Mantan Anggota DPRD Samosir Tersangka Korupsi Pengalihan Status APL Hutan Tele

BP, mantan Anggota DPRD Samosir 2014-2019 sebagai tersangka kasus korupsi pengalihan status APL hutan Tele menjadi milik pribadi dalam bentuk SHM.

Penulis: Arjuna Bakkara | Editor: Juang Naibaho
Ilustrasi Korupsi 

TRI BUN-MEDAN.COM, SAMOSIR - Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Samosir Budi Herman mengatakan telah menetapkan BP, mantan Anggota DPRD Samosir periode 2014-2019 sebagai tersangka kasus korupsi pengalihan status Areal Penggunaan Lain (APL) hutan Tele menjadi milik pribadi dalam bentuk SHM.

Kepada wartawan di Samosir, Selasa (9/6/2020), Budi mengatakan, BP diperiksa sejak pukul 09 sampai 16.00 WIB sehari sebelumnya.

Usai pemeriksaan itu, BP langsung ditetapkan sebagai tersangka.

"Persoalan perkembangan kasus korupsi pengalihan status APL Tele menjadi milik pribadi dalam bentuk SHM sudah naik ke tahapan penetapan tersangka, yaitu saudara BP dalam kapasitasnya sebagai Kepala Desa Partungko Naginjang pada tahun 2003 silam," kata Budi Herman.

BP diduga menyalahgunakan wewenang yang saat kejadian masih aktif menjabat sebagai kepala desa.

Keterlibatan beberapa oknum lainnya baik oknum pejabat BPN maupun oknum pejabat Pemkab Samosir yang diduga terlibat, masih terus didalami Kejari Samosir.

"Karenanya kami meminta dukungan kepada seluruh warga Samosir supaya kasus ini terang benderang. Kami tidak punya kepentingan apa pun di sini, tapi ini kami lakukan untuk penyelamatan lingkungan dan kerugian negara," ujar Budi Herman.

Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Samosir, Paul M Meliala, mengatakan akibat pengalihan status APL Tele menjadi milik pribadi dalam bentuk SHM ini, ditemukan potensi kerugian negara lebih dari Rp 17,5 miliar.

"Kerugian tersebut didasarkan pada nilai NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) di tahun 2003 silam untuk areal pertanian seluas 350 hektare di APL-Tele di Desa Partungko Naginjang, sebelum berganti nama menjadi Desa Hariara Pintu, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir.

Hitungan Rp 17,5 miliar itu masih untuk lahan pertanian, kalau ikut pemukiman bisa lebih banyak kerugian negaranya," sebut Paul.

Menurutnya, tersangka BP diduga memindahtangankan beberapa bidang tanah di areal APL-Tele kepada orang lain serta meningkatkan hak menjadi SHM yang bukan pemohon izin membuka tanah tanpa ada izin pejabat berwenang sesuai persyaratan dalam surat keputusan (SK) Bupati Tobasa Nomor 281 Tahun 2003.

Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) diuraikan, tersangka BP yang selama 20 tahun aktif sebagai Kades Partungko Naginjang (1987-2007), menyebut banyak masyarakatnya saat itu menggarap tanah di APL tersebut.

Kemudian masyarakat melalui BP selaku kades, mengajukan permohonan izin membuka tanah kepada Pemkab Taput (sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Tobasa), namun tak kunjung diproses hingga pemekaran Kabupaten Tobasa terjadi.

Kemudian pada tanggal 26 Desember 2003, Bupati Tobasa menerbitkan SK 281 tahun 2003 tentang izin membuka tanah untuk permukiman dan pertanian pada kawasan APL tanah negara bebas yang terletak di Desa Partungkoan Naginjang.

SK itu diserahkan langsung oleh Tito Siahaan (saat itu menjabat sebagai Kabag Hukum Pemkab Tobasa) kepada tersangka BP, termasuk peta bidang tanah.

"Seharusnya ketika itu, BP menyampaikan pengelolaan dan pembagian tanah itu kepada Pemkab Samosir yang sudah terbentuk.

Jadi pengembangan kasus ini tidak semata pada SK 281, namun didalami pada penguasaan tanah negara termasuk pada kawasan APL Desa Partukko Naginjang sampai Desa Hariara Pintu seluas 4.500 hektar dengan tujuan menyelamatkan tanah negara, agar tidak menjadi objek jual beli oleh oknum tidak bertanggung jawab," ujar Paul.

(Jun-tri bun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved