Polemik Insentif Honorer
Nakes Honorer Tetap Berjuang di tengah Pandemi Covid 19, Nyawa Jadi Taruhan kendati Gaji Tertahan
Selain itu, mereka juga belum menerima gaji selama dua bulan terakhir dan BPJSnya juga belum dibayar setahun terakhir.
Penulis: Fredy Santoso | Editor: Randy P.F Hutagaol
Laporan Wartawan Tribun-Medan/ Fredy Santoso
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Tenaga Kesehatan honorer yang menangani Covid-19 di RSU Dr. Pirngadi mengeluh sebab insentifnya belum diterima sejak Oktober 2020 sampai saat sekarang.
Selain itu, mereka juga belum menerima gaji selama dua bulan terakhir dan BPJSnya juga belum dibayar setahun terakhir.
Di tengah kondisi tersebut, nakes honorer padahal menjumpai beragam tantangan dalam menangani pasien Covid-19 yang kini sedang melonjak.
Terlebih tenaga medis yang masuk kedalam garda terdepan dalam kondisi pandemi seperti ini.
Cerita-cerita kecemasan akan tertular diceritakan oleh salah satu tenaga medis honorer sebuah Rumah Sakit Plat Merah yang ada di Kota Medan, Yakni M Lubis, seorang perawat perempuan.
Ia mengisahkan kalau selama ini merasa was-was karena takut tertular lalu menyebarkan lagi kepada keluarganya dirumah.
Bahkan, Alat Pelindung Diri yang diyakini dapat menjaga dari penularan bisa jadi sebagai senjata makan tuan.
Sebab bisa saja terjadi kesalahan dalam prosedur membuka dan memasangnya kembali.
"Tetapi apapun ceritanya. Saat membuka alat itu kami. Bisa kita silap yang mana duluan kadang-kadang bisa la. Ada rasa cemas kami dalam penularan Covid-19 tersebut," katanya saat ditemui di depan Rumah Sakit Pringadi Medan pada Sabtu (8/5/2021).
Marlina (samaran), menyebutkan kalau sebulan ini angka penularan Covid-19 di RS tempatnya bekerja kian melonjak. Bahkan banyak pasien yang terpaksa dirujuk ke rumah sakit lain.
Ia mengatakan bagaimana dirinya dan rekan seperjuangannya bekerja. Dari kondisi badan yang prima hingga menjadi sakit.
Bahkan, pernah beberapa kali dirinya yang sedang kurang fit dan harus tetap bekerja membuat kondisi tubuhnya semakin memburuk.
Apalagi setelah menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), yang diharuskan mandi. Dalam kondisi dinihari pun harus ia lakukan.
"Apabila ada pasien baru pada tengah malam jam 12 malam kami kan harus menggunakan APD, setelah menggunakan itu kan kami harus mandi. Dengan sering mandi malam itu kami merasa badan ini tidak fit. Jadi semakin ambruk," katanya bercerita.
Meski demikian, apapun risikonya tetap ia lakoni karena itu merupakan pilihannya. Sebuah profesi yang mulia karena bisa menolong orang lain.
Akan tetapi, ia dan rekan-rekan perawat honorer lainnya juga tetap berpikir realistis, apalagi soal penghasilan.
Mereka mengeluhkan soal hak-haknya yang hingga kini belum jelas arahnya. Gaji yang seharusnya menjadi sumber penghidupan kadang telat mereka terima.
Untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya tak jarang mereka harus bekerja keras mencari pekerjaan sampingan.
Seperti yang di katakan Marlina, ia menjajakan pakaian jadi untuk membantu perekonomian keluarganya.
Atau seperti yang dilakukan rekannya, yang harus menjalani pekerjaan di dua tempat bekerja sekaligus. Pagi hingga sore di Rumah Sakit, lalu lanjut bekerja di tempat praktek seorang dokter.
"Gaji kami 1.500.000. Itu tidak rutin keluar dalam satu bulan. Dari suami ataupun bekerja sampingan, seperti menjual pakaian jadi atau bekerja sampingan di tempat praktek dokter," katanya.
Walaupun kondisi keuangan kacau-balau karena gaji yang sering telat tetapi kewajiban merawat pasien tetap ia lakoni dengan setulus hati.
Ia berharap dengan pengabdiannya, keluarga dan dirinya diberi kesehatan dan kekuatan.
"Mudah-mudahan dengan kami merawat pasien tersebut keluarga kami jadi lebih sehat, diri kami jadi lebih kuat dan dijauhkan dari penyakit. Sekarang ini kami bekerja lebih ikhlas dan dengan setulus hati saja." Tutupnya.
(Cr25/ Tribun-medan.com)