Ferdy Sambo Ngotot Putri Korban Pelecehan BrigadirJ, Mantan Hakim: Jangan Bicara Soal Syahwat
harus fokus terhadap kasus pembunuhan dan tak perlu mengumbar opini tentang dugaan pelecehan terhadap istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.
TRIBUN-MEDAN.com - Eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo dan istrinya Putri Candrawathi kini terseret dalam pusaran kasus kematian tragis Brigadir J.
Bahkan, Ferdy Sambo ditenggarai jadi aktor utama terbunuhnya Brigadir Yosua.
Kini, Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi beserta semua yang terlibat pun harus menjalani sidang hukumnya masing-masing di pengadilan.
Ferdy Sambo perdana bertemu dengan kedua orang tua Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Sidang Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (1/11/2022).
Dalam persidangan tersebut, sebelas saksi dihadirkan termasuk dari keluarga Brigadir J.
Seperti, Samuel Hutabarat sang ayah, Rosti Simanjuntak sang ibu, Mahareza Rizky Hutabarat sang adik, dan kerabat serta kuasa hukum Brigadir J.
Momen itu pun menjadi pertemuan pertama keluarga Brigadir J dengan otak pembunuhan putra mereka, Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
Dipertemukan dengan keluarga Brigadir J, Ferdy Sambo tampak menyampaikan permohonan maaf.
"Bapak dan Ibu, saya sangat memahami perasaan Ibu."
"Dan saya mohon maaf atas apa yang terjadi," kata Sambo seperti dikutip dari Kompas.com, Selasa (1/11/2022).
Namun, setelah selesai meminta maaf, nada bicara Ferdy Sambo mendadak meninggi.
Amarah terlihat jelas ditunjukkan lewat raut wajahnya.
Bahkan, Ferdy Sambo tampak melotot ke arah orang tua Brigadir J.
Eks Kadiv Propam ini menegaskan perbuatannya dilandasi atas perbuatan yang dilakukan Brigadir J.
Perbuatan yang dimaksud adalah pelecehan terhadap Putri Candrawathi.
"Saya sangat menyesal, saat itu saya tidak mampu mengontrol emosi."
"Di awal lewat persidangan ini saya ingin menyampaikan bahwa peristiwa yang terjadi adalah akibat dari kemarahan saya atas perbuatan anak bapak ke istri saya!" ujar Sambo tegas.
Walaupun pihak kepolisian pernah meragukan peristiwa pelecehan tersebut, namun Ferdy Sambo tetap bersikukuh akan insiden tersebut.
Bahkan, ia berani menantang pembuktiannya di persidangan.
"Itu yang saya ingin sampaikan dan kita akan buktikan di persidangan," ujarnya.
Lebih lanjut, Ferdy Sambo telah mengakui kesalahannya dan berserah diri pada Tuhan.
Ia pun menegaskan siap bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukan.
"Saya yakin saya berbuat salah dan saya bertanggung jawab atas apa yang saya lakukan."
"Saya juga sudah meminta ampun terhadap Tuhan," tutur Sambo.
Dilansir dari Kompas.com, mantan hakim Asep Iwan Iriawan mengatakan sidang kasus Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) harus fokus terhadap kasus pembunuhan dan tak perlu mengumbar opini tentang dugaan pelecehan terhadap istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.
Hal itu disampaikan Asep menanggapi Ferdy Sambo yang menjadi terdakwa dugaan pembunuhan berencana terhadap Yosua yang tetap ngotot menyampaikan alasannya menghabisi sang ajudan karena dugaan pelecehan terhadap istrinya.
"Jadi ini masalah penghilangan nyawa, urusan mayat, jangan bicara soal syahwat," kata Asep seperti dikutip dalam program Breaking News di Kompas TV, Rabu (2/11/2022).
Menurut Asep, majelis hakim yang memimpin persidangan Sambo harus tegas menekankan tentang inti perkara dalam dakwaan adalah tentang pembunuhan berencana terhadap Yosua yang didakwakan Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bharada Richard Eliezer.
"Saya kira majelis hakim harus jelas, ini perkara pembunuhan," ujarnya.
Asep mengatakan, dugaan pelecehan seksual terhadap Putri yang dituduhkan kepada Yosua hanya sekadar narasi yang kemungkinan besar tidak akan muncul di dalam fakta hukum.
"Dakwaan itu adalah barang siapa menghilangkan nyawa orang lain, dan ada perencanaan, mengetahui dan menghendaki," kata Asep.
"Cerita-cerita sampingan tidak akan muncul di fakta hukum," sambung Asep.
Sambo dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (1/11/2022) lalu menyampaikan alasan dia menghabisi Yosua karena dugaan pelecehan kepada sang istri.
Dia menyampaikan pernyataan itu di depan orangtua Yosua, Samuel Hutabarat dan Rosti Simanjuntak, yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang oleh jaksa penuntut umum.
Dalam pernyataannya, Sambo mengawali dengan menyampaikan permohonan maaf dan menyesal atas kematian Yosua.
"Bapak dan Ibu, saya sangat memahami perasaan Ibu dan saya mohon maaf atas apa yang terjadi," kata Sambo di ruang persidangan.
Akan tetapi, ketika melanjutkan pernyataannya, nada suara Sambo meninggi dibarengi dengan sorot mata yang tajam dan agak melotot ke arah Samuel dan Rosti.
Sambo dalam pernyataannya tetap berkeras peristiwa berdarah itu terjadi karena perbuatan Yosua terhadap istrinya, Putri Candrawathi.
"Saya sangat menyesal, saat itu saya tidak mampu mengontrol emosi, di awal lewat persidangan ini saya ingin menyampaikan bahwa peristiwa yang terjadi adalah akibat dari kemarahan saya atas perbuatan anak bapak ke istri saya!" ujar Sambo.
Di akhir kalimatnya, Sambo kembali meminta maaf dan menyebut dirinya sudah memohon ampun kepada Tuhan.
"Itu yang saya ingin sampaikan dan kita akan buktikan di persidangan. Saya yakin saya berbuat salah dan saya bertanggung jawab atas apa yang saya lakukan. Saya juga sudah meminta ampun terhadap Tuhan," ujar Sambo.
Adapun Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap Yosua bersama Bripka Ricky Rizal Wibowo, Kuat Ma'ruf, dan Bharada Richard Eliezer.
Dalam dakwaan disebutkan, Ferdy Sambo merupakan orang yang memerintahkan Bharada Eliezer menembak Brigadir J.
Sementara itu, Putri Candrawathi berperan sebagai yang melaporkan dugaan pelecehan oleh Yosua yang dia alami di rumah pribadi di Magelang, Jawa Tengah, pada 7 Juli 2022.
Mendengar laporan dari sang istri, Ferdy Sambo marah dan merencanakan pembunuhan terhadap Yosua yang melibatkan Richard, Ricky, dan Kuat.
Yosua tewas ditembak oleh Eliezer atas perintah Sambo di rumah dinas di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada 8 Juli 2022.
Kelima terdakwa itu dijerat dengan Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Kelimanya terancam pidana maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, atau selama-lamanya 20 tahun.
(*/ Tribun-Medan.com)