TRIBUNWIKI

Mengenal Lebih Dekat Wali Kota Pertama Kota Binjai di Masa Kolonial Belanda dan Jepang

Pada masa pendudukan Belanda tahun 1947 Binjai berada di bawah Asisten Residen J. Bunger dan RM. Ibnu sebagai Wakil Wali Kota Binjai.

Penulis: Satia | Editor: Ayu Prasandi
HO
Kantor Balai Kota Binjai tempo dulu.  

TRIBUN MEDAN.COM, BINJAI- Berdasarkan catatan Wikipedia, J Runnanbi dan RM Ibnoe adalah Wali Kota pertama Kota Binjai.

Dalam laporan, J Runnanbi menjabat pada tahun 1944 - 1945. Kemudian, RM Ibnoe di tahun 1945 - 1947. 

Pada tahun 1942-1945 Binjai dibawah Pemerintahan Jepang dengan kepala pemerintahan Kagujawa (dengan sebutan Guserbu) dan tahun 1944-1945 pemerintahan kota dipimpin oleh ketua Dewan Eksekutif J. Runnanbi dengan anggota Dr. RM Djulham, Natangsa Sembiring dan Tan Hong Poh.

Baca juga: Presiden Jokowi Bersama Menko Airlangga Groundbreaking Smelter Freeport di Gresik

Di masa Kemerdekaan Indonesia

Pada tahun 1945, (saat revolusi) sebagai kepala pemerintahan Binjai adalah RM. Ibnu. Pada 29 Oktober 1945, T. Amir Hamzah diangkat menjadi residen Langkat oleh komite nasional. 

Pada masa pendudukan Belanda tahun 1947 Binjai berada di bawah Asisten Residen J. Bunger dan RM. Ibnu sebagai Wakil Wali Kota Binjai.

Kemudian, di tahun 1948 -1950 pemerintahan Kota Binjai dipegang oleh ASC More. Tahun 1950-1956 Binjai menjadi kota Administratif kabupaten Langkat dan sebagai wali kota adalah OK Salamuddin kemudian T. Ubaidullah Tahun 1953-1956. 

Berdasarkan Undang-Undang Daruat No.9 Tahun 1956 Kota Binjai menjadi otonom dengan wali kota pertama SS Parumuhan.

Dalam perkembangannya Kota Binjai sebagai salah satu daerah tingkat II di Provinsi Sumatra Utara telah membenahi dirinya dengan melakukan pemekaran wilayahnya. 

Semenjak ditetapkan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1986 wilayah kota Binjai telah diperluas menjadi 90,23 km2 dengan 5 wilayah kecamatan yang terdiri dari 11 desa dan 11 kelurahan. Setelah diadakan pemecahan desa dan kelurahan pada tahun 1993 maka jumlah desa menjadi 17 dan kelurahan 20. Perubahan ini berdasarkan Keputusan Gubenur Sumatra Utara No.

Pada masa silam kota Binjai disebut sebagai sebuah kota yang terletak di antara Sungai Mencirim di sebelah timur dan Sungai Bingai di sebelah barat, terletak di antara dua kerajaan Melayu yaitu Kesultanan Deli dan Kerajaan Langkat. 

Baca juga: Dampak Penggerebekan Narkoba, Rektor USU Bakal ratakan Bangunan di FIB

Berdasarkan penuturan para leluhur, baik yang dikisahkan atau yang diriwayatkan dalam berbagai tulisan yang pernah dijumpai, kota Binjai itu berasal dari sebuah kampung yang kecil terletak di pinggir Sungai Bingai, kira-kira di Kelurahan Pekan Binjai yang sekarang.

Upacara adat dalam rangka pembukaan Kampung tersebut diadakan di bawah sebatang pohon Binjai (Mangifera caesia) yang rindang yang batangnya amat besar, tumbuh kokoh di pinggir Sungai Bingai yang bermuara ke Sungai Wampu, sungai yang cukup besar dan dapat dilayari sampan-sampan besar yang berkayuh sampai jauh ke udik.

Pada tahun 1823, Gubernur Inggris yang berkedudukan di Pulau Penang mengutus John Anderson ke pesisir Sumatra timur dan dalam catatannya disebutkan sebuah kampung yang bernama "Ba Bingai".

Sejak tahun 1822, Binjai telah dijadikan bandar/pelabuhan dimana hasil pertanian lada yang diekspor adalah berasal dari perkebunan lada di sekitar ketapangai (pungai) atau Kelurahan Kebun Lada/Damai.

Selanjutnya pada tahun 1864, Daerah Deli telah dicoba ditanami tembakau oleh pioner Belanda bernama J. Nienkyis yang mendorong didirikannya Deli Maatschappij pada tahun 1866.

Orang Belanda berusaha menguasai Tanah Deli menggunakan politik pecah belah melalui pengangkatan datuk-datuk.

Usaha ini ditentang oleh Datuk Kocik, Datuk Jalil dan Suling Barat, sementara Datuk Sunggal tidak menyetujui pemberian konsensi tanah kepada perusahaan Rotterdenmy oleh Sultan Deli karena tanpa persetujuan.

Di bawah kepemimpinan Datuk Sunggal bersama rakyatnya di Timbang Langkat (Binjai) dibuat benteng pertahanan untuk menghadapi Belanda.

Baca juga: MARC Marquez Masih Kalah dengan Valentino Rossi Soal Gelar, Tak Bisa Lampaui Pencapaian The Doctor

Belanda merasa terhina atas tindakan ini dan memerintahkan kapten Koops untuk menumpas para datuk yang menentang Belanda. Pada 17 Mei 1872 terjadilah pertempuran yang sengit antara Datuk/masyarakat dengan Belanda.

Peristiwa perlawanan inilah yang menjadi tonggak sejarah dan ditetapkan sebagai hari jadi Kota Binjai.

Perjuangan para datuk/rakyat terus berkobar dan pada akhirnya pada 24 Oktober 1872 Datuk Kocik,

Datuk Jalil dan Suling Barat dapat ditangkap Belanda dan kemudian pada tahun 1873 dibuang ke Cilacap.[6] Pada tahun 1917 oleh Pemerintah Belanda dikeluarkan Instelling Ordonantie No.12 dimana Binjai dijadikan Gemeente dengan luas 267 Ha.

(wen/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved