Negara Bersikeras Hapus Luka Pemerkosaan Massal, Berpotensi Menghapus Keadilan Bagi Korban
Ketika pemerintah menyangkal fakta berdarah, kebenaran berubah menjadi opini, dan keadilan ambruk bersama ingatan korban.
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada 14 Juni yang menyatakan “tidak ada bukti pemerkosaan massal” dalam kerusuhan Mei 1998 mungkin terlihat hanya seperti komentar ringan atau sekadar pendapat pribadi seperti klarifikasinya di Jatinangor
Tetapi perlu digarisbawahi bahwa pernyataan itu terlontar ketika negara sedang merevisi buku sejarah nasional. Artinya, ucapan tadi berpotensi menggeser memori publik dan menutupi salah satu kejahatan paling brutal pascareformasi. Hal ini disampaikan Pegiat HAM dan Demokrasi, Kristian Redison Simarmata dalam keterangan tertulisnya kepada Tribun-Medan.com, Selasa (1/7/2025).
Kristian mengatakan, yang menjadi inti persoalan adalah ketika pemerintah menyangkal fakta berdarah, kebenaran berubah menjadi opini, dan keadilan ambruk bersama ingatan korban. Yang perlu diingat oleh Fadli Zon dan masyarakat bahwa dasar penyebutan "pemerkosaan massal " berdasar pada bukti negara sendiri
“Laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk presiden pada Oktober 1998 telah mengonfirmasi 85 kasus kekerasan seksual di mana 52 diantaranya pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa,” kata Kristian.
“Lalu Komnas Perempuan, lahir lewat Keppres 181/199 memperkuat temuan itu dan menilai pola serangan bersifat sistematis dan rasial. Pelapor Khusus PBB Radhika Coomaraswamy, setelah kunjungan lapangan November 1998, menyebut kekerasan tersebut “meluas dan disengaja”. Singkatnya, negara dan dunia internasional sudah memverifikasi tragedi itu 27 tahun silam,” lanjut Kristison.
Menurut Kristison, dengan fakta selugas itu, bagaimana mungkin seorang pejabat publik berkata “tak ada bukti”? Ini bukan sekadar kekeliruan, melainkan denialisme yakni upaya sadar menghapus catatan sejarah. Lebih parahnya lagi, penyangkalan itu dilontarkan di tengah penyusunan buku teks sekolah.
“Jika narasi “tak ada pemerkosaan massal” masuk kurikulum, jutaan pelajar akan mempelajari sejarah palsu, dan jerih payah penyintas menuntut keadilan runtuh seketika,” katanya.
Selama 27 tahun, katanya, mayoritas penyintas memilih diam demi menahan stigma. Trauma, rasa bersalah, hingga gangguan stres pascatrauma masih mereka tanggung tanpa layanan pemulihan memadai. Pernyataan Fadli Zon bukan sekadar kesalahan akademik; ia memperdalam luka, memicu re-traumatisasi, dan mengirim pesan pedih: “Negara tak mengakui penderitaanmu.”
Komnas HAM memasukkan kasus Mei 1998 ke daftar pelanggaran HAM berat. Namun hingga kini tidak satu pun pelaku kekerasan seksual diadili. Saat pejabat negara menyangkal skala kejahatan, peluang penuntutan makin tipis.
“Padahal, dalam hukum internasional, kekerasan seksual yang sistematis terhadap kelompok etnis tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan. Menolak fakta berarti memberi impunitas abadi kepada pelaku,” tegas Kristison.
“Fadli menyebut penulisan sejarah harus “mempersatukan” bangsa dalam tone “positif”. Itu mantra lama Orde Baru: ayng membersihkan catatan kelam demi stabilitas semu. Problemnya jelas, bahwa persatuan tanpa kebenaran melahirkan bangsa yang rapuh, bergelora di bawah. Demokrasi tidak dibangun di atas amnesia, ia bertumpu pada kejujuran sejarah,” tuturnya.
Baca juga: Fadli Zon Belum Minta Maaf Sebut Tak Ada Pemerkosaan Massal 1998, Bambang Pacul: Jangan Sok Benar
Kristison menegaskan, jika pemerkosaan massal 1998 bisa dihapus, apa jaminan peristiwa Talangsari, Tanjung Priok, atau Semanggi tidak bernasib sama? Sejarah Indonesia memang penuh luka, tetapi meng-edit kenyataan demi “citra positif” justru membuka pintu bagi penyangkalan berantai.
“Hari ini Mei ’98, besok mungkin 1965. Di ujung jalan, kita hanya memiliki buku sejarah serba putih, bersih dari konflik, dan kosong dari pelajaran moral,” katanya.
Tanggung Jawab Pada Publik
KRISTISON menyarankan, revisi sejarah harus berlandaskan beberapa langkah konkret. Yakni, (1) audit terbuka buku sejarah. Artinya proses revisi teks wajib transparan. Komunitas akademik, penyintas, dan organisasi masyarakat sipil harus mendapat akses ke draf, metodologi, dan sumber rujukan.
Fadli Zon Belum Minta Maaf Sebut Tak Ada Pemerkosaan Massal 1998, Bambang Pacul: Jangan Sok Benar |
![]() |
---|
FADLI ZON Ogah Minta Maaf Soal Pernyataan Tak Ada Pemerkosaan Massal Pada 1998: Berpegang Pada Bukti |
![]() |
---|
RAMAI-RAMAI Mengecam Pernyataan Fadli Zon yang Sebut Tidak Ada Kekerasan Seksual dalam Tragedi 1998 |
![]() |
---|
Fadli Zon Dituntut Minta Maaf,Sebut Tragedi Mei 1998 tak Ada Bukti Rudapaksa, TGPF: 52 Wanita Korban |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.