Bumper Sibolangit

Jejak Rezim Soeharto di Bumi Perkemahan Sibolangit, Ratusan Masyarakat Terancam Diusir

Kekuasaan Soeharto ternyata ada dampak khusus terhadap masyarakat Bumi Perkemahan Sibolangit

Editor: Array A Argus
TRIBUN MEDAN/DANIEL
Gerbang pintu masuk Bumi Perkemahan Sibolangit. TRIBUN-MEDAN/DANIEL SIREGAR 

TRIBUN-MEDAN.COM,MEDAN - Efek kekuasaan 32 tahun rezim orde baru, di bawah kepemimpinan Jendral Soeharto masih dirasakan hingga saat ini.

Berkuasa di tengah kekacauan peristiwa G30S 1965, membuat Soeharto ditakuti oleh masyarakat Indonesia.

Isu pelarangan dan pembersihan orang-orang yang dianggap terlibat Partai Komunis Indonesia atau PKI yang dibangun pada saat itu, membuat dirinya sangat berkuasa.

Hampir diseluruh pelosok Indonesia, merasa dahsyatnya kekuasaan Orde Baru.

Seperti masyarakat yang tinggal di Dusun I dan V, Desa Bandar Baru, Kecamatan Sibolangit, Deliserdang.

Di Desa ini, sebanyak 400 Kepala Keluarga (KK) yang merasakan efek dari kekuasaan Jendral Soeharto pada saat itu.

Pasalnya, ratusan warga yang saat ini bermukim di dua Dusun itu nyaris terusir dari tanah yang mereka tempati selama bertahun-tahun itu.

Lahan seluas 200 hektar tersebut, kini diklaim oleh pemerintah Sumatera Utara sebagai lahan milik mereka.

Tribun - Medan, sempat berbincang dengan salah seorang tokoh masyarakat yang berada di sana.

Beni Amin, yang kini masih berjuang dengan ratusan warga lainnya mencarikan sejarah tanah yang saat ini sedang berkonflik dengan pemerintah daerah.

Menurutnya, para masyarakat telah menduduki lahan tersebut sejak tahun 60-an dimasa Orde Baru.

Lahan-lahan di sana, dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat petanian dan tempat tinggal.

Awalnya, lahan-lahan di sana dimiliki oleh oleh kesultanan Deli.

Kemudian, di tahun 50-an, kesultanan memberikan hak guna pakai kepada perusahaan perkebunan teh, pada tahun 1954 silam.

Saat itu, status tanahnya dipinjam pakai oleh perusahaan kebun teh itu.

Setelah masa perjanjian atau kontrak habis, tanah tersebut dikembalikan kepada kesultanan Deli, hingga kemudian diserahkan kepada masyarakat untuk dikelola.

Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1972 lahan yang sudah digarap oleh warga itu dipinjamkan oleh pemerintah untuk kegiatan Pramuka atau Kwartir Daerah (Kwarda).

"Tanah ini adalah tanah masyarakat yang diusahai sebagai lahan pertanian, jadi begitu tahun 1972 mulailah ada kegiatan pramuka pada jaman presiden Soeharto," kata Beni kepada Tribun-medan, Kamis (17/11/2022) lalu.

Diceritakannya, setelah dipinjamkan pada tahun 1974 diadakanlah kegiatan Jambore daerah Deliserdang.

Lalu, pada tahun 1977 pemerintah Indonesia mengadakan Jambore nasional di kawasan tersebut.

"Tahun 1977 ditetapkanlah bumi perkemahan sibolangit ini menjadi tuan rumah sebagai jambore nasional," sebutnya.

Ia mengungkapkan, terlaksananya Jambore di tanah mereka ini bukan tidak melalui proses yang panjang.

Bahkan, sejumlah masyarakat di sana sempat mendapatkan intimidasi untuk memberikan tanah-tanah mereka kepada panitia penyelenggara acara.

Kala itu, panitia jambore bersama dengan TNI AD melalui Koramil meminta paksa agar para masyarakat menyerahkan lahan-lahan tersebut untuk kegiatan Pramuka.

Anggota Koramil dibawa kepemimpinan Presiden Soeharto itu, mendesak para warga di sana untuk menyerahkan surat hak milik (SHM) milik mereka.

Alasannya, agar SHM masyarakat ini diperbaharui dan akan dikembalikan lagi setelah kegiatan jambore itu selesai dilaksanakan.

"Sementara status tanah yang tadinya lahan pertanian itu mulai dikuasai oleh panitia, pada waktu itu komandan koramil Samin Tarigan," ungkapnya.

Bahkan, ia menyebutkan para warga sempat didatangi dan diteror oleh aparat berpakaian loreng.

"Pak Samin Tarigan ini dengan anggota nya mendatangi petani-petani untuk meminta surat supaya surat di perbarui, supaya nanti nya setelah selesai jambore nasional itu akan dikembalikan kepada petani," ucapnya.

Namun, setelah SHM itu diserahkan kepada aparat, hingga kini mereka tidak pernah lagi melihat surat-surat yang pernah mereka serahkan itu.

Malahan, pemerintah menyerahkan pengelolaan lahan-lahan di sana kepada BUMN atau PTP.

"Rupanya pihak pemerintah memberikan kepada BUMn yang bergerak pada waktu itu untuk mengelola lahan ini semua," tuturnya.

"Dengan kata lain pihak Pemprov memberikan hak dan penguasaan kepada BUMN dari perkebunan untuk merawat lahan yang akan dia pakai ini," tambahnya.

Kala itu, para warga tidak berani untuk protes. Sebab, saat itu isu PKI masih menjadi momok ditengah masyarakat.

"Pada jaman rezim Soeharto masyarkat enggak ada yang berani protes dan bertanya. Karena kalau tidak dikasih lahan ini komandan Koramil langsung nuduh kami PKI," ungkapnya.

Beni menuturkan, ketika itu masyarakat di sana hanya bisa pasrah dan sabar menanti SHM mereka dikembalikan.

Seiring berjalannya waktu, lahan-lahan ratusan hektar itu ternyata tidak dikelola dengan baik oleh BUMN dan kembali menjadi semak belukar.

Kemudian, warga di sana kembali mencoba menggarap tanah tersebut dan menjadikannya lahan pertanian serta mendudukinya kembali.

"Pelan-pelan masyarakat yang merasa pemilik awalnya, kembali menguasai dan mengusahainya sebagai lahan pertanian kembali," ucapnya.

Ketika telah dikuasai lagi oleh masyarakat, tidak pernah adanya terjadi konflik di sana, dan masa reformasi tahun 1998 lahan - lahan tersebut dikembalikan kembali seutuhnya kepada masyarakat.

"Masa reformasi 98 rupanya karena di sana ada gejolak, masyarakat semakin luaslah yang dia usahai dan dia kuasai tanpa adanya perlawanan dari pihak BUMN," kata Beni.

Selama tahun 1998, mereka merasa tidak pernah ada masalah lagi menduduki lahan di sana.

Hingga akhirnya, pemerintah daerah pada Oktober 2022 lalu, meminta para warga untuk mengosongkan lahan-lahan di sana.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengklaim bahwa, mereka memiliki sertifikat tahun 1988 atas kepemilikan lahan di sana.

"Belakangan ini setelah banyaknya petani yang menguasai dan mengusahai lahan ini, berdirilah rumah-rumah diatas yang merasa memiliki lahan," katanya.

"Berjalannya waktu pihak PTP atau BUMN yang tadinya menguasai mundur karena biaya operasinal tidak ada subsidi dari mana pun," ujarnya.

"Belakangan ini tanpa sepengetahuan kami, dengan cara sepihak pemprov memberikan surat peringatan pengosongan lahan," sambungnya.

"Pemprov Sumut mengklaim, tanah kami milik mereka dengan penerbitan sertifikat hak guna pakai nomor 002 dan 003 tahun 1988," kata Beni.

Ia membeberkan bahwa, semasa kepemimpinan Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi mereka baru diusik.

"Setelah zaman Edy Rahmayadi inilah terjadi masalah, sebelumnya tidak pernah ada masalah," ungkapnya.

Bukan hanya Beni yang merasakan konflik lahan di sana, warga lainnya Dariatmo juga menceritakan sejarah lahan di sana.

Di tahun 1972, ia mengaku masih kecil. Ketika itu dirinya bersama dengan kedua orangtuanya sedang bertani di sawah milik mereka.

Tiba-tiba, sekelompok pria berbaju loreng mendatangi ia dan orangtuanya memaksa keluarga nya untuk meninggalkan lahan mereka.

Ketika itu, pria berpakaian loreng ini menyampaikan bahwa lahan tersebut akan dipakai untuk kegiatan Jambore Pramuka.

"Tahun 72 di sana padi semua, jadi disitu aku masih kecil. Jadi begitu datang Tentara bawa Laras panjang minta kami untuk pergi detik itu juga. Kalau tidak dikosongkan ditudih bapak ku PKI," ujarnya.

Dengan berat hati, keluarganya pun langsung meninggal lahan pertaniannya tanpa membawa apapun.

"Jaman itu, semua penduduk tidak boleh lagi memasuki pekarangan yang akan dibuat kegiatan Jambore," ucapnya.

"Kami mau ngambil kayu di dalam juga nggak boleh, kalau kedapatan langsung di redam ataupun dipopor pakai senjata," tambahnya.

Sementara warga lainnya, Suludin mengaku sejak lahan tersebut dipakai hingga saat ini, pemerintah pemprov Sumut tidak pernah mengeluarkan surat Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk masyarakat di sana.

Sebab, sebagian dari masyarakat juga tidak memiliki sertifikat lahan karena telah dirampas dan tidak pernah dikembalikan.

Namun, SHM Suludin masih tersimpan, karena pada saat itu ia tidak memberikannya kepada panitia pelaksana Jambore.

Kepada Tribun-medan.com, ia sempat menunjukkan SHM yang dia miliki, dari surat tersebut terlihat bahwa SHM itu keluarkan pada tahun 1967 dan dicap setempat oleh kepala desa Bandar Baru.

"PBB itu tidak ditetbitkan lagi semenjek kwartir Pramuka memakai lahan pinjaman ini, jadi lahan pinjaman inilah artinya yang diperalat untuk menyertifikatkan lahan itu sama pemprov Sumut," bebernya.

Ia juga menjelaskan, warga disana akan kebingungan ketika harus diusir dari lahan yang telah diduduki masyarakat selama berpuluh-puluh itu.

Selama ini, masyarakat di sana hanya bertahan hidup dari hasil tani dan pariwisata.

Sebagian warga di sana juga telah, membangun sejumlah rumah mewah untuk dijadikan tempat wisata.

Menurut pengakuannya, sejumlah bangunan mewah yang berbentuk villa itu merupakan rumah warga di sana.

Sebab, menurut pengakuannya tanah di sana tidak ada yang diperjualbelikan, dan kepemilikannya turun temurun.

"Semua yang ada disini termasuk bangunan mewah itu milik masyarakat di sini, kalaupun ada pindah tangan itu mungkin pada menantu. Tidak ada pernah jual beli," ungkapnya.

"Itu bukan villa, itu rumah pribadi kami. Salah penilaian kita, itu bukan villa itu rumah masyarakat yang punya rejeki lebih," sambungnya.

Suludin juga tidak terima, ketika Gubernur Sumut Edy Rahmayadi menilai mereka tidak mampu memiliki rumah dengan harga miliaran rupiah.

"Jadi jangan dibilang gubernur masyarakat tidak bisa membangun rumah senilai 1 miliar. Menurut Edy Rahanyadi kita adalah manusia paling miskin karena menurut dia, kami menggarap tanah dia," tegasnya.

Seorang warga lainnya, Suryanto mengaku curiga dengan sikap Gubernur Sumut Edy Rahmayadi, yang secara tiba-tiba mau mengusir mereka.

"Kami curiga sama Edy Rahmayadi ini apa misi dia. Apakah dia ada bermain sama mafia tanah, itu jelas kami curiga disitu, ada apa dengan Edy Rahmayadi ini," ungkapnya.

Ia menegaskan, dirinya bersama dengan ratusan warga lainnya akan mempertahankan tanah mereka, hingga titik darah penghabisan.

Mereka juga menolak, jika diiming-imingi ganti untung ataupun dialokasikan ketempat lain.

Karena, lahan-lahan disana merupakan tempat mereka mencari kehidupan.

"Tuntutan kita sebagai masyarakat Desa Bandar Baru khususnya Dusun I dan V, tetap mempertahankan tanah kami. Apapun itu kami akan mempertahankan hak kami," ucapnya.

"Jangankan untuk ganti rugi, ganti untung pun kami tidak akan menerima, karena kami menghargai warisan leluhur kami," pungkasnya.(tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved