Berita Sumut

Permohonan Restitusi Dikabulkan Terdakwa Kerangkeng Manusia, LBH Medan: Tidak Menghapus Pidana

Sidang terhadap empat terdakwa kerangkeng manusia milik Bupati Langkat nonaktif, telah sampai sidang pembacaan permohonan restitusi.

Tribun Medan/Muhammad Anil Rasyid
Tunjangan kematian Rp 530 juta diletakkan di meja ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Stabat, pada kasus kerangkeng manusia milik Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin, Rabu (2/11/2022).       

TRIBUN-MEDAN.com, LANGKAT - Sidang terhadap empat terdakwa kerangkeng manusia milik Bupati Langkat nonaktif, telah sampai sidang pembacaan permohonan restitusi yang dimohonkan keluarga korban atau ahli waris melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Adapun keempat terdakwa ialah, Dewa Peranginangin, Hendra Surbakti, Hermanto Sitepu dan Iskandar Sembiring.

Keempatnya didakwa atas kematian penghuni kerangkeng manusia bernama Sarianto Ginting, dan Abdul Sidik Isnur alias Bedul.

Baca juga: Sidang Kerangkeng Manusia, Keluarga Korban Tuntut Restitusi Segera Dibayarkan, Ini Kata PH Terdakwa

Dalam sidang tersebut ketua majelis hakim perkara a quo Halida Rahardhini, menyampaikan surat permohonan restitusi yang diajukan LPSK melalui Kejaksaan Negeri Langkat atas meninggalnya para korban telah dilaksanakan para terdakwa melalui penasehat hukumnya.

Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan  kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.

Permohonan restitusi diajukan LPSK melalui Kejaksaan Negeri Langkat kepada Pengadilan Negeri Stabat, akhirnya terpenuhi.

Adapun restitusi tersebut diberikan para terdakwa melalui penasehat hukumnya sebesar Rp 530 juta, guna pemulihan atau tunjangan kematian terhadap ahli waris para korban yang masing-masing mendapatkan uang sebesar Rp 265 juta.

Diketahui empat terdakwa sebelumnya didakwakan telah melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP atau 351 ayat (3) KUHP dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya 12 Tahun atau selama-lamnya 7 tahun penjara.

Oleh karena itu, LBH Medan menilai pemberian restitusi terhadap ahli waris sesungguhnya tidak menghapus pidana yang dilakukan para terdakwa. 

"Restitusi tersebut merupakan salah satu alasan JPU maupun hakim untuk mempertimbangkan keringanan hukuman terhadap para terdakwa," ujar Wakil Direktur LBH Medan, Irvan Saputra, Selasa (8/11/2022). 

Lanjut Irvan, LBH Medan sebagai lembaga yang konsern terhadap penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) mengecam keras tindak kekerasan atau penyiksaan yang diduga dilakukan para terdakwa.

Dan secara tegas meminta kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan hakim yang menangani perkaa a quo, tidak terpaku pada restitusi yang telah dilakukan para terdakwa.

"Terkhusus kepada JPU Kejaksaan Negeri langkat yang diketahui dalam agenda sidang selajutnya pada tanggal 9 November 2022 akan menyampaikan tuntutannya kepada majelis hakim," ujar Irvan.

Terkait hal tersebut, Irvan menambahkan LBH Medan meminta agar JPU tidak ujuk-ujuk menuntut para terdakwa dengan tuntutan yang ringan atau diskon hukuman meskipun telah dilakukannya restitusi. 

Baca juga: Kasus Penyerangan RS Bandung, LBH Medan: Polisi Lagi, Polisi Lagi yang Melakukan Kejahatan

"LBH Medan meminta JPU untuk tetap objektif dalam melakukan penuntutan, karena jika tuntutanya itu ringan atau bahakan sangat ringan, maka secara tidak langsung telah mencederai keadilan bagi masyarakat yang notabenenya mengetahui perkara a quo, dan akan berdampak kepada kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Negeri Langkat dalam melakukan penegakan hukum," ujar Irvan. 

Sedangkan itu menurut Irvan, tuntutan yang objektif dari JPU dapat memberikan efek jera kepada para terdakwa dan menunjukkan komitmen atau keseriusan negara dalam menindak tegas para pelaku tindak pidana kekerasan/penyiksaan di Indoneseia. 

Karena ia menilai, sesungguhnya praktik-praktik kekerasaan atau penyiksaan dikecam seluruh lapisan masyarakat dunia.

Serta begitu juga nantinya putusan pengadilan harus mengedepankan keadilan di masyarakat.

"LBH Medan menduga tindak pidana kekerasan atau penyiksaan yang terjadi di kerangkeng manusia milik bupati langkat non aktif TRP telah melanggar undang-undang dasar RI tahun 1945 dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia sebagaimana dijelaskan pada Pasal 28A UUD 1945 Jo Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Jo Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang hak-hak sipil dan politik," tutup Irvan.

(cr23/tribun-medan.com)

 

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved