Kisah Para Reksa Bahasa, Agar Aksara Batak Toba Tak Lekang Ditelan Zaman
Sebagai warisan budaya, Aksara Batak Toba diperkenalkan kepada generasi muda (khususnya pelajar) sebagai pelajaran Muatan Lokal.
Penulis: Truly Okto Hasudungan Purba | Editor: Juang Naibaho
Etnis Batak Toba adalah salah satu suku bangsa besar di Indonesia. Etnis ini mendiami sebagian besar wilayah Sumatra Utara. Sebagai suku bangsa besar, Batak Toba mewariskan budaya yang kaya dan agung, satu diantaranya adalah aksara. Sebagai warisan budaya, Aksara Batak Toba diperkenalkan kepada generasi muda (khususnya pelajar) sebagai pelajaran Muatan Lokal (Mulok). Lewat pelajaran ini, institusi pendidikan diharapkan tampil sebagai reksa (penjaga) warisan budaya agar Aksara Batak Toba tetap lestari. Bagaimana institusi pendidikan di Sumatra Utara, khususnya Medan menjalankan peran ini? Berikut kisahnya.
***
JEREMIA Sihotang (16) membuka aplikasi WhatsApp ketika suara kecil yang menandakan ada pesan masuk berbunyi di ponselnya. Sebuah pesan dari Tiar Simanjuntak, guru mata pelajaran Aksara Batak Toba di sekolahnya terkirim ke grup mata pelajaran. Pesan tersebut adalah tugas mulok Aksara Batak Toba yang harus dikerjakan siswa pagi itu, Senin (15/2/2021).
Pandemi Covid-19 yang belum tuntas membuat Jeremia dan ratusan temannya harus melaksanakan belajar secara daring (online) dari rumah. Kombinasi Google Class Room (GCR) dan WhatsApp (WA) pun menjadi pilihan guru-gurunya di sekolah ketika memberikan pembelajaran daring.
Jeremia tak sendiri, di sebelahnya ada Gunawan Gaurifa (16), teman sekolahnya. Bukan sekali dua kali Gunawan belajar Aksara Batak Toba bersama Jeremia di rumah Jeremia. Latar belakang kesukuannya yang merupakan etnis Nias menjadi alasan baginya untuk sering belajar bersama.
“Jeremia fasih menulis dan membaca Aksara Batak Toba, orang Batak pula. Sedangkan saya orang Nias, tidak secepat Jeremia belajarnya,” kata Gunawan.
Keduanya mengambil buku tulis dan pulpen dari dalam tas. Mereka menyalin lima soal yang dikirimkan guru. Ke-5 soal tersebut berbentuk kalimat dalam bahasa Batak Toba. Sesuai instruksi guru, mereka diminta mengubah kalimat Bahasa Batak tersebut ke aksara Batak Toba.
Jeremia tampak tidak kesulitan mengerjakan tugas. Tangan kanannya begitu cekatan mengombinasikan induk surat dan enam anak surat hingga menjadi aksara Batak Toba yang sempurna. Tak sampai 30 menit, Jeremia tuntas menyelesaikannya. Di sebelahnya, Gunawan baru menyelesaikan setengah. Sesekali Jeremia mengoreksi jawaban Gunawan yang salah dan memperbaikinya dengan jawaban yang benar. Sepuluh menit kemudian, Gunawan tuntas mengerjakan tugas tersebut.
Jeremia dan Gunawan adalah siswa kelas XII SMA HKBP Sidorame kecamatan Medan Perjuangan, kota Medan. Di sekolah yang berada dalam naungan gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) tersebut, Aksara Batak Toba menjadi mata pelajaran yang masuk dalam Muatan Lokal (Mulok) dan diajarkan ke seluruh siswa.
Dibandingkan Gunawan yang baru belajar aksara Batak Toba setelah bersekolah di SMA HKBP Sidorame, Medan, Jeremia sudah belajar lebih lama. Bersekolah di SD Negeri 173477 Desa Tukka Dolok, kecamatan Pakkat, kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Jeremia sudah belajar aksara Batak Toba mulai dari kelas IV. Namun, saat itu, aksara Batak Toba hanya dikenalkan dalam bentuk nyanyian dan percakapan saja.
“Belum ada pelajaran menulis aksara Batak toba, nyanyi-nyanyi saja di kelas. Sesekali gurunya menerangkan pelajaran dengan bahasa Batak Toba,” kata Jeremia.
Jeremia baru belajar menulis aksara Batak Toba ketika pindah ke Medan dan bersekolah di SMP HKBP Sidorame Medan. Di sekolah ini, sejak kelas I, Jeremia sudah belajar aksara Batak Toba. Masuk SMA, bungsu dari lima bersaudara ini kembali bersekolah di SMA HKBP Sidorame Medan dan aksara Batak Toba pun menjadi mata pelajaran Muatan Lokal sejak kelas I hingga III. Dihitung sejak SD hingga SMA, Jeremia sudah belajar aksara Batak Toba selama hampir sembilan tahun.
Bagaimana perasaan Jeremia belajar aksara Batak Toba, di sekolah yang lokasinya berada di kota Medan, kota terbesar ketiga di Indonesia yang kotanya dikenal sangat majemuk?
“Ternyata belajar aksara Batak Toba itu enak. Jujur saja, saya suka belajar mata pelajaran ini. Di awal-awal pertemuan memang agak susah, karena harus menulis dan membaca aksara. Tetapi setelah beberapa kali pertemuan, saya sudah paham menulis aksara Batak Toba dalam bentuk kalimat atau mengubah aksara Batak Toba menjadi kalimat dalam bahasa Batak Toba. Setelah mampu menulis kalimat, berkembang lagi hingga membuat cerita,” terang Jeremia.
Ketekunan Jeremia belajar aksara Batak Toba di sekolah tak hanya berbuah pada kemampuan menulis dan membaca aksara Batak Toba. Prestasi membanggakan diraihnya Jeremia saat tampil di Festival Museum Provinsi Sumatera Utara tanggal 16-18 September 2020. Pada kegiatan Lomba Aksara Batak Toba, Jeremia tampil sebagai juara III dari sekitar 30-an peserta yang ikut serta.
Meski hanya juara III, Jeremia mengaku tak hanya merasa bangga, tetapi juga sangat berkesan karena juara I dan II lomba tersebut adalah mahasiswa Program Studi Sastra Batak Universitas Sumatera Utara (USU). “Mereka (mahasiswa) sudah ahli-ahlinya, belajar aksara Batak Toba setiap hari,” kata Jeremia, dan kemudian tersenyum.
Jeremia tak sendirian meraih juara di lomba tersebut. Teman sekolahnya, Gunawan Gaurifa yang bersuku Nias kebagian juara harapan III. “Saya senang sekali, meski hanya kebagian juara III. Bagi saya yang bersuku Nias, prestasi ini sangat berkesan,” kata Gunawan.
Hampir sembilan tahun mempelajari aksara Batak Toba, Jeremia mengaku dirinya tak menemukan kesulitan lagi untuk membaca dan menulis aksara Batak Toba. Justru saat ini, hal sulit yang dirasakannya adalah mempelajari budaya Batak Toba seperti marga-marga Batak Toba, kain tradisional Batak Toba (ulos), Dalihan Na Tolu (hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok), hingga ke tari tradisional Batak Toba (tor-tor).
“Bagi saya pribadi, topik yang cukup sulit dipelajari di aksara Batak Toba saat ini ya soal budaya. Mempelajari sejarah marga saya hingga saya tahu nomor (urutan) berapa dalam silsilah Sihotang sudah cukup sulit, belum lagi harus memahami Sihotang itu bersaudara dengan marga apa, atau Sihotang tidak boleh menikah dengan marga apa, pasti makin sulit,” kata Jeremia dan kemudian tertawa.
Terkait pelajaran budaya Batak Toba ini, guru Muatan Lokal Aksara Batak Toba SMA HKBP Sidorame Medan, Tiar Simanjuntak mengatakan, hal tersebut menjadi keistimewaan aksara Batak Toba. Jika banyak pihak yang beranggapan kalau aksara Batak Toba hanya belajar menulis dan membaca saja, itu anggapan yang keliru.
Dikatakan Tiar, anak-anak (siswa) bisa menulis dan membaca aksara Batak Toba bukanlah tujuan satu-satunya. Tetapi lewat pelajaran ini, sekolah berkeinginan agar anak-anak juga mengerti budayanya yang lain seperti adat istiadat, silsilah, hingga ke Dalihan Na Tolu.
Untuk silsilah misalnya, siswa yang bersuku Batak Toba wajib tahu dirinya di nomor berapa dalam silsilah. Ketika sudah diajarkan tentang silsilah ini, siswa menanyakan kepada orangtuanya, mereka berada di nomor berapa. Kalau tidak tahu, mereka bisa bertanya kepada orang-orang tua di kampung halaman mereka (orangtuanya).
Untuk urusan kain tradisional Batak (ulos), siswa diberikan pengetahuan tentang jenis-jenis ulos dalam suku Batak Toba dan fungsinya. Tiap ulos dalam tradisi Batak Toba memiliki makna dan cara pemakaian yang khas. Hal ini menjadi bukti bahwa dalam selembar ulos terkandung nilai-nilai kebudayaan Batak Toba.
“Hal-hal seperti ini (silsilah marga atau ulos) adalah hal yang cukup sering muncul dalam kehidupan orang Batak Toba. Tetapi seiring perkembangan zaman, semakin banyak dilupakan. Jadi lewat Muatan Lokal Aksara Batak Toba ini, kami ingin siswa tak sampai melupakan budayanya sendiri,” kata Tiar.
Tiar yang juga mengajarkan aksara Batak Toba di SMP HKBP Jalan Kampar Medan Belawan ini mengatakan, siswa yang diajarinya selama ini sangat antusias mempelajari Aksara Batak Toba. Hal ini dikarenakan tidak banyak sekolah yang mengajarkan pelajaran Aksara Batak Toba di kota Medan, apalagi jika mengingat Medan sebagai kota besar dengan beragam suku. Beda halnya kalau di kabupaten-kabupaten yang etnis Batak Tobanya mayoritas di Sumatera Utara seperti Humbang Hasundutan, Toba, Samosir dan Tapanuli Utara, Aksara Batak Toba diajarkan di banyak sekolah.
“Selama 15 tahun mengajar aksara Batak Toba, sepertinya hanya sekolah ini yang punya Mualatan Lokal Aksara Batak Toba. Ini yang membuat siswa-siswa antusias. Mereka punya keunikan sendiri yang tak dimiliki siswa dari sekolah lain. Mata pelaaran lain seperti Matematika, Bahasa Inggris atau Pancasila pasti ada sekolah, tetapi kalau Aksara Batak Toba tak semua sekolah punya,” terang Tiar.
Penelusuran Tribun-Medan.com membenarkan pernyataan Tiar Simanjuntak. Dari 21 SMA negeri di Medan, tidak satupun yang mengajarkan aksara Batak Toba. Hal yang sama juga berlaku di banyak sekolah SMA swasta lainnya. Karena ditempatkan sebagai mata pelajaran Muatan Lokal, pihak sekolah memang diberikan kewenangan untuk mengembangkan sendiri kearifan lokal di daerahnya sebagai mata pelajaran Muatan Lokal.
Faktor pandemi Covid-19, kata lulusan Sastra Batak USU ini, sangat berdampak kepada keefektifan pelajaran aksara Batak Toba. Pelajaran ini menjadi sulit disampaikan karena saat ini pembelajaran dilakukan secara daring. Sama halnya dengan pelajaran yang bersifat hitungan, kata Tiar, Aksara Batak Toba sebaiknya diajarkan secara langsung (tatap muka), karena induk surat dan anak surat dalam aksara Batak Toba harus dijelaskan secara langsung.
“Untuk mengakalinya, sesekali saya minta siswa datang ke sekolah secara berkelompok dalam jumlah kecil, lima orang misalnya. Saya berikan penjelasan lebih rinci. Untuk pelajaran berikutnya, saya kirimkan lewat WhatApp atau Google Class Room,” ujarnya.
Kepala Sekolah SMA HKBP Sidorame Medan, Noralice Simbolon mengatakan, sebagai sekolah yang dimiliki gereja HKBP yang seluruh jemaatnya adalah etnis Batak Toba menjadi faktor dipilihnya aksara Batak Toba sebagai Muatan Lokal di sekolah. Meski demikian, tak semua sekolah milik HKBP di Medan yang mengajarkan aksara Batak Toba.
Dari 100-an siswa di SMA HKBP Sidorame Medan, 75 persen diantaranya beretnis Batak Toba, dan sisanya Karo, Simalungun, dan Nias. Selain jenjang SMA, Yayasan Pendidikan HKBP Sidomare Medan sebagai pengelola juga mengasuh jenjang SD dan SMP. Aksara Batak Toba pun pernah diajarkan di tingkat SD dan SMP, tetapi dengan beberapa pertimbangan, pihak yayasan meniadakan Muatan Lokal ini dijenjang SD dan SMP.
“Untuk kurikulum sendiri memang tidak ada yang baku dari Kementerian atau Dinas Pendidikan, jadi diberikan kebijakan ke sekolah untuk menyusunnya. Untuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), sudah disusun oleh guru Muatan Lokal,” kata Noralice.
“Selama menjadi kepala sekolah, aksara Batak Toba ini tersampaikan dengan baik kepada siswa-siswa. Saya tak menemukan penolakan dari siswa. Mereka antusias mempelajarinya, Selain gurunya yang mampu membawakan pelajaran dengan baik, materi yang disampaikan dalam aksara Batak Toba ini sebenarnya ada di lingkungan siswa sendiri dan setiap hari mereka lihat,” kata Noralice.

Tak Sekadar Induk dan Anak Surat
AKSARA Batak terdiri dari dua bagian besar yakni induk surat dan anak surat. Induk surat belum mengalami perubahan anak surat dan berjumlah 19 induk surat (ina ni surat) yakni: a, ha, ma, na, ra, ta, sa, pa, la, ga, ja, da, nga, ba, wa, ya, nya, i, dan u. Sedangkan anak surat adalah bagian yang berfungsi menambah bunyi vocal, bunyi sengau, dan bunyi /h/ serta untuk mematikan bunyi /a/ perlu ditambah beberapa tanda diakritik (anak ni surat). Anak surat terdiri dari enam bagian yakni: Haluaan/Haluain, Haboruan/Haborotan, Hatadingan, Sikora/Siala, Peminggil/Hamisaran, dan Pangolat.
Melihat susunan pembagian aksara Batak Toba ini, Staf Pengajar Prodi Sastra Batak Fakultas Ilmu Budaya (FIB) USU, Jamorlan Siahaan menilai, aksara Batak Toba adalah ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari siapapun.
Sebagai sebuah ilmu pengetahuan, kata Jamorlan aksara Batak Toba pun tidak hanya belajar tentang 19 induk kalimat dan enam anak kalimat saja, tetapi lebih dari itu, ada kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Salah satu kearifan lokal itu adalah ilmu tentang obat-obatan tradisional yang ditulis dalam aksara Batak Toba oleh para leluhur zaman dulu di media lak-lak seperti kulit kayu, bambu, tulang atau tanduk kerbau.
“Kalau kita gali ilmu leluhur kita, maka tak ada penyakit sebenarnya. Dulu kan belum ada medis, semua obat-obatan herbal. Orang Batak sebenarnya punya herbal sendiri, tapi tidak mau belajar memanfaatkannya dan justru mengonsumsi obat-obat kimia. Semua ilmu tentang obat-obat herbal ini sudah ada di aksara Batak Toba dulunya. Kenapa tidak kita gali lebih jauh?,” kata Jamorlan, Jumat (5/2/2021)
Jamorlan mengatakan, dari sekian banyak ilmu-ilmu kearifan lokal dalam Aksara Batak yang tertulis dalam lak-lak, cukup banyak yang sudah dibaca dan diterjemahkan. Keberadaan orang-orang yang belajar aksara Batak Toba membuat keberadaan aksara Batak Toba bisa dibaca dan dimengerti saat ini. “Dan memang betul, isinya memang beragam ilmu kearifan lokal Batak Toba mulai dari adat istiadat, kalender Batak Toba dan pengobatan penyakit,” katanya.
Menjadi pengajar aksara Batak Toba sejak tahun 1987, Jamorlan mengakui, minat generasi muda untuk mempelajari aksara Batak Toba saat ini sangat jauh berkurang. Banyak etnis Batak Toba yang bahkan di kampung halamannya saja sudah berbahasa Indonesia. Banyak pula generasi muda Batak Toba yang tidak paham asal usulnya.
“Mereka tidak mengerti apa itu tulang (paman), namboru (bibi) dan hubungan kekerabatan lain. Bersyukurlah ada aksara Batak Toba, karena semua ini dipelajari. Tapi banyak generasi muda yang tidak mau belajar aksara Batak Toba, sementara di lingkungan terdekat mereka, misalnya di rumah pun, mereka juga tidak mendapat pengetahuan yang cukup tentang budaya di Batak Toba,” katanya.
Jamorlan juga memberikan catatan khusus terkait etnis Batak yang justru lebih memilih berbahasa Indonesia dalam aktivitas sehari-hari di kampung halaman. Pria berkacamata ini menarik kisahnya di masa lalu ketika ayahnya mengantarkannya mendaftar sekolah ke SD di desanya.
Jamorlan mengaku, saat itu dirinya sama sekali tak mengerti Bahasa Indonesia dan hanya paham bahasa Batak Toba. Saat di sekolah, kepala sekolah menanyakan namanya, jumlah saudara, nama ibu, dan nama ayahnya dalam bahasa Batak Toba.
Kalau sekarang sudah Bahasa Indonesia yang digunakan. Guru-guru yang mengajar di kelas I pun sudah langsung menggunakan Bahasa Indonesia. Padahal, seharusnya bahasa pengantarnya adalah bahasa daerah. Pelajaran Matematika misalnya, dapat diajarkan dalam Bahasa Batak Toba. Kalaupun gurunya menggunakan Bahasa Inggris tak jadi masalah, tetapi Bahasa Batak Toba tetap digunakan.
“Saya khawatir, aksara Batak Toba ini nantinya akan lenyap beberapa tahun lagi, karena sudah banyak karena generasi muda di desa-desa sudah bahasa Indonesia. Mereka justru lebih suka berbahasa asing,” katanya.
Soal bahasa daerah (bahasa ibu) yang seharusnya digunakan di pendidikan dasar juga disampakaikan Kepala Balai Bahasa Sumatera Utara, Maryanto. Maryanto mengatakan, kenapa bahasa daerah yang seharusnya digunakan karena bahasa daerahlah yang melekat dan hidup dengan kehidupan mereka sejak lahir.
Dikatakan Maryanto, ada filosofi yang menyebut kalau bahasa ibulah yang harus didahulukan, termasuk dalam pendidikan dasar. Dengan filosofi ini, tentu saja Muatan Lokal Bahasa Daerah setempat bisa diberikan di pendidikan dasar.
“Tapi kita sudah salah kaprah. Muatan Lokal yang diajarkan malah bahasa asing. Mohon maaf dan harus kita luruskan, Muatan Lokal itu adalah ciri khas yang betul-betul ada di daerah itu. Kalau Muatan Lokal diambil dari daerah lain, maka akan mencabut posisi anak dari akarnya (ibunya),” kata Maryanto, Jumat (5/2/2021).
Maryanto menjelaskan, dari kondisi ini dan mengikuti anjuran UNESCO bahwa pendidikan SD kelas rendah (I dan II) menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa pengantar di sekolah, Balai Bahasa Sumatera Utara dengan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat merintis program Penerapan Muatan Lokal Tematik Terpadu Berbahasa Melayu dan Batak Toba. Untuk tahap awal, program ini akan dijalankan di Kabupaten Toba Samosir dan Tapanuli Utara sebagai daerah dengan mayoritas etnis Batak Toba.
Melalui program ini, nantinya siswa SD kelas I dan II di Kabupaten Toba Samosir dan Tapanuli Utara akan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar saat belajar. Termasuk tulisannya pun akan menggunakan ejaan Batak Toba, tetapi bukan aksara Batak Toba. “Kalau aksara belum memungkinkan untuk diberikan kepada siswa kelas I dan II,” kata Maryanto.
Selain tidak memungkinkan, kata Maryanto, program penerapan ini dipilih karena faktor efisiensi. Artinya, sekolah tak perlu merekrut guru baru yang khusus mengajarkan aksara Batak Toba. Kalau harus merekrut guru baru, tentu saja dibutuhkan anggaran baru dan pembuatan kurikulum lagi. Selain itu, dari secara fisik dan psikis, siswa tidak terbebani dengan banyaknya pelajaran.
“Dengan program ini yang tetap mengacu kepada sistem tematik, guru-guru di program ini tetap sama, hanya penyampaian bahasanya saja yang berbeda, dari Bahasa Indonesia menjadi Batak Toba. Siswa pun tidak merasa ilmunya jauh, karena bahasa daerah sebagai bagian dari ilmu pengetahuan difungsikan kembali dalam aktivitas belajar mereka,” kata Maryanto.
Untuk mendukung penerapan program ini, Balai Bahasa Sumatera Utara telah menyiapkan Muatan Lokal Tematik Terpadu yang disesuaikan dengan kerangka Kurikulum Terpadu 2013. “Penerapan program ini memang menjadi tantangan tersendiri bagi kita karena program ini belum pernah dijalankan di Sumatera Utara. Ini rintisan pertama. Diharapkan tahun ini, sudah mulai berjalan,” ujar Maryanto.

Tertinggal dari Negara Lain
PLT Kepala Dinas Pendidikan Sumut, Lasro Marbun mengatakan, dibandingkan negara-negara lain yang memiliki aksara seperti Jepang, China, Korea, India dan Rusia, maka posisi Indonesia masih dalam hal pelestarian aksara daerah masih tertinggal.
“Secara umum kita harus jujur mengakui bahwa kita masih perlu mempercepat kepedulian terhadap basis kepribadian kita. Apa basis kepribadian itu? Salah satunya budaya daerah. Budaya adalah kepribadian kita,” kata Lasro.
Lasro menjelaskan, salah satu unsur dari budaya adalah aksara, dan tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan aksara daerah. Keberadaan aksara daerah ini sinkron dengan pembangunan bangsa dalam kerangka NKRI dengan segala tiang penyangganya seperti Bhinneka Tunggal Ika, gotong royong, Pancasila dan UUD 1945.
Melihat posisi ini, kata Lasro, maka menjadi kewaiban setiap warga negara Indonesia termasuk tingkat pemerintahan untuk mengembangkan budaya yang salah satunya adalah aksara. “Terkait hal ini, Pemprov Sumut dipastikan mendukung pembangunan budaya dalam hal aksara daerah tersebut,” katanya.
Namun, kata Lasro, mengingat UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang konkuren (urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten atau kota), maka dalam konteks pendidikan urusan pemerintahan juga dibagi di mana pendidikan dasar menjadi wilayah kabupaten dan kota, pendidikan menengah dan khusus di provinsi dan pendidikan tinggi di pusat.
Ada Rasa Bangga, Ada Rasa Khawatir
GURU Muatan Lokal Aksara Batak Toba SMA HKBP Sidorame Medan, Tiar Simanjuntak mengatakan, selama lebih dari 15 tahun mengajarkan Aksara Batak Toba di beberapa sekolah di kota Medan, dirinya dipertemukan dengan sebuah rasa bangga karena punya kesempatan mengajarkan aksara Batak Toba sebagai warisan budaya etnis Batak Toba kepada generasi muda.
Rasa bangga pun disematkan Tiar kepada pihak sekolah dan gereja HKBP yang tetap mempertahankan pelajaran ini dan kepada siswa-siswa yang tetap tekun mempelajari Aksara Batak Toba.
Sebagai bagian dari budaya (ugari) etnis Batak Toba, Tiar mengatakan keberadaan aksara Batak Toba harus dijaga dan dilestarikan. Dan selama puluhan tahun, mereka mampu menjadi reksa (penjaga) Aksara Batak Toba di lingkungan mereka. Begitupun, Tiar berharap harus lebih banyak lagi berbagai pihak yang hadir untuk menjaga warisan budaya ini ke depannya.
“Saya berharap keberadaan pelajaran aksara Batak Toba dan aksara-aksara daerah lainnya bisa diperkenalkan lebih luas lagi kepada generasi muda di berbagai institusi pendidikan,” kata Tiar.
Namun dibalik rasa bangganya, Tiar juga mengaku cemas kalau 10 tahun ke depan, aksara Batak Toba akan hilang di telan zaman, karena tak ada lagi generasi muda yang mempelajarinya. Di zaman yang semakin modern yang ditandai dengan banyaknya budaya dari luar yang mengiringi perjalanan hidup generasi muda, tanda-tanda hilang di telan zaman itu sebenarnya mulai terlihat. Banyak generasi muda Batak Toba yang sekarang lebih paham joget TikTok dibanding menari tor-tor Batak Toba.
“Budaya itu kekayaan sekaligus identitas kita sebagai orang Batak Toba. Generasi mudalah yang menjadi penerusnya. Kalau sejak dini tak diajarkan, akan hilanglah identitas ini. Bagi institusi pendidikan yang memungkinkan untuk menjadikan aksara Batak Toba sebagai Muatan Lokal, sangatlah dianjurkan untuk memasukkannya di sekolah. Dengan begitu semakin banyak lahir reksa-reksa Aksara Batak Toba dan budaya ini tak lekang ditelan zaman,” katanya.
Hal senada disampaikan Kepala Sekolah SMA HKBP Sidorame Medan, Noralice. Menurutnya, Aksara Batak Toba adalah anugerah Tuhan yang sangat berharga dan tidak banyak etnis di Indonesia dan dunia yang memilikinya. Sebagai anugerah Tuhan, maka keberadaan aksara Batak Toba wajib dilestarikan.
“Sekolah kami antusias dengan aksara Batak Toba ini dan berupaya agar Muatan Lokal ini tetap ada di sekolah ini. Kami terus memotivasi siswa dengan berbagai metode pembelajaran yang kreatif agar pelajaran aksara Batak Toba menjadi pelajaran yang menarik untuk siswa dan mereka semangat mempelajarinya. Sekolah kami juga terbuka melakukan kerjasama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan dan melestarikan aksara Batak Toba,” kata Noralice.
Sedangkan Staf Pengajar Sastra Batak FIB USU, Jamorlan Siahaan berpandangan, agar aksara Batak Toba dan aksara daerah lainnya tetap lestari, maka pendidikan di Indonesia harus terbuka terhadap keberadaan aksara daerah ini. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai perwakilan pemerintah yang mengurusi pendidikan dapat mengeluarkan payung hukum agar aksara daerah menjadi mata pelajaran Muatan Lokal.
“Jadi bentuk penyelamatannya dengan membuat Muatan Lokal Aksara Daerah. Kalau daerahnya mayoritas Melayu, diajarkan Aksara Melayu. Kalau daerahnya mayoritas etnis Batak Toba, diajarkan Aksara Batak Toba,” katanya.
Terkait pendidikan aksara daerah ini, Plt Kepala Dinas Pendidikan Sumut, Lasro Marbun mengatakan dapat diberikan di tingkat pendidikan dasar. Dengan begitu, kewenangannya ada di kabupaten dan kota yang dapat diwujudkan dengan memberikan mata pelajaran Muatan Lokal. Tentunya setelah melihat karakteristik daerah dan political will pemerintah kabupaten dan kota.
“Dengan kewenangan ini, nantinya provinsi berada dalam posisi koordinasi dukungan. Ini posisi paling bawah. Setelah itu provinsi dapat hadir langsung dalam memberikan dorongan dan dukungan fasilitas,” ujar Lasro.
Melihat kelemahan bangsa dan rakyat Indonesia dalam melestarikan daerah, Lasro menilai sudah seharusnya melakukan percepatan-percepatan agar keberadaan aksara daerah ini semakin dikenal dan dilestarikan.
Dibutuhkan perhatian serius dari komponen bangsa untuk melanggengkan Indonesia yang berasal dari keanakearagaman (kebhinnekaan) untuk menuju kesatuan dalam perjuangan dan rasa syukur.
“Masing-masing daerah yang mempunyai kearifan lokal sendiri dalam hal aksara dan budaya lainnya harus bangga dengan kekayaan tersebut dan memperkenalkannya sejak dini dalam pendidikan formal di keluarga dan dalam pendidikan formal di sekolah. Ini harus dilakukan sehingga kita semakin kokoh dengan kepribadian kita,” katanya.
Sementara itu Kepala Balai Bahasa Sumatra Utara, Maryanto mengatakan, terkait keberadaan sekolah di beberapa daerah yang mengajarkan Muatan Lokal Aksara Batak Toba, pihaknya sebagai perwakilan pemerintah pusat mendukung langkah tersebut dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat.
“Dalam hal perlindungan bahasa ini, Balai Bahasa memperkuat fungsi koordinasi dengan pemerintah daerah. Kami memberikan dorongan kepada pemerintah daerah terus memelihara bahasa daerah, termasuk melalui keaksaraan. Kalau di kawasan Toba kami lihat sudah bagus. Nama-nama jalan dan nama gedung sudah pakai aksara daerah kemduain nama gedung. Tetapi Bahasa Indonesia tetap berada di bagian atas, lalu dibawahnya menggunakan aksara Batak toba,” katanya.
Maryanto menegaskan, bahasa daerah sudah ada sejak lama dan Indonesia dibangun tidak dengan Bahasa Indonesia saja. Indonesia terbangun dari banyak keragaman dan semua warga Indonesia harus menyadarinya.
“Kami berprinsip mempertahankan kedudukan bahasa negara dalam hal ini Bahasa Indonesia tidak bisa dipisahkan dari keberadaan bahasa daerah. Sebaliknya, mempertahankan bahasa daerah sama nilainya dengan mempertahankan kedudukan Bahasa Indonesia,” pungkasnya.
Digitalisasi Aksara Nusantara
UPAYA berbagai pihak untuk melestarikan aksara nusantara tak hanya dilakukan di tingkat daerah, tetapi juga di tingkat nasional. Satu diantaranya adalah Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI). Langkah yang dipilih PANDI adalah mendigitalisasikan aksara Nusantara ke dalam format internationalize domain name (IDN) yang bisa diakses dan dipergunakan di internet.
Ketua PANDI Yudho Giri Sucahyo, dalam keterangan persenya mengatakan bahwa keberadaan IDN di era digitalisasi saat ini dirasa penting, mengingat pertumbuhan pengguna internet dunia yang semakin pesat, ditambah masyarakat internet terbiasa memakai huruf Latin untuk menulis ataupun mengetik. Bukan tidak mungkin, ke depan aksara daerah di Indonesia akan punah.
"Kalau di Indonesia karena bahasa utamanya menggunakan tulisan Latin, makanya bahasa atau tulisan asli ibu yang jadi warisan Nusantara semakin hilang," katanya.
Terkait ini, kata Yudho, pihaknya merasa perlu membuat sebuah wadah agar bahasa ibu bisa terus dituturkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satunya adalah program khusus bertajuk Merajut Indonesia Melalu Digitalisasi Aksara.
"Dari program tersebut diharapkan bisa melestarikan aksara nusantara yang sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat sekarang," katanya.
Untuk diketahui, PANDI sudah melakukan berbagai upaya digitalisasi aksara nusantara. Upaya ini dibantu pula oleh beberapa komunitas pegiat aksara, lembaga akademis, dan non-akademis, termasuk pemerintah.
Digitalisasi Aksara merupakan sebuah konversi dari aksara yang tertulis menjadi aksara yang bisa diakses dan digunakan di internet. Berdasarkan catatan PANDI, saat ini Indonesia tercatat memiliki 718 bahasa dengan 32 aksara nusantara. Namun belum semua terdigitalisasi.
“Dari 32 aksara daerah, baru tujuh aksara yang terdigitalisasi dan terdaftar di Unicode, yaitu aksara Jawa, Bugis, Sunda, Bali, Batak, Arab Jawa/Arab Pegon, dan aksara Rejang,” terang Yudho.
Yudho menegaskan, melalui program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (Mimdan), PANDI akan berupaya agar seluruh aksara yang ada di Indonesia di-digitalisasikan sehingga bisa dipergunakan di Internet melalui perangkat pintar seperti laptop, telfon genggam dan lainnya.(top/Tribun-Medan.com)