Diusir dari Istana, Bung Karno Cuma Bawa Bungkusan Koran, Soeharto Tak Sadar Isinya Benda Pusaka

Kisah Soekarno dan Soeharto selalu menarik perhatian. Maklum, kedua pemimpin nasional itu telah mengisi tonggak sejarah sangat penting

dok/Kompas.com
Presiden Soekarno (Bung Karno) diapit dua jenderal Angkatan Darat, AH Nasution (kiri) dan Soeharto. Ketiganya tertawa lebar saat bertemu di Istana Merdeka, Jakarta, tahun 1966. 

TRIBUN-MEDAN.com - Dulu dielu-elukan hingga diusir dari Istana Negara, Bung Karno pergi cuma bawa bungkusan koran, Soeharto tak sadar ternyata isinya benda Pusaka

Kisah Soekarno dan Soeharto selalu menarik perhatian. Maklum, kedua pemimpin nasional itu telah mengisi tonggak sejarah sangat penting dalam perjalanan Indonesia. 

Di antara Orde Lama dan Orde Baru, Indonesia mengalami dualisme kepemimpinan. 

Dualisme kepemimpinan terjadi ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan, sementara Soekarno masih menjabat sebagai presiden.

Latar belakang dualisme kepemimpinan nasional

Di awal 1966, kondisi politik bergejolak. Soekarno diprotes keras karena G30S dan perekonomian yang memburuk.

Puncaknya, pada 11 Maret 1966. Demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran terjadi di depan Istana Negara.

Demonstrasi ini didukung tentara. Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto pun meminta agar Soekarno memberikan surat perintah untuk mengatasi konflik apabila diberi kepercayaan.

Maka, pada 11 Maret 1996 sore di Istana Bogor, Soekarno menandatangani surat perintah untuk mengatasi keadaan.

Surat itu dikenal sebagai Supersemar. Isinya, Soekarno memerintahkan Soeharto untuk:

1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.

2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya.

3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.

Soeharto memimpin pemerintahan

Supersemar bertujan mengatasi situasi saat itu. Pada praktiknya, Setelah mengantongi Supersemar, Soeharto mengambil sejumlah keputusan lewat SK Presiden No 1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1966 atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/PBR.

Halaman
1234
Sumber: Grid.ID
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved