Pembunuhan Brigadir J
DERETAN Kejanggalan Dugaan Pelecehan Seksual Putri Candrawathi Diungkap LPSK
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengungkap 7 kejanggalan soal adanya dugaan pelecehan seksual yang dialami Putri Candrawathi
Keempat, terdapat dugaan kuat terjadinya peristiwa Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh Brigadir J kepada Saudari PC (Putri Candrawathi atau istri Ferdy Sambo) di Magelang tanggal 7 Juli 2022.
"Kelima, terjadi Obstruction of Justice dalam penanganan dan pengungkapan peristiwa kematian Brigadir J," kata Beka.
Terkini, Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik resmi menyerahkan laporan dan rekomendasi dari pemantauan dan penyelidikan terhadap kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J kepada jajaran Tim Khusus Polri di kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat.
Taufan mengatakan, di dalam laporan dan rekomendasi tersebut juga termuat laporan khusus dari Komnas Perempuan.
Ia menjelaskan Komnas HAM melakukan tugas penyelidikan dan pemantauan dalam kasus tersebut sebagaimana mandat Undang-Undang 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Taufan juga mengulas dua kesepakatan awal antara Komnas HAM dan pihak Kepolisian terkait pemantauan dan penyelidikan kasus tersebut.
Pertama, kata dia, adalah kesepakatan untuk keterbukaan dan akuntabilitas. Kedua, lanjut dia, kesepakatan untuk Komnas HAM ini diberikan aksesibilitas.
Komnas HAM, kata dia, tentu saja sebagai lembaga mandiri memberikan laporan pembanding.
IPW Minta Polri Tahan Putri Candrawathi
Indonesia Police Watch (IPW) mendesak Polri agar segara menahan Putri Candrawathi yang menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan Brigadir J bersama dengan suaminya Ferdy Sambo.
Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso mengutarakan, setidaknya ada tiga alasan mengapa Putri Candrawathi untuk segera ditahan.
Pertama, Putri adalah tersangka pembunuhan berencana terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Dalam kasus ini, Putri diduga turut andil dalam melancarkan peristiwa pembunuhan di rumah dinas Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.
"Satu, syarat objektif penahanan terpenuhi, terlebih kasus ini adalah kasus pembunuhan berencana dan ibu PC sebagai tersangka pembunuhan berencana," ujar Sugeng.
Sugeng menilai, penyidik wajib menjaga konsistensi penyidikan kasus ini karena Putri dinilai tak kooperatif.
Bahkan, ketika Putri telah ditetapkan sebagai tersangka, maka sudah sepatutnya Putri ditahan untuk kepentingan penyidikan.
"Yang kedua, ibu PC saat ini menurut IPW tidak kooperatif. Terbukti adanya keterangan yang berbeda-beda dengan saksi maupun tersangka lain," kata dia.
"Hal tersebut adalah dapat dikualifikasi ibu PC tidak kooperatif. Salah satu alasan penahanan adalah tidak kooperatif," jelas Sugeng.
Ketiga, Sugeng mengatakan, alasan kemanusiaan yang membuat Putri tak ditahan merupakan tindakan diskriminatif.
Sebab, jika dibandingkan dengan kasus serupa di mana tersangkanya seorang wanita, nyatanya banyak yang harus mendekam di sel tahanan.
"Karena dalam perkara lain, banyak wanita di dalam, kelompok masyarakat bawah tetap ditahan oleh polisi terkait kasus yang menimpa mereka," katanya.
Atas fenomena ini, Sugeng lantas mempertanyakan sikap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang pernah berujar bahwa hukum tak boleh lagi bersifat tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Ia menagih komitmen itu untuk ditunjukkan dalam pengusutan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
"Bahkan IPW mengingatkan Kapolri atas pernyataannya hukum tidak boleh tumpul ke atas tajam ke bawah. Pak Kapolri harus konsisten terkait hal ini," ujar dia.
Sugeng khawatir, sikap Timsus tak menahan Putri meski berstatus tersangka akan ditafsirkan masyarakat sebagai bentuk ketidakkonsistenan dalam penyidikan kasus ini.
"Dengan kedudukan ibu PC sebagai pejabat utama Polri, ternyata pernyataan pak Kapolri tidak konsisten. Ketidakkonsistenan Timsus ini menunjukkan perilaku diskriminatif kepada warga lain," kata Sugeng.
(*/TRIBUN MEDAN/TRIBUNNEWS)