Selamat Jalan Ompui Ephorus Emeritus HKBP SAE Nababan, Pendeta yang Melewati Lima Zaman
"Iya benar, tadi Pendeta SAE Nababan telah berpulang kepangkuan Bapa yang Maha Kuasa pada pukul 16.18 WIB," kata Pendeta Saut Sirat.
TRIBUN-MEDAN.com - Ompui Ephorus Emeritus HKBP, Pendeta Dr. SAE Nababan telah wafat di RS Medistra Jakarta, Sabtu (8/5/2021).
"Iya benar, tadi Pendeta SAE Nababan telah berpulang kepangkuan Bapa yang Maha Kuasa pada pukul 16.18 WIB," kata Pendeta Saut Sirat.
Sebagai kerabat dekat, ia menjelaskan sebelum meninggal, Pendeta SAE Nababan telah dirawat di RS Medistra Jakarta sejak dua hari silam.
Riwayat penyakitnya ialah asma ataupun sesak napas dan jantung.
Saat menjadi sekretaris pribadi selama tujuh tahun di masa Pendeta SAE Nababan menjadi Ephorus, ia menjelaskan pesan yang paling diingatnya ialah bekerja keras, disiplin, dan rendah hati.
"Beliau itu orang yang luar biasa. Pemimpin gereja di Indonesia sampai tingkat dunia. Sampai 400 tahun lagi mungkin baru bisa mendapatkan tipe seperti beliau. Sangat cerdas dan cemerlang," katanya.
Di dalam kehidupan sehari - hari Pendeta SAE Nababan juga menurutnya sangat luar biasa. Mulai dari sempat menjadi tentara pelajar saat sekolah dahulu tidak ingin didikte oleh negara.
Kemudian menjadi presiden dewan Gereja Asia, Sekum PGI selama 25 tahun, Ketua Umum PGI, Ephorus HKBP, dan lainnya.
Menurutnya tidak ada lagi sosok yang mampu mengikuti jejak langkah yang telah ditorehkan Pendeta SAE Nababan semasa hidupnya.
Dia mengaku mengenal Pendeta SAE sejak mahasiswa di tahun 1980-an di STT Jakarta.

Dilansir dari website SAEnababan.com, diketahui nama lengkap dari Pendeta SAE Nababan adalah Pdt. Dr (HC). Soritua Albert Ernst Nababan LlD.
Pendeta SAE Nababan lebih banyak dikenal generasi menjelang era reformasi. Baik oleh warga jemaat HKBP maupun para aktivis demokrasi kala itu.
Pendeta SAE Nababan lahir di Tarutung 24 Mei 1933 lalu.
Ia mempersunting Alida Lientje Tobing, perempuan yang awal dikenalnya sebagai guru sekolah minggu.
“Saat itu saya memang tidak memberikan perhatian khusus kepadanya, karena pembawaannya yang rendah hati,” kenang SAE dalam bukunya Selagi Masih Siang.

Mereka menikah pada 8 Januari 1964, lalu segera mengikuti tugas penempatan SAE sebagai sekretaris pemuda EACC di Manila.
Alida setia melengkapi peran SAE baik di EACC, di DGI/PGI dan sebagai pimpinan HKBP. Bahkan di era krisis HKBP 1992-1998, ia juga tetap tabah mendukung jalan perjuangan suaminya.
Pendeta Sae Nababan adalah salah satu pendeta yang cukup kritis terhadap Orde Baru, terkait persoalan kemanusiaan, hukum dan keadilan.
Hal ini yang banyak membuatnya harus berhadap-hadapan dengan kepentingan penguasa. Bahkan kerap menjadi target orde baru.
Bahkan saat itu ada intervensi rezim Orba pada krisis HKBP 1992-1998, dimana ia menjadi pimpinan sinode gereja tersebut.

Hal ini lah yang membuatnya dekat dengan dengan tokoh progresif masa itu seperti K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais.
Itu pula yang membuatnya terlibat dalam memfasilitas pertemuan yang mengkonsolidasikan kekuatan sosial-politik jelang reformasi.
Namun S.A.E. – demikian namanya biasa disingkat, adalah juga teolog yang terlibat dalam banyak gerakan ekumenis dunia.
Ide dan pemikirannya tentang bagaimana gereja harusnya bersikap di tengah masyarakat yang majemuk, serta seimbang dalam menyuarakan keadilan dan perdamaian.
Demikian pula peran dan usulan yang ia ajukan terkait pentingnya kesetaraan dan dialog yang terbuka antar umat beragama di Indonesia.
Serta peran yang bisa dikerjakan lembaga keagamaan bagi perkembangan demokrasi dan kemanusiaan.
Refleksinya segar dan tajam serta menyorot hal-hal esensial terkait penghayatan iman Kristiani di tengah zaman yang terus berubah.
Disiplin yang diterapkan di keluarganya sejak kecil, studi teologia yang digelutinya di STT Jakarta hingga Universitas Heidelberg Jerman juga menempanya menjadi pemikir terkemuka.
Aktivitasnya di kegiatan ekumenis dunia sejak masih muda, hingga pengalaman praksisnya memimpin gereja dan lembaga gerejawi memberi andil besar pada kedalaman ide dan pemikiran yang diwacanakannya.
SAE Nababan saat ini saat ini sudah berpulang. Tapi teladan dan pemikirannya sangat layak untuk terus diangkat untuk dipertajam dan dicoba-geluti oleh generasi terkini.

Lewati Lima Zaman
Era Reformasi boleh dikatakan adalah proses paling belakangan yang dialami Pdt. Nababan.
Sebelumnya di era Orde Lama dan Orde Baru, ia pun telah ada dalam posisi yang cukup strategis sebagai suara kekristenan yang cukup vokal menyerukan semangat persatuan, dialog terbuka antar agama, penghargaan atas kemanusiaan serta upaya mengatasi kesenjangan sosial.
Di masa yang lebih muda, SAE terlibat dalam bela negara lewat Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI).
Ia sempat memanggul senjata bahkan menjadi penyelundup untuk memperoleh senjata di masa agresi militer Belanda.
Sama seperti rekan seusianya, ia pun mengenyam pendidikan dalam tiga era di zaman kolonial Belanda, masa fasisme Jepang, hingga masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Masa yang panjang dan tak jarang penuh tekanan serta tantangan itu agaknya membentuk pribadi SAE Nababan sebagai tokoh yang amat matang.
Dikenal disiplin dan sangat rinci, pendeta yang telah berpulang ini sebenarnya punya segudang teladan kiprah dan pemikiran untuk diangkat.
Sejumlah penghargaan yang diterima, termasuk yang paling baru, salah satu tokoh ikon prestasi Pancasila 2020 dari BPIP.
Dalam catatannya Selagi Masih Siang, kepingan-kepingan teladan tersebut tersaji untuk diceritakan.
Rasanya generasi muda, tak terbatas pada pemuda Kristiani, bisa menangguk banyak pelajaran berharga dari orang yang telah melewati lima zaman ini.