TRIBUNWIKI
Ada Cerita Cinta Yang Menyedihkan di Balik Lagu Piso Surit, Sudah Ada Sejak Pemerintahan Soekarno
Bahkan lagu ini pernah diadaptasi menjadi sebuah film pada tahun 1960 yang dibintangi oleh Mieke Wijaya dan Ahmadi Hamid.
TRIBUN-MEDAN.com,MEDAN- Lagu Piso Surit buah karya Komponis Nasional asal Karo Djaga Depari, barangkali sudah tak asing di telinga masyarakat Indonesia, khususnya Sumatera Utara.
Lagu berbahasa Karo yang juga memiliki tarian khusus ini, bukan hanya dinyanyikan oleh penyanyi lokal saja, melainkan kerap dinyanyikan dalam acara-acara nasional dan internasional, hingga banyak pula yang mengarasemen dan menyanyikannya di youtube.
Bahkan, beberapa sumber menyebutkan di masa Pemerintahan Sukarno, lagu Piso Surit sering dibawakan pada acara-acara nasional mapun international dalam pertunjukkan budaya.
Bahkan lagu ini pernah diadaptasi menjadi sebuah film pada tahun 1960 yang dibintangi oleh Mieke Wijaya dan Ahmadi Hamid.
Baca juga: HOTMAN Sindir Hotma Sitompul Pakai Banyak Pengacara Lawan Dirinya, Anggap Suami Desiree Kewalahan
Lantas apa arti atau pesan yang ada di dalam lagu itu, sehingga begitu digemari. Dilansir dari berbagai sumber, menyebutkan kalau lagu piso surit menceritakan tentang penantian seorang lelaki kepada wanita yang amat dicintainya.
Penantian itu pun sangat lama dan menyedihkan, sehingga sang komposer pun mengibaratkan penantiannya itu seperti suara burung pincala atau burung piso surit.
Sebenarnya, dalam bahasa Kari Piso berarti pisau sehingga tidak sedikit orang yang mengira bahwa lagu Piso Surit, merupakan nama sejenis pisau khas suku Karo.
Padahal sebenarnya Piso Surit adalah kicau burung pincala. Kicau burung ini bila didengar secara seksama sepertinya sedang memanggil-manggil dan kedengaran sangat menyedihkan.
Apabila diartikan ke bahasa Indonesia, maka ada benarnya bahwa lirik lagu Piso Surit ini memang tentang seseorang yang menanti kedatangan kekasihnya, berikut artinya.

Piso Surit
Piso Surit, Piso Surit
(Burung Piso Surit)
Terdilo-dilo, terpingko-pingko
(Memanggil-manggil, bercuit-cuit)
Lalap la jumpa ras atena ngena
(Namun tak kunjung berjumpa dengan kekasih hatinya)
Ija kel kena, tengahna gundari?
(Dimana kah dikau, saat ini?)
Siangna me enda turang atena wari
(Dan hari pun kini menjelang senja)
Entabeh naringe mata kena tertunduh
(Lelap sekali sepertinya tidurmu)
Kami nimaisa turang tangis teriluh
(Sementara aku di sini menangis menunggu)
Engo engo me dagena
(Sudahlah, sudahlah)
Mulih me dage kena
(pulanglah saja kau)
Bage me nindu rupa ari o turang
(Demikianlah yang selalu engkau ucapkan)
Tengah kesain, keri lengetna
(Di tengah beranda desa, sunyi senyap)
Rembang mekapal turang seh kel bergehna
(Embun yang tebal menambah dinginnya)
Tekuak manuk ibabo geligar
(Ayam berkokok diatas atap)
Enggo me selpat turang kite-kite kulepar
(Terputuslah sudah titian penghubung)
Piso Surit Piso Surit
(Burung Piso Surit)
Terdilo-dilo terpingko-pingko
(Memanggil-manggil, bercuit-cuit)
Lalap la jumpa ras atena ngena
(Namun tak kunjung berjumpa dengan kekasih hatinya)