Afghanistan Semakin Kacau, ISIS Sudah di Kabul, Mujahidin Bangkit Melawan Taliban: 60 Orang Tewas

AS telah memperingatkan warganya untuk menghindari bandara Kabul. Alasannya ada kekhawatiran tentang potensi serangan oleh cabang ISIS

Editor: AbdiTumanggor
Wakil Kohsar / AFP
Warga Afghanistan naik ke atas sebuah pesawat saat mereka menunggu di bandara Kabul, Senin (16/8/2021). Ribuan orang mengerumuni bandara kota itu mencoba melarikan diri dari Taliban 

TRIBUN-MEDAN.COM - Salah satu penyebab Afghanistan jatuh ke tangan Taliban adalah penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) dari negara itu.

Oleh karenanya, setelah Afghanistan jatuh ke tangan Taliban, pasukan AS yang tersisa pun semakin waspada.

Ini karena warga Afghanistan berbondong-bondong penuhi bandara Kabul untuk ikut melarikan diri.

Pada akhirnya, pasukan AS pun berkumpul di bandara untuk menjaga.

Masalahnya kini AS mendapat musuh baru. Siapakah mereka?

Dilansir dari bbc.com pada Minggu (22/8/2021), AS telah memperingatkan warganya untuk menghindari bandara Kabul. Alasannya ada kekhawatiran tentang potensi serangan oleh cabang kelompok Negara Islam (ISIS) di Afghanistan.

Peringatan keamanan terbaru itu mengatakan kepada warga AS untuk menjauh karena kemungkinan ancaman keamanan di luar gerbang. Sehingga pejabat pertahanan AS mengatakan mereka memantau perkembangan dan mencari rute alternatif.

Tidak ada rincian lebih lanjut yang diberikan tentang potensi ancaman serangan ISIS, dan kelompok tersebut tidak secara terbuka mengancam akan melakukan serangan di Kabul.

Nasihat AS sejak beberapa hari terakhir datang di tengah kekacauan yang terus berlanjut di luar bandara dan laporan tentang orang-orang yang dihancurkan ketika ribuan orang berusaha melarikan diri dari Afghanistan setelah pengambilalihan Taliban.

Kelompok militan menyapu seluruh negeri dan merebut ibu kota, Kabul, seminggu yang lalu.

Kerumunan orang berkumpul setiap hari, berharap diizinkan untuk terbang. Khususnya mereka yang bekerja dengan AS dan sekutunya, serta orang-orang yang telah berkampanye tentang isu-isu seperti hak asasi manusia.

Mereka takut akan menghadapi pembalasan di tangan Taliban jika mereka tidak dapat pergi.

Apa sebenarnya yang terjadi di gerbang bandara pada hari Sabtu masih belum jelas. Namun, kepala koresponden Sky News Stuart Ramsay mengatakan bahwa terjadi pertempuran di sana.

Sehingga tentara Inggris pun menarik mereka yang berada dalam bahaya dari kerumunan. Bahkan kejadian itu menggambarkannya sebagai "hari terburuk sejauh ini", dan mengatakan mereka percaya banyak orang telah meninggal di tempat kejadian.

Dalam briefing pada hari Sabtu, Departemen Pertahanan AS mengatakan 17.000 orang telah diterbangkan keluar dari bandara, termasuk sekitar 2.500 warga AS.

Angka itu masih kecil sebab beberapa orang yang ingin dievakuasi AS dipukuli dalam perjalanan ke bandara.

Oleh karennaya mereka diminta menghindari kerumunan besar di luar gerbang bandara.

Negara-negara lain juga telah memperingatkan tentang situasi di lapangan.

Pemerintah Jerman mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bandara tetap "sangat berbahaya dan akses ke bandara seringkali tidak memungkinkan".

Sementara kementerian luar negeri Swiss mengumumkan situasi keamanan telah "memburuk secara signifikan dalam beberapa jam terakhir" dan menunda penerbangan evakuasi carteran dari Kabul.

Pasukan AS saat ini berusaha tetap mengendalikan bandara internasional. Demikian dilansir dari INTISARI

Mereka membantu mengevakuasi warga mereka sendiri dan warga negara lain, termasuk warga Afghanistan yang bekerja dengan pasukan Barat dan takut akan keselamatan mereka di bawah Taliban.

Tetapi AS telah menetapkan tanggal penarikan 31 Agustus untuk pasukan mereka, dan tidak jelas apa yang akan terjadi setelah tanggal ini.

Setelah <a href='https://medan.tribunnews.com/tag/afghanistan' title='Afghanistan'>Afghanistan</a> jatuh ke tangan <a href='https://medan.tribunnews.com/tag/taliban' title='Taliban'>Taliban</a>, <a href='https://medan.tribunnews.com/tag/isis' title='ISIS'>ISIS</a> dikabarkan terlibat.

Pasukan ISIS

Akan Menyerang Balik

Pasca Afghanistan jatuh ke tangan Taliban, banyak yang mempertanyakan kekuatan pasukan elite Afghanistan. Sebab, pasukan elite Afghanistan sendiri sempat dilatih oleh pasukan Amerika Serikat (AS).

Namun apa yang terjadi dengan mereka sebelum Afghanistan jatuh ke tangan Taliban?

Dilansir dari kompas.com pada Senin (23/8/2021), nasib pasukan elite Afghanistan berubah usai pasukan AS meninggalkan negaranya satu per satu.

Mereka memang sempat dilatih dan dilengkapi peralatan canggih oleh pasukan AS.

Semua itu guna menjadi dasar mereka untuk melawan Taliban.

Kehilangan dukungan dari militer terkuat di dunia membuat pasukan elite Afghanistan kewalahan.

Mereka tidak bisa secepat dan seefektif dulu guna melawan serangan cepat Taliban di daerah-daerah pedesaan sebelum memasuki ibukota.

Mereka tidak pernah menyangka Taliban yang sempat hilang selama 20 tahun lamanya masih memiliki kekuatan mengerikan sehingga mampu berperang dengan mereka.

"Ini lebih menantang," kata Kepala Komando Operasi Khusus Mayor Jenderal Haibatullah Alizai.

Semangat pasukan elite Afghanistan makin runtuh setelah terjadi pembunuhan brutal kepada anggotanya dii awal penguasaan daerah-daerah, namun tidak ada bala bantuan yang datang.

Kejadian itu baknya ilustrasi gamblang tentang bagaimana mereka bisa terisolasi dan dikalahkan. Padahal, sebelum itu pasukan elite Afghanistan tidak pernah kalah dalam pertempuran. Tentu saja itu berkat peralatan militer canggih milik militer AS.

Mengenakan kacamata penglihatan malam, senapan buatan AS, dan peralatan tempur modern lainnya, pasukan khusus Afghanistan sempat mengejutkan Taliban ketika mereka pertama kali muncul pada 2008. Pada saat itu, pasukan elite Afghanistan dengan cepat memberantas Taliban.

"Mereka sangat bagus. Mereka sangat terlatih. Mereka tahu cara menembak, bergerak, dan berkomunikasi," Todd Helmus, analis RAND Corporation yang berbaur dengan tentara di lapangan pada 2013, kepada AFP.

Dalam 10 tahun, jumlah mereka bertambah banyak, walau tidak diketahui angka pastinya. Namun, dua sumber keamanan mengatakan kepada AFP, ada sekitar 56.000 personel pasukan khusus yang terdiri dari tentara, polisi, dan dinas intelijen. Sayangnya ketika tugas pasukan AS di negaranya hampir selesai, maka pasukan elite Afghanistan akan menjadi garis pertahanan terakhir melawan Taliban

"Satu-satunya hal yang menghambat kemajuan Taliban saat ini adalah pasukan khusus dan angkatan udara," ujar Vanda Felbab-Brown, rekan senior di Brookings Institution, kepada AFP saat milisi belum menguasai Afghanistan.

Tapi selain itu, pasukan elite Afghanistan sering mendapati diri mereka kewalahan dan tanpa bantuan lokal.

"Setiap hari kita kehilangan orang-orang hebat, pria-pria tangguh, para perwira yang sangat baik, NCO, dan tentara," kata Jenderal Alizai.

Walau begitu, mereka tidak menyerah. Kini pasukan elite Afghanistan menyatakan siap untuk menyerang balik Taliban. Mereka akan menyerang di bawah komando Wakil Presiden Afghanistan, Amirullah Saleh.

Saleh sendiri telah mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin sah negara tersebut.

Afghanistan jatuh ke tangan <a href='https://medan.tribunnews.com/tag/taliban' title='Taliban'>Taliban</a> dan kekuatan pasukan elite <a href='https://medan.tribunnews.com/tag/afghanistan' title='Afghanistan'>Afghanistan</a>.

Pasukan Elite Afghanistan

Para pejuang mujahidin di Afghanistan mulai bertindak

Pejuang mujahidin merupakan istilah bagi umat Muslim yang turut dalam suatu peperangan atau terlibat dalam suatu pergolakan. Dan kehadiran mereka di Afghanistan tidak main-main.

Dilansir dari kompas.com menurut laporan pada Jumat (20/8/2021), bahkan pejuang mujahidin di Afghanistan berhasil merebut kembali tiga daerah di provinsi Baghlan negara itu dari Taliban.

Para pejuang mujahidin juga dibantu penduduk setempat. Sehingga distrik Banu, Pol-e-Hesar dan De Salah di provinsi Baghlan berhasil dikuasai kembali oleh pasukan anti-Taliban.

Dalam pertempuran itu, dilaporkan sekitar 60 militan Taliban tewas atau terluka dalam pertempuran. 

Tentu saja itu merupakan kabar baik bagi warga Afghanistan mengingat Taliban sudah bergerak cepat di seluruh negeri. Ini terjadi menjelang batas waktu 31 Agustus penarikan pasukan AS dari Afghanistan.

Kondisi Afghanistan makin kacau balau ketika Taliban sukses memasuki Kabul, ibukota Afghanistan. Hal ini pun membuat warga ketakutan setengah mati dan memilih kabur dari negara itu. Akibatnya warga berbondong-bondong menenuhi bandara Kabul untuk naik pesawat. Padahal mereka tidak punya tiket atau visa ke luar negeri.

Kekacauan di bandara Kabul bertambah mengerikan ketika puluhan orang rela memanjat bagian luar pesawat militer Amerika Serikat (AS). Kejadian mengerikan itu terekam media dan menyebar dengan cepat di sosial media.

Akibatnya sudah jelas. Mereka tak akan sanggup bertahan di atas dan membuat 3 orang jatuh dari pesawat militer AS dari langit.

Di darat, hampir seminggu ketika Afghanistan dikuasai Taliban, pasukan lokal di lapangan tampaknya tidak berdiam diri dan terus melakukan perlawanan terhadap Taliban. Bahkan walau tanpa bantuan pasukan AS sekalipun.

Di media sosial tersebar foto dan video tentang bentrokan nyata antara Taliban dan perlawanan lokal pada Jumat (20/8/2021).

Sebuah akun Twitter yang dinamai Provinsi Panjshir di negara itu—yang merupakan sarang perlawanan terhadap Taliban, melaporkan beberapa hal tentang peristiwa di provinsi tetangga Baghlan pada Jumat (20/8/2021) dalam bahasa Persia dan Inggris.

"Distrik Pul-e-Hesar diambil kembali dari #Taliban dan pertempuran berkecamuk di distrik Deh-e-Salah dan Banu," akun tersebut diunggah pada 8.40 pagi waktu setempat.

"Sumber-sumber lokal mengatakan Taliban telah diserang dari beberapa daerah dan menderita banyak korban," kata mereka.

Tajuden Soroush, koresponden senior untuk Iran International, sebuah stasiun TV Persia yang berbasis di London, Inggris, juga berkicau tentang peristiwa di provinsi Baghlan pada Jumat (20/8/2021).

Dia mengutip mantan pejabat pemerintah Afghanistan. "Seorang mantan pejabat pemerintah Afghanistan memberitahu saya bahwa pasukan perlawanan lokal di provinsi Baghlan telah merebut kembali distrik Banu dan Pol-e-Hesar dari Taliban."

"Mereka maju menuju distrik Deh Salah. Sekitar 60 pejuang Taliban tewas atau terluka," menurut Soroush kicauannya pada Jumat (20/8/2021) pukul 08.53 waktu setempat .

Dia kemudian menambahkan: "Distrik De Salah juga jatuh ke tangan pasukan perlawanan lokal."

Perjuangan pejuang mujahidin masih panjang karena Taliban telah merebut ibu kota dan kota terbesar di provinsi Baghlan, Pul-e-Khumri. Perebutan itu sebagai bagian dari pengambilalihan cepat wilayah di seluruh negeri.

Taliban tembak mati Kepala Polisi Provinsi Badghis Jenderal Haji Mullah Achakzai
Taliban tembak mati Kepala Polisi Provinsi Badghis Jenderal Haji Mullah Achakzai (mirror)

Taliban Tembak Mati Jenderal Polisi dan Wanita Tak Pakai Burka

Di tengah perlawanan Mujahidin dan Pasukan Khusus Afghanistan, Taliban telah membentuk pemerintahan baru dan terus menyisir lawan-lawan yang selama ini berperang dengan mereka.

Janji Juru Bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, yang tidak akan melakukan kekerasan terhadap perempuan dan musuh mereka tampaknya tidak ditepati. Buktinya? Taliban mengeksekusi mati kepala polisi Afghanistan.

Kepala Polisi Provinsi Badghis Jenderal Haji Mullah Achakzai ditembak mati oleh Taliban dalam eksekusi yang mengerikan. Jenderal Haji Mullah Achakzai dianggap sebagai lawan Taliban selama ini.

Jenderal Achakzai ditangkap Taliban setelah mereka mengambil alih Afghanistan. Eksekusi Jenderal Achakzai dilakukan hanya beberapa hari setelah Taliban berjanji tak akan ada aksi balasan terhadap mantan musuh mereka.

Eksekusi mati itu pun viral di media sosial Twitter, di mana sang jenderal terlihat dalam keadaan diikat tangannya dan matanya ditutupi, sambil berlutut. Ia pun kemudian dieksekusi mati dengan berondongan peluru.

Jenderal Achakzai yang berusia 60 tahun, dikenal sebagai salah satu musuh Taliban karena selalu berperang melawan mereka selama lebih dari satu dekade.

Penasihat keamanan dan teman Jenderal Achakzai, Nasser Waziri, mengatakan, Taliban membagikan gambar tersebut melalui jaringannya. Ia mengungkapkan bahwa Jenderal Achakzai terpaksa menyerah terhadap Taliban.

“Ketika itu ia dikepung oleh Taliban dan tak memiliki pilihan lain kecuali menyerah,” tuturnya dikutip dari Mirror.

“Taliban menargetkan Achakzai karena ia merupakan pejabat tinggi intelijen,” tambah Waziri.

Apa yang dilakukan Taliban ini seperti menelan ludahnya sendiri, mengingat mereka berjanji tak akan melakukan kekerasan terhadap perempuan atau mendendam terhadap musuhnya.

“Kami tak menginginkan adanya musuh secara internal atau eksternal,” tutur Juru Bicara Taliban, Zabihullah Mujahid. Namun, menurut laporan, Gubernur dan Kepala Polisi di Provinsi Laghman di dekat Jalalabad, juga telah ditahan oleh Taliban. Nasib mereka pun kabarnya akan ditentukan oleh pemimpin kelompok tersebut.

Tangkap Gubernur Perempuan

Sebelumnya, Taliban menangkap Salima Mazari, salah satu dari sedikit gubernur perempuan Afghanistan.

The Times of India mengatakan laporan itu tidak menunjukkan di mana Mazari berada atau kapan pasukan Taliban menangkapnya. Sebagai gubernur distrik Charkint, dia merekrut dan melatih militan untuk melawan Taliban.

Mazari mengatakan kepada AP pada Sabtu (21/8/2021) jika "tidak akan ada tempat bagi wanita" di bawah pemerintahan Taliban.

"Di provinsi-provinsi yang dikuasai Taliban, tidak ada wanita lagi di sana, bahkan di kota-kota," katanya.

"Mereka semua dipenjara di rumah mereka,” lanjutnya.

Nadia Momand, seorang jurnalis TV di Afghanistan, mentweet pada Rabu (18/8/2021) jika Taliban dilaporkan telah menangkap Salima Mazari.

Nadia Momand pun menyerukan pembebasannya.

The Guardian melaporkan Salima Mazari (40) adalah gubernur distrik Charkint di Afghanistan utara, yang berpenduduk lebih dari 30.000 orang. Dia telah merekrut dan melatih gerilyawan untuk berperang melawan gerilyawan Taliban sejak 2019.

Salima Mazari lahir di Iran pada 1980. Keluarganya telah melarikan diri dari perang Soviet di Afghanistan, dan Mazari kembali ke negara itu beberapa dekade kemudian. Dia diangkat sebagai gubernur pada tahun 2018, menjadikannya salah satu dari sedikit wanita dalam politik Afghanistan.

Salima Mazari (40) adalah gubernur distrik Charkint di Afghanistan utara.

Jurnalis Wanita Dilarang Bekerja

Sebuah laporan dari PBB juga mengungkapkan Taliban saat ini tengah memburu siapa pun yang bekerja dengan Amerika Serikat (AS) dan NATO. Mereka mengancam akan membunuh atau menahan anggota keluarga orang yang dicarinya. Taliban sendiri dikabarkan telah membunuh seorang anggota keluarga jurnalis DW, yang menjadi target buruan mereka.

Sejumlah pembawa acara atau presenter perempuan televisi pemerintah Afghanistan pekan ini menyatakan bahwa gerilyawan Taliban melarang mereka bekerja. Para presenter perempuan itu diperintahkan oleh Taliban untuk keluar kantor.

Shabnam Dawran, seorang presenter berita Radio Televisi Afghanistan (RTA) menyatakan melalui pesan video pada Rabu (18/8/2021) bahwa ia diancam oleh milisi Taliban saat tiba di kantor untuk bekerja.

Taliban telah menduduki gedung RTA di Kabul pada Minggu (15/8/2021), menyusul jatuhnya ibu kota ke tangan kelompok pemberontak itu.

“Saya tak diperbolehkan masuk, meskipun saya membawa lencana identitas saya,” ujar Dawran menyebut upayanya untuk bekerja pekan ini.

“Karyawan lelaki diizinkan (masuk), tapi saya diancam. Mereka bilang pada saya, rezim telah berubah. Hidup kami kini di bawah ancaman serius,” imbuhnya seperti dilansir dari The Washington Post, Jumat (20/8/2021).

Kolega Dawran, Khadija Amin, seorang presenter berita terkemuka, pula menyatakan ia dicegah memasuki kantor RTA pekan ini.

“Saya pergi ke kantor tapi saya tak diizinkan masuk. Kolega yang lain lalu juga dilarang,” tutur Amin seperti dilaporkan media independen Afghanistan ToloNews.

Lebih lanjut Amin menuturkan, dirinya dan sejumlah kolega yang lain lalu berbicara dengan direktur RTA baru yang ditunjuk oleh Taliban.

“Ada perubahan pada program-progam televisi. (Dan) tidak tampak ada presenter atau jurnalis perempuan (bekerja),” terangnya.

Pasukan Taliban
Pasukan Taliban (AFP)

Warga Minoritas Jadi Korban

Taliban telah “membantai” dan secara keji menyiksa sejumlah warga minoritas Hazara di Afghanistan. Hal ini diungkap oleh kelompok hak asasi manusia (HAM) Amnesty International.

Melansir BBC pada Jumat (20/8/2021), sejumlah saksi telah memberikan laporan mengerikan tentang pembunuhan keji yang terjadi pada awal Juli lalu di provinsi Ghazni, Afghanistan itu.

Sejak merebut ibu kota Kabul pada Minggu (15/8/2021), Taliban berupaya menampilkan citra yang lebih moderat. Namun, menurut Amnesty International, insiden keji itu merupakan “indikator mengerikan” pemerintahan Taliban.

Komunitas Hazara merupakan kelompok etnik ketiga terbesar di Afghanistan. Mereka terutama mempraktikkan Islam Syiah, dan sejak lama menghadapi diskriminasi dan persekusi di bawah kaum Sunni Afghanistan dan Pakistan.

Dalam laporan yang diterbitkan pada Kamis (19/8/2021) itu, Amnesty International menyatakan, sembilan lelaki Hazara dibunuh antara tanggal 4 hingga 6 Juli di distrik Malistan di provinsi Ghazni di timur Afghanistan. Amnesty International mewawancarai sejumlah saksi mata dan meninjau bukti-bukti fotografis usai pembunuhan itu.

Sejumlah warga desa Mundarakht mengungkap, mereka melarikan diri ke pegunungan saat perang antara pasukan pemerintah dan gerilyawan Taliban meningkat. Saat beberapa warga kembali ke desa untuk mengambil makanan, Taliban telah menjarah rumah mereka dan menanti mereka.

Di tempat terpisah, sejumlah warga yang melintas melalui Mundarakht untuk pulang ke dusun mereka juga diserang. Sebanyak total enam orang diduga ditembak Taliban. Beberapa dari mereka ditembak di bagian kepala, dan tiga warga lainnya disiksa hingga tewas.

Menurut laporan para saksi mata, seorang warga dicekik dengan syalnya miliknya sendiri hingga tewas. Otot lengannya juga dipotong. Mayat warga lainnya bahkan ditembak hingga koyak. Seorang saksi mata mengungkap, warga kemudian bertanya pada Taliban mengapa mereka melakukan kekejian seperti itu pada mereka.

“Saat perang, semua orang mati, tak peduli kamu punya senjata atau tidak. Ini waktunya perang,” tutur seorang warga menirukan jawaban anggota Taliban.

Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard mengatakan, “Pembunuhan-pembunuhan keji berdarah dingin ini adalah pengingat catatan masa lalu Taliban, dan merupakan indikator mengerikan akan kemungkinan pemerintahan Taliban di masa depan.”

“Pembunuhan yang ditargetkan ini adalah bukti bahwa etnis dan agama minoritas tetap terancam di bawah pemerintahan Taliban di Afghanistan,” imbuhnya.

Laporan itu juga menyebutkan, layanan seluler telah diputus di banyak area yang dikuasai Taliban. Hingga, informasi tentang pembunuhan itu tak bocor sampai saat ini.

Amnesty International mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelidiki dan melindungi mereka yang terancam di Afghanistan.

Baca juga: Potret Gubernur Wanita Pertama Afghanistan Angkat Senjata sebelum Ditangkap Taliban, Kini Nasibnya?

(*/tribun-medan.com/intisari)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved