulat memilih bergabung dengan Indonesia. Meskipun dibantah oleh beberapa pengamat Barat, hasil referendum diterima oleh Amerika Serikat, Uni Soviet, Australia, serta 81 anggota PBB lainnya.

Namun, Belanda mengembangkan sekelompok orang yang hendak menentang penggabungan wilayah Papua dengan Indonesia. Unsur-unsur ini kemudian membentuk gerakan separatis yang hingga kini masih aktif di Papua.

Mengenal Kapal Perang Monster Kebanggaan Sukarno KRI Irian 201 yang Akhirnya jadi Rongsokan

Artikel ini dikompilasi dari intisari berjudul: Nasib Tragis KRI Irian: Pernah Menjadi Kebanggaan di Zaman Bung Karno, Kini Jadi Besi Tua dan Dijual ke Taiwan di Era Pak Harto, dari Russia Beyond berjudul: Bagaimana Uni Soviet Membantu Indonesia Merebut Irian Barat?

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved