Celoteh GusDur Tentang Ada 3 Polisi yang Jujur, Polisi Hoegeng, Polisi Tidur dan Patung Polisi
Jenderal Hoegeng Iman Santoso kembali menjadi perhatian serta perbicangan banyak masyarakat di Indonesia.
TRI BUN-MEDAN.com- Jenderal Hoegeng Iman Santoso kembali menjadi perhatian serta perbicangan banyak masyarakat di Indonesia.
Apalagi, ada humor dari Presiden ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid alias GusDur.
Seorang warga Kepulauan Sula, Maluku Utara, Ismail Ahmad mengatakan, ada tiga polisi yang baik yaitu polisi tidur, patung polisi serta Jenderal Hoegeng.
"Ada tiga polisi jujur di Indonesia, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng".
Melansir pemberitaan Harian Kompas, 1 September 2006, dalam sebuah diskusi di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (31/8/2006), Gus Dur mengungkapkan, di Indonesia hanya ada tiga polisi yang baik.
Kala itu, Gus Dur melontarkan lelucon di sela menyinggung pemberantasan korupsi pada masa itu.
Tiga polisi itu, pertama, mantan Kepala Polri, almarhum Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Kedua, patung polisi, dan ketiga adalah polisi tidur.
Mendengar lelucon itu, masih mengutip Kompas, para hadirin yang hadir serentak tertawa.
Siapa sebenarnya Jenderal Hoegeng yang disebut Gus Dur dalam humornya itu?
Hoegeng lahir pada 14 Oktober 1921 di Pekalongan. Ayahnya, Sukario Hatmodjo pernah menjabat sebagai kepala kejaksaan di Kota Batik itu.
Asvi Warman Adam dalam artikelnya "Hoegeng, Polisi Teladan" yang dimuat di Harian Kompas, 1 Juli 2004, mengatakan, nama pemberian ayahnya adalah Iman Santoso.
Ketika kecil, Hoegeng sering dipanggil Bugel (gemuk), lama-kelamaan menjadi Bugeng, akhirnya berubah jadi Hugeng.
Ia mengenyam pendidikan di beberapa daerah yang berbeda. Setelah Sekolah di HIS dan MULO Pekalongan, Hoegeng belajar di AMS A Yogyakarta.
Di Yogyakarta, Hoegeng membentuk sebuah band Hawaian dan mendapat tambahan biaya hidup dari band itu.
Selepas dari Yogyakarta, Hoegeng melanjutkan pendidikan ke Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia kemudian masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Awal Karier Sebagai Polisi
Setelah lulus dari PTIK pada 1952, Hoegeng ditempatkan di Jawa Timur.
Tugas keduanya sebagai Kepala Reskrim di Sumatera Utara yang menjadi batu ujian bagi seorang polisi karena daerah itu terkenal dengan penyelundupan.
Hoegeng disambut secara unik. Rumah pribadi dan mobil telah disediakan beberapa cukong judi. Tetapi, ia menolaknya dan memilih tinggal di hotel sebelum mendapatkan rumah dinas.
Tak berhenti di situ, rumah dinas itu lalu dipenuhi dengan perabot".
Perabot itu dikeluarkan secara paksa oleh Hoegeng dari rumahnya dan ditaruh di pinggir jalan.
Sikap Hoegeng ini pun membuat gempar Kota Medan.
Selepas dari Medan, Hoegeng kembali ke Jakarta dan ditugaskan Presiden Soekarno untuk menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi.
Chris Siner Key Timu dalam artikel "Pak Hoegeng dalam Kenangan" yang dimuat di Harian Kompas, 15 Juli 2004, menceritakan, Hoegeng meminta istrinya, Merry untuk menutup toko kembang.
Ketika istrinya menanyakan hubungan antara jabatan Dirjen Imigrasi dan toko kembang, Hoegeng menjawab singkat.
"Nanti semua yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang Ibu Merry dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya," tulis Chris.
Merry pun memahami dan menutup toko kembangnya.
Hoegeng juga menolak pemberian mobil dinas dari Sekretariat Negara. Alasannya, ia telah memiliki mobil jip dinas dari kepolisian.
Menjabat Kapolri
Serah terima jabatan Kapolri antara Jenderal Hoegeng Iman Santoso kepada penggantinya Moh Hassan oleh Presiden Soeharto pada 1971.
Pada 1968, Presiden Soeharto mengangkat Hoegeng sebagai Kepala Polri menggantikan Soetjipto Yudodihardjo.
Dalam artikel yang ditulis Rosihan Anwar, "In Memorian Hoegeng Imam Santoso" yang dimuat di Harian Kompas, 15 Juli 2004, menyebutkan, pada masa itu kasus penyelundupan merajalela.
Di antara yang terkenal adalah kasus penyelundupan mobil mewah yang didalangi oleh Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It.
Pada 1971, Hoegeng mengumumkan keberhasilannya dalam membekuk penyelundupan mobil mewah melalui Pelabuhan Tanjung Priok.
Mobil-mobil itu dimasukkan dengan perlindungan tentara. Ternyata, pengungkapan kasus itu mempercepat pemberhentiannya sebagai Kepala Polri.
Soeharto beralasan, pemberhentian Hoegeng tersebut adalah untuk regenerasi.
Selepas itu, Hoegang sebenarnya ditawari menjadi Duta Besar oleh Soeharto, tetapi ia menolaknya.
"Saya menolak penugasan saya sebagai Duta Besar di luar negeri, karena saya merasa tidak capable untuk tugas itu," kata Hoegang, dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 15 September 1971.
"Saya mau pikir keluarga saya dulu. Kedua anak saya masih sekolah dan kalau saya ke luar negeri, studi mereka bisa kacau," lanjut dia.
Jenderal Hoegeng meninggal dunia pada 14 Juli 2004 setelah menjalani perawatan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, karena stroke yang dideritanya.
Hoegeng dimakamkan di Parung Raya, Bogor, Jawa Barat.
Artikel ini sudah tayang di kompas.com dengan judul Jenderal Hoegeng, Polisi Jujur yang Disebut Gus Dur dalam Humornya