Juru Bicara KKB-OPM Sebby Sambom Tak Mengakui Klaim Benny Wenda: Dia Warga Negara Inggris
Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) Sebby Sambom menjelaskan jika pihaknya tidak mengakui klaim Benny Wenda itu.
TRIBUN-MEDAN.COM - Sering teriakkan kebebasan Papua, Benny Wenda ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) justru tidak diakui oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Dalam artikel Kompas.com yang tayang pada Desember 2020 lalu, Benny Wenda awalnya mengklaim akan membentuk Pemerintah Sementara Papua Barat.
Sebagai ketua United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP atau nama lainnya Organisasi Papua Merdeka (OPM), Benny Wenda ternyata sangat ingin menjadi presiden Papua Barat.
Hal itu diumumkannya pembentukan kabinet, Sabtu (1/5/2021) lalu.
Ia sampaikan melalui pernyataan tertulis mengenai pembentukan 12 departemen yang akan bekerja di bawah kabinet baru.
Namun nama-nama menteri yang menjabat di dalam kabinetnya masih dirahasiakan.
Sementara, OPM menilai klaim itu sebagai bentuk kegagalan ULMWP.

Anggota KKB/OPM Papua (ANTARA)
VOA Indonesia kala itu memberitakan juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) Sebby Sambom menjelaskan jika pihaknya tidak mengakui klaim Benny Wenda itu.
"Benny Wenda lakukan deklarasi dan umumkan pemerintahannya di negara asing yang tidak mempunyai legitimasi mayoritas rakyat bangsa Papua, dan juga di luar dari wilayah hukum revolusi."
"Dia adalah warga negara Inggris. Menurut hukum international bahwa warga negara asing tidak bisa menjadi presiden Papua Barat," kata Sebby kepada VOA melalui keterangan tertulisnya, Rabu (2/12/2020).

Juru bicara OPM Sebby Sambom mengatakan, pihaknya akan mengajukan permohonan uji materi ke Pengadilan Internasional terkait langkah pemerintah untuk menyatakan kelompoknya sebagai teroris. (Via Surya.co.id)
Dengan keinginannya menjadi presiden Papua Barat tidak diakui, seharusnya Benny Wenda menyerah.
Namun tidak, Benny Wenda justru membuat klaim yang lebih kontroversial.
Melansir South East Asia Globe, operasi militer Indonesia di Nduga menjadi dasar badai sempurna, yang bahkan tidak bisa dikendalikan oleh Presiden Joko Widodo.
Selain membentangkan perang gerilya skala kecil terhadap pos militer terisolasi dan serangan kecil terhadap operasi tambang emas dan tembaga Freeport-McMoRan di Timika, pemerintah Indonesia terus memperluas kehadiran militer mereka tanpa lakukan dialog yang cukup panjang.
Hasilnya adalah penangkapan massa dan aktivis kemerdekaan yang damai, pergerakan langkah sosial dan pembunuhan para pemuka agama termasuk Pendeta Yeremia Zanambani yang berusia 63 tahun, terbunuh saat memberi makan babinya di provinsi Intan Jaya.