PWT Simanjuntak Tutup Usia

HKBP Berduka, SAE Nababan dan PWT Simanjuntak Sempat Konflik Perebutan Jabatan Ephorus

Ephorus HKBP Periode 1993-1998 Pdt PWT Simanjuntak meninggal dunia di RS Cikini Jakarta, Minggu (30/5/2021) pukul 06.03 WIB

TRIBUN-MEDAN.COM - Ephorus HKBP Periode 1993-1998 Pdt PWT Simanjuntak meninggal dunia di RS Cikini Jakarta, Minggu (30/5/2021) pukul 06.03 WIB.

Ini adalah kabar duka kedua dalam Mei 2021, sebelumnya HKBP kehilangan Pdt SAE Nababan pada 8 Mei 2021.

Ucapan duka atas kepergian Pdt PWT Simanjuntak ramai diapungkan warganet.

Ephorus HKBP Robinson Butarbutar juga menyampaikan ucapan dukacita di akun media sosialnya.

"Huria Kristen Batak Protestan yang Kantor Pusat HKBP di Pearaja-Tarutung menyampaikan turut berdukacita atas meninggalnya bapak Pdt Dr PWT Simanjuntak umur 85 tahun, Ephorus (Em) HKBP Periode 1993-1998," tulis Pdt Dr Robinson Butarbutar dalam foto ungkapan dukacita HKBP, Minggu (30/5/2021).

Baca juga: Pendeta Purada Sinaga: SAE Nababan Tokoh Kesetaraan Gender di Lingkungan HKBP

Baca juga: KABAR DUKA, Dalam Waktu Berdekatan HKBP Kehilangan Dua Tokoh, Pdt PWT Simanjuntak Meninggal Dunia

Dalam penutupnya, Ephorus Robinson menuliskan ayat Alkitab 2 Timotius 4:7 Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.

"Kita berduka. Beliau Eph Emeritus Pdt Dr PWT  Simanjuntak telah meninggalkan kita. Semoga keluarga diberikan Tuhan kekuatan dan penghiburan," tulisnya. 

Postingan ini telah ditanggapi 600-an jemaat dan dikomentari 434 komentar ungkapan belasungkawa. 

Dalam ungkapan dukacitanya, Ephorus Robinson juga mengungkapkan bahwa mendiang merupakan mantan anggota DPR-GR/MPRS.

Diketahui, DPR-GR dan MPRS adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) Menjelang Pemilihan Umum sesuai Undang-Undang No. 10 Tahun 1966 tanggal 19 November 1966

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) diatur berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959, dalam Undang-undang ini tetap diberi nama Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara selanjutnya disingkat MPRS, menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 sampai MPR hasil pemilihan umum mulai menjalankan tugas dan wewenangnya.

Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang diatur berdasarkan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960 dalam Undang-undang ini tetap diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, selanjutnya disingkat DPR-GR, menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 sampai DPR hasil pemilihan umum menjalankan tugas dan wewenangnya.

Konflik HKBP

Seperti diketahui meninggalnya Ephorus Emeritus PWT Simanjuntak berdekatan dengan meninggalnya Ephorus Emeritus SAE Nababan.

Kedua sosok ini pernah sama-sama menjabat pada periode yang sama kala itu.

HKBP memiliki dua pucuk pimpinan pada periode 1993 hingga 1998. 

Keduanya pernah terlibat konflik di masa-masa tersebut.

Disadur dari buku tulisan Bungaran Antonius Simanjuntak dalam judul 'Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba' Terbitan Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, dijelaskan bagaimanan konlik perebutan kekuasaan di HKBP terjadi pada era SAE Nababan.

"Terdapat preseden bahwa jabatan sekretaris jenderal (sekjen) merupakan jalur strategis untuk mencapai jabatan puncak Ephorus setelah keberhasilan mantan sekjen Ds T Sihombing dan Ds GHM Siahaan.

Karena itu Ds PM Sihombing sebagai sekjen mempersiapkan diri dengan membina para pendeta. Di luar gereja pusat dan daerah,” demikian ditulis Bungaran.

Untuk memenangkan pemilihan ephorus, terjadi negosiasi rahasia tiga tokoh di Hotel Polonia Medan awal 1987 antara Ds PM Sihombing, Rajagukguk SH, dan SAE Nababan. Diputuskan bahwa Sihombing jadi Ephorus di HKBP, SAE Nababan ketua PGI (Persatuan Gereja-Gereja Indonesia).

Ternyata SAE Nababan turut dicalonkan dalam pemilihan Ephorus HKBP tahun 1987 dan menang.

Alhasil, Sihombing menuduh Nababan mengkhianati kesepakatan di Hotel Polonia dan melakukan perlawanan melalui kelompok par-retreat.

Pergolakan semakin besar setelah mahasiswa dan dosen simpatisan par-ritrit di Universitas HKBP Nommensen melakukan unjuk rasa dan menuntut SAE Nababan turun dari jabatan Ephorus.

Pembakaran laboratorium sebagai rangkaian aksi unjuk rasa tidak berhasil diusut tuntas pihak kepolisian.

Berbagai kelompok formal dan informal turut mencampuri konflik internal HKBP, antara lain Tim Damai di bawah pimpinan Jenderal (Purn) Maraden Panggabean (Ketua DPA waktu itu), perusahaan PT Inti Indo Rayon yang mendukung mantan sekjen PM Sihombing.

Berbagai forum yang tumbuh dari kalangan warga dan sintua, serta pemerintah melalui Gubernur dan ketua Bakorstanasda/Panglima Kodam I Bukit Barisan.

Konflik yang pada mulanya hanya terjadi di antara pendeta dan pengurus pusat HKBP, menjalar ke kalangan jemaat secara terbuka setelah campur tangan rezim Orde Baru.

Ketua Bakorstanasda Sumbagut Mayjen Pramono mengangkat Pendeta Dr SM Siahaan menjadi penjabat Ephorus, dengan tugas utama mengakhiri kemelut HKBP.

Akibat keputusan itu, ribuan warga HKBP melakukan penolakan dengan demonstrasi ke kantor Gubernur, DPRD, dan markas Kodam I/BB.

Korban dari jemaat HKBP berjatuhan.

Tentara melakukan penangkapan.

Bahkan, pelantikan Ephorus terpaksa dipindahkan dari Pearaja ke Sipoholon karena sekitar 5.000 warga HKBP menduduki kantor pusat HKBP, menolak kehadiran Pangdam I/BB dan pelantikan Pdt Dr. Siahaan.

Konflik menjalar ke semua gereja HKBP di Indonesia.

Sebagian besar menolak campur tangan pemerintah.

Penyelenggaraan Sinode Agung Istimewa (SAI) pertengahan Februari 1994 semakin memperuncing keadaan.

Dalam Sinode itu, terpilih Pendeta PWT Simanjuntak sebagai Ephorus dan Pdt SM Siahaan sebagai Sekretaris Jenderal.

Penindasan oleh preman dan konon didukung aparat keamanan ditujukan kepada pendukung SAE Nababan yang menamakan diri Setia Sampai Akhir (SSA).

Kala itu, muncul anggapan bahwa aparat keamanan tidak netral, tapi mem-back up setiap aksi kelompok pimpinan Dr PWT Simanjuntak dan Dr SM Siahaan pilihan SAI Tiara.

Pendukung SAE Nababan terdesak sehingga harus mendirikan tenda-tenda untuk beribadah, lantaran gedung gereja dikuasai oleh pendukung Dr PWT Simanjuntak dan Dr SM Siahaan.

Di sebuah edisi Majalah “Bona Ni Pinasa” pada 1999 silam ditulis, kala Pdt SAE Nababan akan menghadiri KKR di sebuah daerah di Sumut, pernah ia diadang oleh militer agar tak bisa bertemu dengan jemaatnya.

Namun, SAE Nababan tetap teguh dengan niatnya mnelayani jemaat, dan berhasil lolos dari adangan militer.

Perpecahan gereja terjadi di sebagian besar wilayah.

Perkelahian warga untuk memperebutkan gereja bahkan menimbulkan pertumpahan darah.

Untuk meredakan situasi pemerintah menugaskan Menteri Penertiban Aparatur Negara TB Silalahi mendamaikan kelompok yang berseteru.

Rekonsiliasi ditandatangani kedua ephorus, SAE Nababan dan PWT Simanjuntak.

Rekonsiliasi itu merugikan pendukung SAE Nababan, SSA.

Gagasan perdamaian itu tidak menghasilkan apa-apa dan konflik HKBP tetap tidak berakhir.

Konflik HKBP baru berakhir setelah ditunjuknya Pdt Dr JR Hutauruk sebagai Penjabat Ephorus HKBP untuk misi khusus rekonsiliasi.

Dalam pelaksanaan Sinode Godang pada 18-20 Desember 1998, terpilih Pdt Dr JR Hutauruk sebagai Ephorus, Pdt WTP Simarmata MA menjadi Sekretaris Jenderal, 22 orang jemaat menjadi Pengurus Pusat dan 18 orang Praeses periode 1998-2004.

(vic/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved