Sadis Perlakuan Anak Bupati, Penghuni Kerangkeng Manusia Disetrum Dibikin Cacat, Polda Sumut Lambat?

Adanya tindak kekerasan yang juga diduga turut dilakukan oleh anak dari Terbit Rencana Peranginangin yakni Dewa Peranginangin (DW).

Editor: Salomo Tarigan
TRIBUN MEDAN/HO
Kondisi fisik penghuni kerangkeng Terbit Rencana Peranginagin Bupati Langkat Non Aktif. 

TRIBUN-MEDAN.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melakukan investigasi dan melakukan kegiatan koordinasi serta penelaahan terkait dengan penemuan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat Nonaktif Terbit Rencana Peranginangin (TRP).

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, dari hasil koordinasi, investigasi dan penelahaan selama rentang waktu dari 27 Januari hingga 5 Maret 2022 itu, LPSK menemukan data dan fakta.

Autopsi Abdul Sidik, korban kerangkeng manusia yang meninggal, Sabtu (12/2/2022).Korban dimakamkan di TPU Pondok 7, Kelurahan Sawit Sebrang, Kecamatan Sawit Sebrang, Langkat, Sumut.
Autopsi Abdul Sidik, korban kerangkeng manusia yang meninggal, Sabtu (12/2/2022).Korban dimakamkan di TPU Pondok 7, Kelurahan Sawit Sebrang, Kecamatan Sawit Sebrang, Langkat, Sumut. (KOMPAS TV/DEDY ZULKIFLI)

Baca juga: Sikapi Instruksi Kapolda Sumut, Polres Sibolga Panggil Penyalur Migor Untuk Menjamin Ketersediaan

Adanya tindak kekerasan yang juga diduga turut dilakukan oleh anak dari Terbit Rencana Peranginangin yakni Dewa Peranginangin (DW).

Baca juga: Beban Berat Quartararo Ditarget di MotoGP Mandalika, Manager Yamaha Kecewa Hasil di Sirkuit Losail

"Apa yang diduga dilakukan TRP dibantu anggota keluarga (anak TRP)," kata Edwin kepada wartawan, dikutip Rabu (16/3/2022).

Adapun tindakan kekerasan yang dilakukan oleh keluarga atau LPSK menyebutnya 'Dinasty TRP' itu yakni dengan melakukan kejahatan fisik.

Hal itu di antaranya yakni, dengan melakukan tindak pemukulan, ditendang hingga kepala diinjak.

"Mereka dipukul menggunakan selang, kunci inggris, batu dan balok, ditetesi plastik yang sudah dibakar, disundut rokok, disetrum, dan jempol kaki dipukul dengan palu," kata Edwin.

Ironisnya, dalam perlakuan kekerasan ini turut juga dilakukan oleh DW yang merupakan anak dari TRP.

Bahkan kata Edwin, tidak sedikit para anak kereng --sebutan korban yang tinggal di kerangkeng-- mengalami cacat fisik karena tindakan kekerasan itu.

Beberapa di antaranya, mengalami kuku jari terbelah karena dipukul hingga jari tangannya terputus.

"Banyak korban yang menderita cacat, seperti jari putus, luka bakar di tubuh, gigi tanggal, tulang rusuk hancur, kuku lepas, stres hingga mengalami gangguan jiwa hingga ada meregang nyawa," ucap Edwin.

Adapun lokasi penganiayaan yang dilakukan oleh 'Dinasty TRP' itu kata Edwin, terjadi di berbagai tempat dan lokasi.

"Lokasi penganiayaan di kerangkeng maupun di luar kerangkeng, seperti gudang cacing, perkebunan sawit, pabrik sawit dan kolam," tukas dia.

TRP Raup Laba Hingga Ratusan Miliar

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melakukan kegiatan koordinasi, investigasi dan penelahaan sejak 27 Januari – 5 Maret 2022 atas kasus ditemukannya kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin (TRP).

Dalam temuannya itu, LPSK mengungkap adanya praktik perbudakan yang dilakukan oleh Terbit Rencana kepada para anak kereng --sebutan korban yang berada di dalam kerangkeng--.

Bahkan kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu, dari hasil perbudakan itu Terbit Rencana Peranginangin disinyalir telah mendapatkan keuntungan besar hingga lebih dari Rp177 Miliar atas penerapan perbudakan modern tersebut.

"Mengacu pernyataan Kapolda Sumut bila setidaknya ada 600 korban dalam 10 tahun terakhir yang dipekerjakan oleh TRP di bisnisnya tanpa di gaji, maka TRP diuntungkan dengan tidak membayar penghasilan mereka sebesar Rp 177.552.000.000," kata Edwin dalam keterangannya, dikutip Jumat (11/3/2022).

Lebih lanjut, Edwin mengungkapkan, pihaknya menduga keras adanya praktik perbudakan dengan iming-iming rehabilitasi bagi pecandu narkotika dalam kasus kerangkeng manusia di Langkat ini.

Sebab kata Edwin, berdasarkan informasi yang didapati pihaknya saat melakukan investigasi itu, dominan yang dimasukkan ke dalam kerangkeng tersebut merupakan mereka yang pecandu narkoba.

"Telah terjadi praktik perbudakan dengan iming-iming rehabilitasi bagi pecandu narkotika," beber Edwin.

Bahkan ada konsekuensi yang akan dialami korban setelah masuk kerangkeng ini. Di mana mereka yang sudah masuk, kata Edwin akan sangat sulit untuk pulang kembali ke rumah.

Terlebih, kata Edwin, Terbit Rencana Peranginangin membentuk tim pemburu yang bertugas untuk mencari dan menjemput paksa para korban yang kabur.

"Tim pemburu terdiri dari anak buah TRP dan anak buah Dewa (anak TRP) serta oknum aparat. Dalam praktiknya, tim pemburu juga mengancam keluarga dari korban yang kabur untuk menggantikan posisi dalam kerangkeng," ucap Edwin.

Mengapa kasus ini dianggap berjalan lambat?

Adinda Zahra Noviyanti dari Kontras Sumatera Utara mengatakan polisi semestinya sudah memiliki alat bukti yang cukup, berdasarkan temuan di lapangan dan keterangan saksi, untuk menetapkan tersangka dalam kasus ini.

Tetapi, hingga hampir dua bulan sejak kerangkeng manusia itu pertama kali terungkap ke publik, polisi masih belum menetapkan satu pun tersangka.

Padahal Komnas HAM dan LPSK juga telah merilis hasil penyelidikan yang menunjukkan bahwa "kekerasan, perbudakan, kerja paksa, hingga praktik perdagangan orang betul terjadi" di kerangkeng itu.

"Alat bukti juga sudah disita juga sama kepolisian, jadi kami merasa sebetulnya kepolisian sudah punya cukup bukti untuk menetapkan setidaknya satu tersangka dalam kasus ini," kata Adinda.

Kontras mengatakan dugaan keterlibatan anggota TNI-Polri menjadi salah satu faktor yang memicu lambatnya penanganan kasus ini.

"Pada banyak kasus yang Kontras tangani, ketika kasusnya melibatkan personil TNI-Polri, pasti ada keengganan untuk menyelesaikan kasus itu," kata Adinda.

Dalam kasus ini, dia mendesak Polri transparan dalam mengungkap keterlibatan anggotanya yang diduga terlibat.

"Jangan sampai itu jadi bahan pertanyaan besar, kenapa akhirnya dalam kasus yang melibatkan pejabat publik, orang-orang di kepolisian dan TNI, orang-orang yang punya kuasa, dalam hal ini kasus kerangkeng Lahat, proses penetapan tersangkanya sangat lambat," ujar dia.

Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution juga mempertanyakan mengapa polisi belum menetapkan satu pun tersangka dan menyebut penanganan kasus ini "terkesan lambat".

Bahkan korban dan saksi yang melapor ke LPSK belum satu pun dimintai keterangan oleh polisi.

"Sampai sekarang proses hukum mereka belum jalan, jadi hak-hak [saksi[ belum semua kami penuhi, misalnya kalau mereka dipanggil dan dimintai keterangan kami dampingi mereka sampai persidangan, tapi sampai sekarang belum ada," ujar Maneger.

Seperti apa dugaan keterlibatan anggota TNI-Polri?

Dalam hasil penyelidikan yang dirilis pada awal Maret lalu, Komnas HAM mengatakan ada beberapa anggota TNI-Polri di antara 19 orang yang diduga turut melakukan kekerasan di kerangkeng itu.

Selain itu, Komnas HAM menemukan "ada anggota Polri yang menyarankan agar warga setempat yang melakukan tindak kriminal ditempatkan di kerangkeng itu alih-alih ditangani oleh kepolisian".

Komnas HAM telah menyampaikan nama serta pangkat dari anggota TNI-Polri yang diduga terlibat itu kepada Polri maupun Pusat Polisi Militer Angkatan Darat.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan indikasi keterlibatan mereka juga terlihat dari bagaimana para penegak hukum "jelas-jelas mengabaikan" praktik perbudakan dan kekerasan itu selama belasan tahun.

"Kenapa ada pengabaian, itu antara ikut menikmati, atau takut karena dia tahu ada kekuatan yang lebih besar yang melindungi itu, jadi mereka cari aman."

"Kan dia (aparat) lihat sendiri kerangkeng itu, bahkan melakukan kekerasan di kerangkeng itu. Bagaimana aparat bisa datang rutin ke situ kalau dia enggak dapat sesuatu, kan enggak mungkin. Sekarang hanya perlu pembuktian lebih jauh," jelas Taufan kepada BBC News Indonesia, Minggu (13/3).

Kasus perbudakan dan kekerasan ini, lanjut dia, juga menunjukkan adanya "kejahatan bisnis" yang lebih besar dilakukan oleh Bupati Terbit, yang jelas-jelas diketahui oleh aparat penegak hukum namun tak pernah ditindak.

Sebab, Bupati Terbit dia sebut sebagai "aktor oligarki lokal" sekaligus "ninja sawit", istilah lokal untuk mafia sawit, "yang memiliki jaringan kuat dengan aparat TNI-Polri".

Selain itu, Terbit juga merupakan tokoh dari organisasi masyarakat Pemuda Pancasila. Adik Terbit, Sribana Perangin-angin, juga merupakan Ketua DPRD Kabupaten Langkat.

Namun setelah kasus ini mengemuka ke publik, Taufan mengatakan Polri dan TNI "telah berkomitmen" untuk mengusut tuntas, dan sejauh ini "tidak ada resistensi" dalam proses penyidikannya.

Komnas HAM, kata dia, akan terus memantau berjalannya proses hukum dari kasus ini.

Sementara itu, LPSK menduga jumlah anggota TNI-Polri yang terlibat selama belasan tahun ini pun "lebih banyak dari yang diperkirakan saat ini".

LPSK juga memperkirakan bahwa Bupati Terbit "diuntungkan hingga Rp177,5 miliar dengan mempekerjakan ratusan orang tanpa upah dalam 12 tahun terakhir untuk bisnis sawit ilegal miliknya".

Polda Sumut Lambat karena anggota TNI dan Polri Terlibat?

Polda Sumatera Utara membantah anggapan bahwa lambatnya penanganan kasus ini dipicu oleh faktor keterlibatan anggota TNI-Polri.

Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara, Komisaris Besar Hadi Wahyudi, mengatakan baru empat anggota Polri yang diperiksa oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Direktorat Kriminal Umum untuk mengusut dugaan pelanggaran etika maupun pidana yang dilakukan.

"Jika anggota Polri terlibat, pimpinan tidak akan segan menindak, bahkan kita sekarang sudah menindaklanjuti itu dengan penyidikan, nanti akan kami sampaikan sejauh mana dugaan keterlibatan anggota," tutur Hadi.

Dia juga membantah tuduhan bahwa "kekuasaan" Bupati Terbit memperlambat proses penyidikan. Hadi mengklaim perkembangan penyidikan justru telah berjalan "signifikan dan sangat cepat".

"Enggak ada itu, kita tidak ikut campur urusan politik. Kami bekerja profesional, termasuk keluarga bupati, ormas, sampai KPK pun kami datangi," ujarnya.

Polisi sejauh ini telah memeriksa 75 saksi dari tiga laporan polisi yang diproses terkait kematian tiga korban penghuni kerangkeng tersebut.

Proses autopsi dan ekshumasi (pembongkaran kubur) dari dua korban meninggal di antaranya juga telah dilakukan.

Hadi mengklaim penyidik telah mengantongi nama-nama orang yang berpotensi kuat menjadi tersangka, namun polisi belum menetapkannya karena "ingin mengungkap kasus ini secara utuh".

"Kami tidak ingin mengungkap peristiwa yang notabene mengarah pada dugaan pelanggaran HAM kemudian hanya berkutat pada tersangka yang melakukan penganiayaan," ujar Hadi.

Baca juga: WARNING KAPOLRI Listyo Sigit Prabowo soal Minyak Goreng, Kapolda, Kapolres Pastikan Ketersediaan!

(Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra/KompasTV)

Sadis Perlakuan Anak Bupati, Penghuni Kerangkeng Manusia Disetrum Dibikin Cacat, Polda Sumut Lambat?

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved