Memanen Energi Bersih di Sei Mangkei, Arus Listrik Pun Kini Lebih Stabil

Pertamina dan PTPN III melakukan kerjasama pengembangan PLTBg dan PLTS di KEK Sei Mangkei, Kabupaten Simalungun.

TRIBUN MEDAN/RISKI CAHYADI
PETUGAS Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) memeriksa panel listrik tenaga surya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei, Simalungun, Sumatera Utara, Jumat (22/10/2021). PLTS ini merupakan pembangkit listrik yang dikembangkan atas kerjasama PT Pertamina (PNRE) dengan PTPN III. 

TRIBUN-MEDAN.com, SIMALUNGUN - Pemerintah menargetkan pencapaian bauran energi pada 2025 dan penurunan emisi karbon pada 2030. Untuk mencapai target ini, pemerintah gencar mendorong masifnya peningkatan pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) di seluruh Indonesia. Berbagai pihak mulai dari masyarakat biasa, pemilik perkantoran, perusahaan , hingga kawasan industri diajak untuk mengembangkan pembangkit listrik EBT.

Salah satu upaya pengembangan kapasitas pembangkit EBT di Indonesia dilakukan PT Pertamina dengan membangun dua pembangkit listrik di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei yang berlokasi di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Bekerjasama dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, PT Pertamina melalui sub holding Pertamina New & Renewable Energy (PNRE) mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Dengan skema Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/BOT), Pertamina dan PTPN III melakukan kerjasama pengembangan PLTBg dan PLTS di KEK Sei Mangkei. Skema Bangun Guna Serah ini merupakan skema kontrak di mana investor mendanai sendiri seluruh keperluan proyek, kecuali penyediaan lahan. Sehingga investor berhak mengoperasikan dan mendapatkan manfaat ekonomi (pendapatan) dari pengoperasiannya sampai dengan jangka waktu (kontrak) yang disepakati. Setelah lewat waktu, infrastruktur dan pengoperasiannya diserahkan kepada pemilik lahan (tanah).

Koordinator Operasi dan Maintenance PLTBg dan PLTS Sei Mangkei, Rein Nasution mengatakan, PLTBg dan PLTS Sei Mangkei masing-masing dibangun di atas lahan seluas dua hektare. PLTBg berbahan bakar Palm Oil Mill Efulent (POME) atau limbah cair kelapa sawit dan menyerap POME hingga 288.350 meter kubik setiap tahun. PLTBg Sei Mangke yang beroperasi sejak Januari 2020 ini memiliki kapasitas terpasang sebesar 2,4 MW.

“Dengan menyesuaikan ketersediaan bahan baku, PLTBg mampu beroperasi setiap hari sebesar 1,7 MW. Hitungan sederhananya, 1 meter kubik gas mampu memanen energi listrik sebesar 2 KW. Jadi, kalau 500 meter kubik gas akan menghasilkan 2 MW listrik dalam waktu satu jam,” kata Rein kepada Tribun Medan.com, Jumat (22/10/2021).

Sedangkan PLTS, sesuai dengan namanya, merupakan pembangkit EBT berbahan dasar sinar matahari dan telah beroperasi sejak Agustus 2021. PLTS Sei Mangkei memiliki kapasitas terpasang sebesar 2 MW  dengan jumlah panel sebanyak 5.520 buah. Panjang keseluruhan panel sekitar 700 meter dan lebar 40 meter. PLTS Sei Mangke ini mampu memanen listrik hingga 1,6 GW (Giga Watt) per tahun.

“Keberadaan dua pembangkit listrik EBT ini tak hanya mampu memanen energi biogas dan surya sebagai energi bersih dalam jumlah yang cukup besar, tetapi juga menurunkan emisi dalam jumlah yang tidak kecil. PLTBg dan PLTS misalnya, secara bersama-sama mampu menurunkan emisi gas karbon lebih 71.000 ton per tahun dan PLTS menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga 1.300 ton per tahun,” kata Rein.

PETUGAS memantau proses produksi energi di Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) di KEK Sei Mangke, Simalungun, Sumatera Utara, Jumat (22/10/2021).
PETUGAS memantau proses produksi energi di Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) di KEK Sei Mangke, Simalungun, Sumatera Utara, Jumat (22/10/2021). (TRIBUN MEDAN/RISKI CAHYADI)

Corporate Secretary Pertamina NRE Dicky Septriadi mengatakan, Pertamina sudah melakukan pengembangan EBT sejak lama, dimulai dengan mendirikan anak usaha bernama PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) pada tahun 2006 yang fokus pada pengembangan energi panas bumi. Pertamina menyadari bahwa energi fosil (minyak dan gas) adalah energi yang tidak terbarukan serta berkontribusi terhadap emisi karbon yang cukup signifikan.

“Pertamina berkomitmen untuk menjalankan bisnis yang bertanggungjawab terhadap kelangsungan kehidupan yang berkualitas bagi generasi mendatang. Untuk itu Pertamina melakukan transisi bisnis dari yang sebagian besar energi fosil menjadi energi bersih. Pertamina NRE (PNRE) menjadi salah satu subholding Pertamina yang fokus mengawal transisi energi tersebut,” kata Dicky kepada Tribun-Medan.com, Kamis (28/10/2021).

Dikatakan Dicky, selain PLTBg dan PLTS di Sei Mangkei, ada lima pembangkit listrik EBT lainnya yang dikembangkan Pertamina NRE di seluruh Indonesia. Tiga diantaranya telah dibangun dan beroperasi yakni PLTBg Kwala Sawit dan PLTBg Pagar Merbau berkapasitas 2 x 1 MW yang pengembangannya bekerjasama dengan PTPN II, PLTS Badak sebesar 4 MW dan pengembangannya bekerjasama dengan PT Badak LNG, dan PLTS Atap di 76 SPBU dengan total kapasitas 519 KW. Sedangkan dua pembangkit lainnya sedang dalam tahap pembangunan yakni PLTS Cilacap sebesar 1,3 MW yang berlokasi di area kilang Pertamina Cilacap dan PLTS Dumai sebesar 2 MW berlokasi di area Kilang Pertamina Dumai.

“Pertamina secara keseluruhan menargetkan memanen 17 persen porsi energi bersih dalam portofolio bisnisnya di tahun 2030. Subholding PNRE sendiri memiliki aspirasi kapasitas terpasang energi bersih sebesar 10 GW pada tahun 2026. Sebagian besar fokus PNRE saat ini adalah transisi energi di internal Pertamina. Sedangkan potensi kapasitas PLTS di area operasi Pertamina Group mencapai 500 MW,” terang Dicky.

Dicky menambahkan, khusus penambahan kapasitas pembangkit EBT di kawasan Sei Mangkei merupakan wewenang dari PTPN III sebagai pengelola KEK Sei Mangkei. Namun, Pertamina NRE siap menambah kaspasitas dan sangat antusias apabila ada peluang kerjasama kembali, termasuk mengembangkan pembangkit EBT lainnya seperti biomassa dan air.

“Pertamina mendukung upaya pemerintah Indonesia mencapai target bauran energi 23 persen pada tahun 2025 dan penurunan emisi karbon sebesar 29 persen pada tahun 2030. Pertamina percaya, transisi energi hanya dapat terwujud apabila semua pihak memiliki visi yang sama dan berkolaborasi. Dan Pertamina siap berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam pengembangan EBT.  Dari sisi industri, Pertamina mengharapkan dukungan diantaranya regulasi yang dapat mendorong percepatan transisi energi misalnya kemudahan perizinan, insentif, kebijakan tarif dan lainnya,” kata Dicky.

Senior Executive Vice President PT Kawasan Industri Nusantara selaku pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangke, Anastasia Indriyani mengatakan, KEK Sei Mangkei merupakan KEK yang dikelola oleh PTPN III. Sesuai dengan namanya, ekonomi khusus, KEK Sei Mangke menghadirkan beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki kawasan industri pada umumnya. KEK Sei Mangkei merupakan KEK pertama di Indonesia yang memiliki konsep green economic zone, yaitu mengutamakan pengembangan energi terbarukan, termasuk penggunaan energi bersih untuk kebutuhan listrik.

“Dengan konsep green economic zone ini, pengelola sudah memiliki program jangka panjang. Ketika KEK sudah penuh dengan tenant (penyewa), maka suplai listrik untuk seluruh tenant akan bersumber dari EBT sebesar 30 persen dan sisanya  70 persen bersumber dari listrik PLN,” katanya.

Anastasia menjelaskan, KEK Sei Mangkei memiliki luas lahan 1.933,8 hektar.  Untuk saat ini sudah ada enam tenant yang aktif di KEK Sei Mangkei di luar pabrik milik PTPN III yakni Palm Kernel Oil (PKO). Tenant dan Pabrik PKO ini menggunakan keseluruhan listrik yang dihasilkan PLTBg dan PLTS.

Sumber EBT sebesar 30 persen di KEK Sei Mangkei, kata Anastasia ditargetkan akan tercapai pada tahun 2030. Sedangkan kapasitas PLTBg dan PLTS yang jumlah totalnya sebesar 4,4 MW  masih setara dengan 5 persen sumber EBT. Untuk memenuhi kekurangan ini, pengelola KEK Sei Mangkei akan melakukan beberapa strategi yakni membangun pembangkit listrik EBT dari bahan biomassa tahun 2022 dengan kapasitas 15 MW. Selain itu, pengelola KEK Sei Mangkei juga akan menambah (mengupgrade) PLTS dari 2 MW menjadi 5 MW.

“Dengan startegi ini, tahun 2022 mendatang, kapasitas pembangkit listrik EBT di KEK Sei Mangkei sudah mencapai 20-an persen. Kami menargetkan, ketika kawasan ini penuh, proyeksi kapasitas EBT sekitar 270 MW,” katanya.

Anastasia menjamin, KEK Sei Mangkei memiliki potensi yang cukup untuk memanen EBT sebagai energi bersih. Mengingat luasnya yang tidak sedikit, pembangkit listrik EBT akan dibuat per kluster (wilayah). “Tidak mungkin membuat satu pembangkit listrik EBT dalam ukuran besar, Nantinya di setiap kluster tersebut, akan dibangun pembangkit listrik EBT,” katanya.

Anastasia mengaku, saat ini pemerintah sangat antusias terhadap pengembangan EBT. Berbagai regulasi dihadirkan agar pihak-pihak terkait semakin dimudahkan dalam mengembangkan dan menggunakan EBT. Selain itu, pemerintah juga didorong untuk memberikan insentif pajak karbon kepada industri yang menggunakan EBT.

“Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sepakat menetapkan tarif pajak karbon paling rendah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Kalau pelaku industri yang menggunakan EBT mendapatkan insentif ini, tentu menjadi nilai plus (value added) dalam menjalankan usaha,” katanya.

PENGGUNAAN listrik biogas oleh pabrik Palm Kernel Oil (PKO) PTPN III di KEK Sei Mangkei, Simalungun, Sumatera Utara, Jumat (22/10/2021).
PENGGUNAAN listrik biogas oleh pabrik Palm Kernel Oil (PKO) PTPN III di KEK Sei Mangkei, Simalungun, Sumatera Utara, Jumat (22/10/2021). (TRIBUN MEDAN/TRIBUN MEDAN/RISKI CAHYADI)

Arus Listrik Lebih Stabil

ASISTEN Teknik Pabrik Palm Kernel Oil (PKO) PTPN III, Lucky Sianturi mengatakan, dalam operasionalnya, pabrik PKO sudah menggunakan listrik EBT sejak beroperasi tahun 2011 lalu. Awalnya masih menggunakan biomassa. Sedangkan biogas digunakan mulai tahun 2019.

Ditegaskan Lucky, dengan penggunaaan listrik EBT, pabrik PKO semakin memposisikan dirinya sebagai perusahaan yang benar-benar memanfaatkan EBT menjadi sumber listrik. “Dengan EBT, PKO pun sudah green zone,” kata Lucky.

Menurut Lucky, selain ikut mendukung program pemerintah dalam pencapaian bauran energi dan penurunan emisi karbon, manfaat yang dirasakan pabrik dengan penggunakaan listik EBT adalah stabilitas arus.

“Arus listrik di pabrik kini lebih stabil karena menggunakan listrik EBT meski pun digunakan saat arus puncak. Saat arus puncak atau ketika semua mesin dijalankan, beban listrik sekitar 3 MW. Tetapi ketika sudah normal, beban listrik menjadi sekitar 2 hingga 2,5 MW,” kata Lucky.

Lalu, berapa banyak penghematan yang didapat perusahaan ketika menggunakan EBT. Anastasia mengatakan, karena menggunakan bahan baku renewable berupa limbah yang sebenarnya tidak dimanfaatkan lagi, maka Harga Pokok Produksi (HPP) pasti akan berada di bawah HPP energi yang menggunakan bahan fosil.

“Pengurangannya sekitar 10 persen dari HPP. Tapi,  ketika tenant (perusahaan) menggunakan EBT, selain hemat 10 persen, secara otomatis akan mendapatkan kompensasi pengurangan pajak karbon saat pajak karbon diberlakukan. Artinya banyak manfaat yang diterima,” katanya.

Jangan Hanya Insentif Pajak Karbon

PENGAMAT ekonomi dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Armin Rahmansyah Nasution mengatakan, saat ini konsep industri negara-negara maju di dunia memang sudah mengedapankan energi bersih atau EBT. Dan industri tersebut mendapatkan insentif sebagai konsekuensi positif menggunakan EBT.

“Mau tak mau, listrik EBT memang akan menjadi kebutuhan karena energi fosil yang merupakan bahan listrik PLN pasti akan habis suatu saat nanti. Diprediksi, energi fosil akan habis dalam 20 hingga 30 tahun mendatang,” kata Armin kepada Tribun-Medan.com, Jumat (29/10/2021).

Pemerintah Indonesia, kata Armin, harus terus merupayakan agar target pencapaian bauran energi dapat tercapai pada tahun 2025 melalui berbagai regulasi. Salah satu regulasi yang dapat diberikan adalah memberikan insentif pajak karbon. Namun, kata Armin, EBT tidak hanya berkaitan dengan pajak karbon. Artinya pemerintah diharapkan jangan hanya memberikan insentif pajak karbon bagi perusahaan yang menggunakan EBT.

“Perusahaan yang mendukung kelestarian lingkungan, maka otomatis ada prioritas yang diberikan bagi mereka. Jangan hanya insentif pajak karbon, tetapi bisa kemudahan dalam hal perizinan, keringan pajak-pajak, dan kemudahan lainnya. Pada prinsipnya, perusahaan yang dalam proses produksinya menggunakan EBT harus mendapat dukungan prioritas dari pemerintah. Dukungan ini pun diyakini akan mendorong perusahaan lain agar menggunakan EBT,” kata Armin. (top/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved