Jimly Asshiddiqie: Indonesia Harus Mewaspadai Ancaman Perang Dunia Ketiga

Ada hal yang perlu diwaspadai dari kunjungan petinggi sejumlah negara ke Indonesia akhir-akhir ini.Hal ini terkait dengan potensi terjadinya perang

Editor: AbdiTumanggor
KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN
Jimly Asshiddiqie. 

Kunjungan PM Jepang dan Menlu AS ke Vietnam dan Indonesia mencerminkan tanggapan atas dominasi China di Laut China Selatan dengan mendukung upaya Asia Tenggara dalam mencapai perdamaian di kawasan

TRIBUN-MEDAN.COM - Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie mengatakan, ada hal yang perlu diwaspadai dari kunjungan petinggi sejumlah negara ke Indonesia akhir-akhir ini.

Hal ini terkait dengan potensi terjadinya perang dunia ketiga.

"Ini mengingatkan seluruh warga bangsa kita bahwa kita ini sedang berada di ancaman perang dunia ketiga. Greater depression dari depresi tahun 1930-an yang mana saat itu terjadi antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II," ujar Jimly dalam diskusi daring bertajuk "Setelah Suga dan Pompeo Bertandang", Sabtu (31/10/2020).

Jimly Asshiddiqie.
Jimly Asshiddiqie.(MOH NADLIR/KOMPAS.com)

Jimly mengemukakan hal itu saat menanggapi kunjungan petinggi sejumlah negara ke Indonesia dalam waktu hampir bersamaan.

Beberapa di antaranya adalah kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo dan Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga.

Menurut Jimly, saat ini masih banyak orang yang berpikir bahwa tidak mungkin akan terjadi perang dunia ketiga.

Namun, dia mengingatkan ada gejala-gejala yang tidak bisa dipandang remeh.

"Kemungkinan perang itu tetap saja ada. Karena kalau tidak perang sekarang, ekonomi Barat terancam. The new rulers of the world akan muncul, yakni China. Oleh karenanya, ya harus perang sekarang," ungkap Jimly.

"Jadi kita tetap perlu antisipasi kemungkinan perang ini. Apalagi medan tempurnya itu bukan di wilayah yang dekat Amerika. Tapi di Laut Cina Selatan," lanjut dia.

Nelayan China memasuki Laut China Selatan dikawal kapal penjaga pantai China
Personel China memasuki Laut China Selatan dikawal kapal penjaga pantai China (afp)

Bersamaan dengan itu, kata Jimly, letupan-letupan konflik di sejumlah negara sudah terjadi.

Dia mencontohkan, konflik wilayah Sabah antara Malaysia dengan Filipina, lalu perang antara Armenenia dan Azerbaijan, konflik antara India dengan China.

"Jadi kita tidak boleh anggap enteng. Sedangkan dunia ini melihat Indonesia ini strategis. Maka semua kekuatan itu rebutan bagaimana mempengaruhi Indonesia," lanjut Jimly.

"Ini kesempatan kita membuktikan tegak lurusnya politik luar negeri kita, nonblok, aktif dan bebas. Menentukan dan berperan dalam perdamaian dunia. Sementara juga tetap mendahulukan kepentingan rakyat," kata pakar hukum tata negara ini.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo tiba di Jakarta pada Kamis dini hari lalu.

Kedatangan Pompeo ke Indonesia dalam rangka kunjungan kerja ke sejumlah negara di Asia.

Dalam konferensi pers secara daring, Pompeo juga menyampaikan penolakan atas klaim China di Laut China Selatan.

“Negara kami yang taat hukum menolak klaim tak berdasarkan hukum Partai Komunis China atas Laut China Selatan,” kata Pompeo.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo (AFP/Mandel Ngan)
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo (AFP/Mandel Ngan)

Menurut Pompeo, Indonesia telah menunjukkan keberanian mengenai isu tersebut di Asia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ia menambahkan bahwa pihaknya mendukung Indonesia dalam isu tersebut.

“Itu adalah isu yang patut diperjuangkan dalam pengaturan multilateral dan pemerintahan Trump saat mendukung ini,” ucapnya.

Pompeo juga mencontohkan perjuangan Indonesia menjaga kedaulatan maritimnya di Laut Natuna Utara.

Amerika Serikat pun menantikan kerja sama dengan Indonesia dalam hal memastikan keamanan salah satu jalur perdagangan tersibuk itu.

Sementara itu, Perdana Menteri (PM) Jepang Yoshihide Suga telah bertemu Presiden Joko Widodo ( Jokowi) dan keduanya sepakat untuk melanjutkan kerja sama di berbagai bidang, terutama kesehatan, keamanan, dan ekonomi.

Indonesia menjadi negara kedua tujuan kunjungan luar negeri pertama PM Suga yang baru dilantik pada 16 September lalu.

Dalam pertemuan pada Selasa pekan lalu, salah satu kesepakatan yang diraih oleh dua pemimpin adalah mempercepat pembahasan ekspor senjata dan teknologi militer dari Jepang ke Indonesia.

Demi Hindari Klaim Tiongkok, Indonesia Ganti Nama Laut China Selatan Jadi  Laut Natuna Utara! - Semua Halaman - Hype

Sejumlah pengamat mengatakan, kunjungan PM Suga ke Vietnam dan Indonesia mencerminkan tanggapan atas dominasi China di Laut China Selatan dengan mendukung upaya Asia Tenggara dalam mencapai perdamaian di kawasan, sambil mempromosikan konsep Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka (FOIP).

Laut China Selatan adalah laut tepi, bagian dari Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3.500.000 kilometer persegi.

Laut ini memiliki potensi strategis yang besar karena sepertiga kapal di dunia melintasinya.

Karena itulah Laut China Selatan kini seperti ladang emas yang tengah diperebutkan, dan nilai sebenarnya bahkan mungkin lebih tinggi. Bahkan diperkirakan, ada juga sekitar 11 miliar barel minyak dan gas alam 190 triliun kaki kubik yang belum dieksploitasi di laut. Ini adalah faktor-faktor yang mungkin mendasari sikap bersaing semua penuntut.

Peta Laut China Selatan yang Diklaim China yang Bergaris-garis putus.

Garuda Militer: RI Akan Tegaskan Posisi di Konflik Laut China Selatan

Laut China Selatan yang luasnya kurang lebih 3.500.000 kilometer persegi.

Ada enam pemain di jaringan kompleks klaim wilayah yang tumpang tindih di Laut China Selatan. China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei menggunakan versi sejarah yang berbeda-beda untuk mendukung pernyataan kedaulatan mereka. Bahkan Indonesia juga punya peran yang berbatasan dengan Natuna.

China mengklaim bagian terbesar, mempertahankan haknya atas hampir 90 persen Laut China Selatan, menduduki semua Kepulauan Paracel dan sembilan terumbu karang di Spratley, termasuk Fiery Cross Reef dan Johnson South Reef.

China mendasarkan klaimnya pada apa yang disebut “sembilan garis putus-putus ” yang membentang hampir 2.000 kilometer dari daratan China hingga beberapa ratus kilometer dari Filipina, Malaysia, dan Vietnam.

Sementara garis ini baru pertama kali muncul di peta resmi pada tahun 1948, China menyatakan bahwa itu adalah konfirmasi hak China, bukan penciptaan klaim baru―memperdebatkan kedaulatan berdasarkan penemuan dan penggunaan historis.

Dengan sejarah bersama mereka, klaim luas Taiwan atas wilayah tersebut mencerminkan klaim China.

Penggunaan historis juga digunakan untuk mendukung argumen teritorial baik Vietnam dan Filipina, dengan keduanya menempati sejumlah fitur―seperti terumbu karang atau pulau-pulau yang sebagian besar tidak berpenghuni―di Laut China Selatan.

Di antara upaya yang lebih kreatif, pendudukan Filipina menunjukkan kapal angkut zaman Perang Dunia II yang tenggelam di sekitar Second Thomas Shoal pada akhir 1990-an.

‘Sembilan Garis Putus’ China ada di hampir 2.000 kilometer dari daratan China. (Foto: Newsweek)

Malaysia dan Brunei berargumen bahwa wilayah yang mereka klaim termasuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) mereka, sebagaimana didefinisikan oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Brunei adalah satu-satunya penuntut yang tidak menempati salah satu pulau di sana.

Amerika Serikat tidak memiliki hak teritorial, tetapi telah menjadi tokoh penting di wilayah yang disengketakan itu, melakukan kebebasan navigasi untuk menantang apa yang disebutnya “klaim maritim yang berlebihan” yang dapat membatasi akses internasional ke wilayah tersebut.

Dan Presiden AS Donald Trump mengatakan dia mungkin akan melibatkan Australia dalam kebebasan operasi navigasi itu.

Inggris juga baru-baru ini mengatakan akan menantang klaim China dengan mengerahkan dua kapal induk baru untuk mengarungi perairan yang disengketakan itu di bawah kebebasan patroli navigasi.

(*)

Sebagian tautan Artikel Kompas.com: Indonesia Diminta Waspadai Ancaman Perang Dunia Ketiga

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved