Kisah Israel Mencuri Pesawat Paling Canggih Uni Soviet di Era Perang Dingin dan Diberi Nomor 007
Aksi pembelotan Munir Redfa segera menjadi pemberitaan dunia, segera pihak Irak dan Rusia menuntut kembalinya pesawat.
TRIBUN-MEDAN.COM - Kisah Israel Mencuri Pesawat Paling Canggih Uni Soviet di Era Perang Dingin dan Diberi Nomor 007
Saat aktor legendaris Sean Connery meninggal 31 Oktober 2020, Angkatan Udara Israel (IAF) menggunggah foto mendiang berpose dengan latar belakang pesawat MiG-21 Irak yang diberi nomor '007'.
Dalam foto yang diunggah di akun twiter IAF, Sean Connery foto bareng Mayor Jenderal Israel Moti Hod di depan pesawat yang diterbang pilot yang membelot ke Israel 1966.
Foto aktor Skotlandia pemeran pertama film serial James Bond itu diambil saat berkunjung ke Israel 1967.
Foto ini mengingatkan publik keberhasilan Israel mencuri rahasia pesawat MiG-21 momok udara paling menakutkan bagi Blok Barat di era Perang Dingin.
Oleh Blok Barat atau NATO, pesawat MiG-21 dijuluki Fishbed.
Pesawat ini diproduksi Mikoyan-Guverich Design Bureau pada tahun 1956.
Kehadiran MiG-21 Fishbed yang sanggup mengusung bom berkepala nuklir di Perang Vietnam merupakan ancaman serius bagi AS.
Apalagi sejak kehadiran MiG-21 lusinan pesawat pembom dan tempur AS telah berhasil dirontokkan.
MiG-21 menjadi pesawat fighter penyergap yang tangguh.
Teknologi dan persenjataan yang dimiliki oleh MiG-21 merupakan pengembangan dari pesawat MiG generasi sebelumnya, MiG-19.
Pada prinsipnya, MiG-21 ditargetkan menjadi pesawat tempur yang mudah dikontrol, beratnya makin ringan dan manuvernya lebih lincah, serta gampang diproduksi secara masal.
Simpelnya dapat dilihat dari sosoknya yang tipis bak anak panah atau rudal.
Prototipe awal MiG-21 yang dikenal sebagai Yc-6 sebenarnya mengalami kegagalan saat diuji coba terbang.
Menjelang 1957, MiG-21 sukses diproduksi tapi kehadirannya belum mengagetkan NATO karena sejumlah uji coba persenjataan dan teknologinya masih belum akurat.
Namun Soviet terus melakukan perbaikan dan penyempurnaan hingga MiG-21 nongol di Perang Vietnam dan mampu tampil sebagai fighter penebar maut.
Setelah menuai sukses dalam Perang Vietnam, MiG-21 yang kemudian diproduksi masal dioperasikan lebih dari 46 negara termasuk Indonesia.
Varian yang menunjukkan kemampuan setiap generasi MiG pun terus diproduksi hingga 1973.
Varian-varian MiG-21 itu antara lain MiG-21PF Fishbed D, MiG-21MF Fishbed E, MiG-21 RF Fishbed H, MiG-21 MF Fishbed J, MiG-21 PFMA Fishbed J, dan lainnya. Jumlah varian yang diproduksi kurang lebih 20 jenis.
Sedangkan jumlah total produksi MiG-21 yang sangat populer itu bahkan mencapai lebih dari 10.000 unit.
Populasi dan keberadaan MiG-21 tersebar di hampir seluruh penjuru dunia.

Operasi Diamond
Pada tahun 1963, Mossad, badan intelijen nasional Israel, melakukan operasi untuk memperoleh jet tempur tercanggih Uni Soviet saat itu, Mikoyan-Gurevich (MiG)-21, dalam sebuah misi bernama - Operation Diamond.
Pesawat MiG-21 juga menjadi andalan negara di Timur Tengah yang menjadi musuh Israel.
Sebelum sukses mengakuisisi MiG-21, Mossad mengalami kegagalan dalam dua upaya.
Upaya pertama dilakukan di Mesir ketika seorang pria bernama Adib Hanna, pilot Angkatan Udara Mesir, ditawari hadiah uang tunai oleh agen Mossad Jean Thomas, untuk membelokkan dan menerbangkan pesawat ke Israel.
Namun, pilot bersama dengan agen Mossad dilaporkan ke pihak berwenang Mesir dan agen tersebut digantung bersama ayahnya.
Yang lainnya diduga dihukum penjara.
Dalam upaya kedua, Mossad berhasil sedikit sukses saat menjadi pilot Mesir lainnya, Kapten Mohammad Abbas Helmy setuju untuk membelot dengan pelatih Yakovlev Yak-11 karena perselisihannya dengan atasannya.
Namun, sebelum Mossad merasakan kesuksesan apa pun, Helmy dibunuh, beberapa bulan kemudian, di Amerika Selatan.
Namun dalam percobaan ketiga, Mossad akhirnya mendapatkan pesawat MiG-21.
Pada 1964 ketika seorang pria Irak, dengan nama sandi "Yusuf," menghubungi pihak berwenang Israel tentang sebuah petunjuk.
Yusuf memberi tahu Angkatan Udara Israel tentang pilot Angkatan Udara Irak yang seharusnya memulai pelatihan pada kursus staf di Pangkalan Angkatan Udara Randolph di Texas.
Menurut War History, Mossad berencana "menjebak" seorang pilot Irak, Munir Redfa, yang dikabarkan tidak puas karena beragama Kristen yang membuat kariernya mandeg di militer Irak.
Kabarnya, Munir Redfa juga tidak senang saat dikirim dalam misi terbang melawan Kurdi Irak, kelompok etnis yang terpinggirkan di negara itu.
Untuk menjalankan misi tersebut, Mossad mengirimkan seorang agen wanita untuk menjalin hubungan dengan pilot tersebut dan kemudian mengundangnya untuk bertemu dengan delegasi tingkat tinggi Israel.
Mengutip akun Angkatan Udara Irak, The Drive, menyatakan bahwa dua lagi pilot Irak yang mengajukan pembelotan sebelum Munir Redfa, tewas.
Salah satunya ditembak mati oleh agen Mossad di bar Texas setelah menolak tawaran untuk membelot dan yang kedua terlempar dari kereta karena menuntut imbalan finansial yang berlebihan atas pembelotannya.
Pilot ketiga, Munir Redfa dikabarkan ditawari hadiah uang tunai dan kewarganegaraan Israel.

Melihat, dua rekannya tewas, Munir Redfa setuju untuk membelot.
Munir Redfa kemudian diterbangkan untuk menemui Mayor Jenderal Mordechai “Mottie” Hod, komandan IAF untuk membahas strategi dan jalur penerbangan.
Sementara itu, Mossad mengeluarkan keluarga Munir Redfa dari Irak untuk menghindari kemungkinan pembalasan.
Pada 16 Agustus 1966, Munir Redfa membelot saat menerbangkan misi pelatihan navigasi rutin dari Pangkalan Udara Habbaniyah, sebelah barat Baghdad dan melewati Yordania.
Kemudian Munir Redfa berhasil lolos dari kejaran jet tempur Angkatan Udara Kerajaan Yordania yang mengerahkan tempur Hawker Hunter.
Setelah memasuki ruang udara Israel, Munir Redfa dikawal pesawat tempur Mirage IIICJ IAF hingga sang pembelot dan pesawatnya mendarat di Hatzor, Israel.
Aksi pembelotan Munir Redfa segera menjadi pemberitaan dunia, segera pihak Irak dan Rusia menuntut kembalinya pesawat.
Namun jelas, Israel menolak permintaan ini dan justru memberi cap '007' ke pesawat curian itu, bak gaya James Bond meninggalkan jejak.
Akhirnya Israel memiliki MiG-21 dan Danny Shapira, pilot uji coba IAF yang legendaris, menerbangkannya dalam simulasi pertempuran udara melawan Mirage III.
Namun ternyata kemampuan kedua pesawat itu hampir sama rata.
Pesawat “007” juga terlibat dalam layanan QRA (unit reaksi cepat) ketika perang enam hari.
Ia dicat dengan garis-garis merah untuk mencegahnya disalahtafsirkan sebagai musuh dan diserang oleh pejuang Israel lainnya.
Selain itu MiG-21 007 dikirim ke AS pada Januari 1968, untuk dievaluasi lebih lanjut dengan imbalan penjualan pesawat tempur Phantom F-4 untuk IAF.
Pada tahun 1982 Israel meminta Mig-21 007 kembali, karena mereka ingin menaruhnya di Museum IAF di Hatzerim.
Namun, AS mengirim mereka MiG-21 lain.
Israel mencoba sekali lagi untuk memiliki 007 yang sebenarnya, tetapi, sekali lagi, AS mengirim Fishbed yang salah.
Pada titik ini jelas bahwa Amerika memiliki terlalu banyak MiG-21 dan Israel hanya bisa menerima yang terakhir ini untuk dipajang di Museum. (intisari)