Berkah Hutan Mangrove, Penopang Ekonomi Warga Bagan Serdang di Tengah Pandemi
“Seluruh pendapatan akan masuk ke kas kelompok. Siapa anggota yang terlibat akan diberikan honor sesuai dengan beban kerjanya,” kata Rahmadsyah.
Penulis: Truly Okto Hasudungan Purba |
TRIBUN-MEDAN.com, DELISERDANG - Keberadaan hutan mangrove tak bisa dibantah memiliki peranan penting bagi lingkungan khususnya bagi pesisir pantai. Tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak di garis pantai, hutan mangrove memiliki manfaat tak sedikit, diantaranya mencegah intrusi air laut, mencegah erosi dan abrasi pantai, serta berperan dalam pembentukan pulau dan menstabilkan daerah pesisir.
Seiring berjalannya waktu, hutan mangrove kini tak melulu dipandang bermanfaat dari sisi lingkungan saja. Lebih dari itu, keberadaan hutan mangrove mampu memberdayakan perekonomian warga sekitar.
Gerakan sederhana yang dilakukan warga Desa Bagan Serdang, kecamatan Pantai Labu, kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara telah memberikan harapan baru. Potensi hutan mangrove dimanfaatkan sebagai ekowisata mangrove dan diolah menjadi produk makanan yang bernilai ekonomis. Kehidupan warga kini tetap berseri, meski pandemi Covid-19 tak tahu ujungnya ada di mana.
SAADAH (38) terlihat begitu hati-hati memotong daun jeruju yang ada di hadapannya. Duri –duri kecil nan tajam yang ada di ujung daun bisa membuat jari berdarah kalau kalau tak hati-hati memotongnya. Dengan cekatan dan tak sampai 15 menit, Saadah mampu memotong daun jeruju dari sekitar 20-an batang pohon dan memisahkannya dari batang daun, membuang duri di ujung daun, dan kemudian memotong kecil-kecil daun jeruju tersebut.
Disampingnya Maemunah (29) menerima potongan kecil daun tersebut, mencucinya dengan bersih, merebusnya hingga mendidih, dan membuang sisa air rebusan lewat saringan. Daun jeruju tersebut dicampur dengan adonan tepung kanji, tepung roti, mentega, telur, bawang merah, garam, gula, dan udang kecepe.
Selanjutnya, Maemunah mencampur seluruh adonan hingga menjadi lembut. Adonan kemudian dibentuk bulat-bulat, dipipihkan tipis-tipis dengan menggunakan ampia, dan dipotong kecil-kecil. Tugas selanjutnya kemudian berpindah ke Ilia. Perempuan 47 tahun ini menggoreng adonan menggunakan api tak terlalu besar.

Seperti itulah aktivitas harian para perempuan yang tergabung dalam Kelompok Eco Woman (Ekonomi Wisata Mangrove) yang ada di Desa Bagan Serdang. Mereka memanfaatkan keberadaan hutan mangrove dengan mengolah daun-daun mangrove menjadi produk makanan dan minuman. Para perempuan ini berbagai tugas, ada yang mengambil bahan dasar yakni daun mangrove dari hutan mangrove, ada yang membuat adonan, menggoreng kerupuk, hingga mengemasnya dalam wadah plastik.
Ketua Kelompok Eco Woman (Ekonomi Wisata Mangrove), Saadah mengatakan, aktivitas pembuatan kerupuk mangrove ini sudah dilakukan sejak tahun 2018 lalu, tetapi sempat berhenti selama hampir dua tahun dikarenakan manajemen kelompok yang tidak tertata dengan baik.
“Bulan April 2020 lalu kami aktif kembali berproduksi. Awalnya, Pertamina masuk ke desa ini lewat program CSR. Kelompok pun dibentuk kembali. Kami dilatih selama tiga bulan dalam pengolahan pembuatan produk makanan dan minuman berbahan dasar mengrove. Kini setelah kelompok aktif kembali, ada 16 perempuan dari beberapa dusun di Desa Bagan Serdang yang menjadi anggota,” ujarnya.
Saadah bercerita, sehari-harinya, perempuan yang tergabung dalam Kelompok Eco Woman tak hanya memproduksi kerupuk, tetapi juga olahan lainnya yang berbahan dasar daun mangrove seperti sirup, selai, dan dodol. Seiring berjalannya waktu, olahan produk tak hanya berbahan dasar daun mangrove saja, tetapi juga ikan laut dengan menghasilkan produk seperti abon ikan dan sosis ikan.
Keberadaan Kelompok Eco Woman telah memberikan harapan baru bagi perekonomian warga sekitar, terlebih di masa pandemi Covid-19 ini. Saadah mengakui, perekonomian keluarga di Desa Bagan Serdang ikut terdampak akibat Covid-19. Ada warga yang harus berhenti bekerja karena perusahaan tempatnya bekerja di Deli Serdang tutup karena terdampak Covid-19.
“Desa ini melalui Kelompok Tani Hutan Hijau Mekar juga mengelola kawasan Ekowisata Mangrove Bagan Serdang yang buka setiap akhir pekan. Tetapi karena anjuran pemerintah untuk menutup tempat wisata sebagai upaya memutus rantai penyebaran Covid-19, Ekowisata Mangrove Bagan Serdang pun ikut tutup. Kalau biasanya cukup banyak warga yang mencari rezeki di kawasan wisata setiap akhir pekan, maka selama pandemi aktivitas warga pun terhenti. Jumlah pengunjung menurun drastis,” ujar Saadah.
Berangkat dari kondisi ini, perempuan-perempuan di Desa Bagan Serdang pun berinisiatif untuk memanfaatkan potensi hutan mangrove menjadi produk makanan dan minuman berbahan dasar mangrove dengan brand “Menggoda”.

Kelompok Eco Woman kini mampu membuat masing-masing 17 botol sirup dan selai mangrove ukuran 250 gram per hari, 23 bungkus dodol mangrove ukuran 250 gram per hari, dan 96 bungkus kerupuk mangrove ukuran 25 gram per hari. Untuk produk olahan ikan, Kelompok Eco Woman mampu membuat 30 bungkus ukuran 250 gram per hari, dan 30 bungkus sosis ikan per hari dimana setiap bungkusnya berisi 10 buah sosis.
“Kalau yang rutin kami produksi itu kerupuk mangrove, bisa hampir setiap hari. Karena warung-warung di Desa Bagan Serdang sudah menjadi pelanggan tetap. Kalau sirup, selai, dodol, abon ikan dan sosis ikan kami kerjakan setiap dua kali seminggu dan dijual kepada pengunjung ekowisata mangrove setiap akhir pekan. Kalau ada pesanan dalam jumlah tertentu, kami juga kerjakan,” terang Saadah.
Seluruh hasil penjualan, kata Saadah dimasukkan dalam kas kelompok. Tetapi anggota kelompok yang ikut bekerja sudah mendapatkan honor dengan ketentuan setiap jam mendapat honor Rp 5.000 untuk masa kerja lima jam sehari dan tiga kali seminggu. “Jadi kalau dirata-ratakan, anggota kelompok punya pendapatan setiap bulan Rp 300 ribu. Tapi jumlah ini bisa bertambah kalau ada pesanan tertentu. Setiap anggota kelompok bisa mendapat penghasilan antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per bulan,” katanya.
Ilia mengaku, upah Rp 300 ribu bagi banyak orang sebenarnya sangat kecil. Tapi bagi orang kecil seperti dirinya, upah Rp 300 ribu ini sangat membantu untuk tetap bertahan di masa pandemi Covid-19 ini. Terlebih suaminya yang bekerja sebagai petugas kebersihan di Bandara Kualanamu sempat berhenti bekerja karena kebijakan pemerintah yang membatasi penerbangan di masa pandemi Covid-19.
“Selama ini saya memang tak punya pekerjaan dan pendapatan sendiri. Bergantung kepada suami saja. Setelah bergabung dengan kelompok, saya punya kegiatan dan penghasilan sendiri. Cukuplah untuk membantu-bantu menopang ekonomi keluarga,” katanya.
Pengalaman yang sama disampaikan Maemunah. Kalau selama ini, dirinya tak punya kegiatan di rumah dan tak bisa memasak, lewat Kelompok Eco Woman, kebiasaan itu telah berubah. “Saya kini lebih produktif karena ada kegiatan. Saya juga makin pintar memasak. Dengan adanya kelompok ini, saya punya banyak kawan yang sudah saya anggap seperti saudara,” ujarnya
Saadah mengatakan, melalui Kelompok Eco Woman, pihaknya berkeinginan agar perempuan yang menjadi anggota tak hanya mendapatkan keuntungan pribadi semata dari sisi ekonomi, tetapi juga keuntungan secara sosial karena keberadaan kelompok tersebut. Anggota-anggota di dalam kelompok diharapkan bekerjasama dan saling berdiskusi untuk mengembangkan kemampuan diri dan memajukan kelompok.
“Pandemi Covid-19 ini menjadi tantangan bagi kami, khususnya perempuan di desa ini untuk ikut menopang ekonomi keluarga dan memajukan desa. Caranya kami tempuh lewat Kelompok Eco Woman ini,” kata Saadah.
Saadah menambahkan, untuk saat ini, produk makanan dan minuman olahan Kelompok Eco Woman masih dijual terbatas di warung-warung, di kawasan ekowisata mangrove dan pesanan tertentu. Produk belum dijual bebas di pusat perbelanjaan atau swalayan. “Produk kami belum punya sertifikat halal dan izin PIRT. Kemampuan pengetahuan kami terbatas untuk mengurus ini. Tetapi kami tetap terus berusaha dengan bantuan berbagai pihak untuk mengurus sertifikat halal dan izin PIRT. Kalau sudah punya, kami yakin usaha Kelompok Eco Woman semakin maju,” katanya.
Potensi Hutan Mangrove Jadi Ekowisata
WARGA desa Bagan Serdang, kecamatan Pantai Labu, kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara beruntung memiliki hutan mangrove yang jumlahnya tidak sedikit. Dari tiga dusun yang ada dalam wilayah administrasi desa, terdapat sekitar 446 hektar hutan mangrove yang ada di dua dusun yakni 200 hektar di Dusun 1 dan 246 hektar di Dusun 2.
Potensi hutan mangrove ini pun dimanfaatkan warga menjadi sebuah kawasan ekowisata berbasis hutan mangrove sejak tahun 2008. Lewat bantuan pihak desa, dibentuklah Kelompok Sadar Wisata (Pok Darwis) di tahun yang sama sebagai pengelola ekowisata. Sadar bahwa keberadaan ekowisata akan berdampak pada kebersihan lingkungan pantai dan untuk memastikan hutan mangrove tetap lestari, Kelompok Tani Hutan Hijau Mekar pun membentuk Kelompok Sadar Lingkungan (Pok Darling). Agar manajemennya lebih tertata rapi, keberadaan Pok Darwis dan Pok Darling kemudian berada dalam naungan Kelompok Tani Hutan Hijau Mekar.
Seiring berjalannya waktu, Pertamina melalui program CSR masuk ke Desa Bagan Serdang tahun 2018 lalu. Selain membantu penyelamatan hutan mangrove di Desa Bagan Serdang, Pertamina mengajak perempuan-perempuan di Desa Bagan Serdang memanfaatkan potensi lain hutan mangrove dengan mengolah daun mangrove menjadi produk makanan dan minuman yang bernilai ekonomis. Lalu dibentuklah Kelompok Eco Woman.
“Jadi Kelompok Tani Hutan Hijau Mekar kini punya tiga kelompok yang memanfaatkan potensi hutan mangrove dan menaga kelestarian hutan mangrove,” kata Ketua Kelompok Tani Hutan Hijau Mekar, Rahmadsyah, Kamis (15/10/2020).
Rahmadsyah menjelaskan, sesuai dengan program yang disusun, Kelompok Sadar Wisata (Pok Darwis) mendapat tanggungjawab sebagai pengelola kawasan ekowisata hutan mangrove mulai dari manajemen pengunjung, penyediaan spot wisata, dan pengutipan biaya retribusi pengunjung.
Kelompok Sadar Lingkungan (Pok Darling) bertanggungjawab memastikan kebersihan lingkungan desa dan kawasan ekowisata. Selain itu juga bertanggungjawab terhadap kelestarian hutan mangrove dengan menggandeng berbagai pihak ikut dalam penanaman pohon mangrove.

“Kami pernah bekerjasama dengan Rumah Zakat tahun 2019 menanam 10 ribu batang pohon mangrove. Kemudian tanggal 28 Juli 2020 lalu, bersama PKPU Human Initiative (HI), kami menanam 1000 pohon mangrove. Begitupun, kami rutin melakukan penanaman pohon mangrove secara mandiri. Ada beberapa pihak yang menyerahkan bibit pohon mangrove. Bibit itu kami simpan dan sewaktu-waktu kami bergotong royong menanamanya,” kata Rahmadsyah.
Sedangkan Kelompok Eco Woman bertanggungjawab mengolah produk makanan dan minuman berbahan dasar mangrove dan dipasarkan kepada warga, pengunjung ekowisata hutan mangrove, dan para pemesan.
“Saat ini jumlah anggota kami 40 orang dari tiga dusun di Desa Bagan Serdang. Khusus untuk Kelompok Eco Woman ada 14 orang dan sisanya ada di Pok Darwis dan Pok Darling,” kata Rahmadsyah.
Ekowisata Mangrove Bagan Serdang buka setiap hari Sabtu dan Minggu pukul 08.00-18.30 WIB. Setiap pengunjung dikenakan biaya retribusi Rp 5.000 per pengunjung. Di masa awal berdiri, kata Rahmadsyah, kondisi kawasan ekowisata sangat sederhana. Hanya ada wisata pantai, hutan mangrove dan belasan pohon cemara di pinggir pantai. Tidak ada fasilitas pendukung seperti spot selfie, pondok untuk bersantai, maupun kamar mandi.
Melalui program CSR, Pertamina ikut mendampingi Kelompok Tani Hutan Hijau Mekar dalam mengelola kawasan wisata. Pertamina juga ikut membantu menyediakan beberapa fasilitas seperti: gapura, taman, jembatan setapak di atas pantai, penahan ombak dari bambu, pondok, kamar mandi, dan penerangan di sekitar pantai.
Diakui Rahmadsyah, keberadaan fasilitas pendukung ini cukup berdampak terhadap keberadaan kwasan ekowisata. Setiap minggunya, jumlah pengunjung yang datang mengalami peningkatan. Sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia, pemasukan dari retribusi dan penjualan produk makanan dan minuman berbahan dasar mangrove antara Rp 5 juta hingga Rp 7 juta setiap hari. Tetapi di masa pandemi Covid-19 pendapatan menurun drastis. Setiap harinya, Kelompok Tani Hutan Hijau Mekar hanya mampu meraup Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu.
“Ditutupnya banyak tempat wisata ikut berdampak ke ekowisata mangrove. Tempat wisata ini bahkan sempat tutup beberapa minggu,” kata Rahmadsyah.
Sehubungan dengan diberlakukannya Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) di masa pandemi, ekowisata mangrove pun dibuka kembali tetapi dengan menerapkan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah. “Sudah ada yang datang kembali, tetapi masih bisa dihitung dengan jari. Masyarakat sepertinya masih memilih untuk menjaga jarak dan tinggal di rumah,” ujarnya.
Rahmadsyah mengakui, keberadaan hutan mangrove telah memberikan manfaat yang tidak sedikit bagi warga Desa Bagan Serdang. Selain manfaat dari sisi lingkungan yang mencegah intrusi air laut, mencegah erosi dan abrasi pantai , manfaat ekonomi juga turut dirasakan warga.
Dari sisi ekonomi, setiap akhir pekan warga yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan Hijau Mekar sudah punya pendapatan tambahan selain pendapatan dari pekerjaan sehari-hari mereka sebagai petani dan nelayan. Anggota kelompok berbagi tugas mulai dari membagikan tiket, mengatur parkir, hingga menyewakan sampan.
Khusus para perempuan yang tergabung dalam Kelompok Eco Woman yang selama ini tidak bekerja, sudah menjadi perempuan yang produktif karena ikut dalam program-program kelompok. Perempuan-perempuan Kelompok Eco Woman juga terlibat saat kawasan ekowisata mangrove dibuka mulai dari menjual produk makanan dan minuman berbahan dasar mangrove, menjual makanan dan minuman lainnya dan memasak makanan pesanan pengunjung.
“Seluruh pendapatan akan masuk ke kas kelompok. Siapa anggota yang terlibat akan diberikan honor sesuai dengan beban kerjanya,” kata Rahmadsyah.

Dikatakan Rahmadsyah, keberadaan hutan mangrove menjadi berkah bagi warga desa. Hutan mangrove menjadi penopang ekonomi warga sejak tahun 2008 lalu. Meskipun di masa pandemi Covid-19 ini, perekonomian masih sulit, tetapi pihaknya yakin hutan mangrove masih akan berperan menjadi penopang ekonomi warga.
“Seiring diberlakukannya Adaptasi Kebiasaan baru (AKB), kawasan ekowisata mangrove ini siap untuk menerima kembali pengunjung. Kami siap menerapkan protokol kesehatan terkait dibukanya kembali tempat wisata di masa pandemi Covid-19. Kami yakin, hutan mangrove tetap berperan menjadi penopang ekonomi warga di Desa Bagan Serdang,” katanya.
Rahmadsyah berharap, kedepannya, keberadaan Kelompok Tani Hutan Hijau Mekar tidak hanya bermanfaat bagi anggota-anggotanya saja, tetapi juga warga lainnya di Desa Bagan Serdang. “Kami tetap membuka kesempatan bagi seluruh warga desa untuk bergabung dengan kelompok. Mari, bersama-sama kita menjaga kelestarian hutan mangrove dan memanfaatkan potensi hutan mangrove untuk kemajuan ekonomi kita,” katanya.(top/tribun-medan.com)