BERANI Tuntut Hukum Mati Terdakwa Kasus Asabri, ICW Sindir Kejagung soal Jaksa Pinangki

Kerja penegak hukum agar bisa menghukum maksimal pelaku korupsi juga enggan ditindaklanjuti oleh pemerintah dan DPR.

Editor: Salomo Tarigan
Kolase TribunKaltim.co / Kompas.com dan istimewa
Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Jaksa Pinangki 

TRIBUN-MEDAN.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) merasa heran dengan sikap Kejaksaan Agung (Kejagung) yang memaksimalkan hukuman mati kepada pelaku dugaan korupsi di PT Jiwasraya dan PT Asabri.

Namun hanya tuntutan rendah saat mengusut oknum jaksa yang korupsi.

“ICW cukup kaget dengan sikap Jaksa Agung, kenapa perkara-perkara seperti Jiwasraya dan Asabri tuntutannya sangat tinggi, sedangkan terhadap (eks Jaksa) Pinangki yang notabene berprofesi sebagai penegak hukum, melakukan banyak kejahatan, dan bekerja sama dengan buronan, malah sangat rendah,” ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Rabu (8/12/2021).  

Baca juga: MASIH Ingat Pak Ogah Si Unyil? Sekarang Usianya 74 Tahun, Sang Istri Kasihan Ungkap Kondisinya

Lebih jauh Kurnia beranggapan, hukuman mati bukan merupakan jenis pemidanaan yang ideal bagi pelaku korupsi.

Terdakwa kasus Asabri Heru Hidayat
Terdakwa kasus Asabri Heru Hidayat (tribunnews)

Sebab, hingga saat ini belum ada literatur ilmiah yang bisa membuktikan bahwa hukuman mati dapat menurunkan angka korupsi di suatu negara.

“Justru negara-negara yang menempati posisi puncak dalam Indeks Persepsi Korupsi atau dianggap paling bersih dari praktik korupsi tidak memberlakukan hukuman mati,” katanya.

Baca juga: Mulai Besok Rencana Pertandingan Liga 2 Dihadiri Penonton Dibahas PSSI, Kapan Diberlakukan?

Bagi ICW, lanjut Kurnia, hukuman yang ideal bagi pelaku korupsi yakni kombinasi antara pemenjaraan badan dengan perampasan aset hasil kejahatan atau sederhananya dapat diartikan pemiskinan.

Sayangnya, dua jenis hukuman itu masih gagal diterapkan maksimal.

“Dalam catatan ICW, rata-rata hukuman koruptor hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Begitu pula pemulihan kerugian keuangan negara yang sangat rendah,” ungkap Kurnia.

Tidak hanya itu, kata Kurnia, perbaikan mendasar untuk menunjang kerja penegak hukum agar bisa menghukum maksimal pelaku korupsi juga enggan ditindaklanjuti oleh pemerintah dan DPR.

Misalnya, RUU Perampasan Aset dan Revisi UU Tipikor.

"Dua regulasi itu selalu menjadi tunggakan, bahkan perkembangan terbaru juga tidak dimasukkan dalam daftar prolegnas prioritas 2022," kata Kurnia.

Tugas Baru Novel Baswedan dkk di Divisi Baru yang Disiapkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo

Diberitakan, Heru Hidayat diyakini jaksa bersalah melakukan korupsi bersama mantan Direktur Utama Asabri Adam Damiri dan Sonny Widjaja dkk hingga merugikan negara sebesar Rp22,7 triliun.

Heru juga diyakini jaksa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Menghukum Terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati," ucap jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (6/12/2021).

Heru Hidayat diyakini jaksa bersalah melanggar Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Dan Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Masih ingat Jaksa Pinangki?

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari atas kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara.

Kala itu Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) segera mengajukan kasasi atas putusan tingkat banding mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung Pinangki Sirna Malasari. 

Namun kasasi tidak dilakukan.

"Bagi ICW, Pinangki layak untuk dihukum maksimal," Kurnia menegaskan.

Kejahatannya dilakukan saat Pinangki masih menyandang status sebagai penegak hukum, yaitu jaksa, Kurnia mengingatkan lagi, Pinangki diketahui juga melakukan tiga tindak pidana sekaligus, yakni suap, pencucian uang, dan permufakatan jahat.

Lebih miris lagi, ia menekankan bahwa Pinangki menjalankan praktik korupsi guna membantu buronan perkara korupsi hak tagih Bank Bali yang sedang dicari oleh Kejagung kala itu, Djoko Tjandra.

"Selain hal tersebut, putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu harus segera dianulir oleh Mahkamah Agung, sebab, dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi persidangan korupsi lainnya yang melibatkan oknum penegak hukum," tandas Kurnia.

Sebelumnya, melalui putusan banding, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memangkas vonis Pinangki dari semula 10 tahun menjadi empat tahun penjara.  

Padahal, dalam perkaranya, Pinangki terbukti melakukan tiga perbuatan pidana.

Yaitu terbukti menerima suap sebesar 500 ribu dolar AS dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra.

Selain itu, Pinangki terbukti melakukan pencucian uang senilai 375.279 dolar AS atau setara Rp5.253.905.036.

Uang tersebut adalah bagian dari uang suap yang diberikan Djoko Tjandra.

Dituntut 4 Tahun

Pinangki Sirna Malasari sebelumnya dituntut empat tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.

(Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama)

Baca Selanjutnya: Jaksa pinangki

Baca Selanjutnya: Peneliti icw kurnia ramadhana

Baca Selanjutnya: Heru hidayat

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved