Viral Medsos

ABG 16 Tahun Korban Pemerkosaan 11 Pria, Kapolda Kena Getahnya, Pakar Hukum Sebut Kurang Piknik

Sebelumnya Kapolda Sulteng mengatakan korban gadis remaja berusia 16 tahun tersebut diiming-imingi, dibujuk, dan dirayu oleh para tersangka.

|
Penulis: AbdiTumanggor | Editor: AbdiTumanggor
HO
Para tersangka kasus pemerkosaan terhadap gadis 16 tahun di Sulteng. Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Agus Nugroho mendadak menjadi sorotan setelah menyebut kasus anak berusia 16 tahun yang diperkosa 11 pria di Kabupaten Parigi Moutong, Sulteng bukan pemerkosaan, melainkan persetubuhan di bawah umur. 

TRIBUN-MEDAN.COM - Kasus ABG 16 Tahun Korban Pemerkosaan 11 Pria, Kapolda Irjen Agus Nugroho Kena Getahnya, Pakar hukum Sebut Kurang Piknik.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyentil Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Agus Nugroho yang menyebut kasus anak berusia 16 tahun yang diperkosa 11 pria di Kabupaten Parigi Moutong, Sulteng bukan pemerkosaan, melainkan persetubuhan di bawah umur.

Fickar menekankan kasus tersebut tetap pemerkosaan. "Ya betul (pemerkosaan). Pak kapolda 'kurang piknik'," ujar Fickar saat dimintai konfirmasi, Jumat (2/6/2023).

Fickar menjelaskan, seorang penegak hukum seharusnya melengkapi pengetahuannya dengan ilmu penunjang lain, seperti sosiologi dan antropologi. Sehingga, ketika polisi memeriksa suatu kasus atau peristiwa, maka akan banyak perspektif yang didapat untuk membantu pengusutan sebuah kasus.

Fickar menilai, mengingat korban yang diperkosa merupakan anak di bawah umur, maka di situ terjadi suatu pola yang tidak seimbang.

"Pola relasi laki-laki dan wanita, terutama yang belum dewasa, itu ada kecenderungan terjadinya pola relasi yang tidak seimbang, baik secara psikologis, fisik, maupun ekonomis," tuturnya.

Lalu, Fickar menyoroti pernyataan Kapolda Sulteng yang mengatakan tidak ada unsur pemaksaan oleh para tersangka terhadap anak berusia 16 tahun itu.

Kapolda Sulteng mengatakan korban berusia 16 tahun tersebut diiming-imingi, dibujuk, dan dirayu oleh para tersangka.

Fickar menegaskan, pemaksaan tidak melulu melalui fisik, melainkan bisa juga dipaksa lewat psikis. "Artinya potensi ini bisa terjadi jika terjadi persinggungan, karena itu pemaksaan bisa terjadi tidak dalam bentuk fisik, tapi lebih psikis. Di sinilah letak pemaksaan itu, apalagi dilakukan oleh banyak orang yang salah satunya anggota polisi," jelas Fickar.

Maka dari itu, kata dia, ketika korban wanita itu masih belum dewasa, maka yang terjadi adalah perkosaan, karena pasti ada unsur paksaannya.

Fickar mengatakan, apabila menggunakan terminologi persetubuhan, maka memang benar tidak ada pelanggaran hukum pidananya, sepanjang dilakukan oleh orang dewasa. Namun, akan berbeda jika sang wanita belum dewasa.

Maka apapun alasannya, itu merupakan pemaksaan atau perkosaan karena terjadi pola relasi yang tidak seimbang. "Ketidakseimbangan itu ada secara alamiah bagi wanita yang belum dewasa, yang belum bisa sepenuhnya berdaulat untuk dapat menentukan dan mengukur untung ruginya, melakukan perbuatan orang dewasa," imbuhnya.

Sebelumnya, kasus pemerkosaan terhadap anak 16 tahun berinisial RO di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sulteng) terus bergulir.

Terbaru, polisi menyampaikan bahwa peristiwa yang menimpa RO bukanlah kasus pemerkosaan melainkan persetubuhan di bawah umur. "Ini bukan kasus pemerkosaan, tetapi kasus persetubuhan anak di bawah umur," kata Kapolda Sulteng Irjen Pol Agus Nugroho, dikutip dari Kompas.com.

Diketahui, RO menjadi korban pemerkosaan oleh 11 pria pada April 2022 hingga Januari 2023. Pelaku pemerkosaan terdiri dari guru sekolah dasar, petani, kepala desa, wiraswasta, pengangguran, termasuk seorang anggota Brimob.

Kasus tersebut terungkap setelah korban melapor ke Polres Parigi Moutong pada Januari 2023. Saat melapor, RO didampingi oleh ibu kandungnya.

Agus membeberkan alasan mengapa kasus yang dialami RO adalah persetubuhan anak di bawah umur, bukan pemerkosaan.

Ia menjelaskan, tindakan para tersangka tidak dilakukan secara paksa melainkan ada bujuk rayuan dan iming-iming.

"Tindakan para tersangka dilakukan sendiri-sendiri, tidak secara paksa melainkan ada bujuk rayuan dan iming-iming bahkan dijanjikan menikah," jelas Agus.

Ia menambahkan, korban melapor ke Polres Parigi Moutong pada Januari 2023 lalu setelah mengalami sakit pada bagian perut.

Korban menyampaikan bahwa tindakan para tersangka dilakukan di tempat yang berbeda-beda selama 10 bulan.

Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Pol Agus Nugroho menjadi sorotan setelah mengumumkan bahwa kasus gadis 16 tahun dicabuli oleh 11 pria
Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Pol Agus Nugroho menjadi sorotan setelah mengumumkan bahwa kasus gadis 16 tahun dicabuli oleh 11 pria (HO)

Tanggapan Mabes Polri

Kasus ini pun menjadi perhatian Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Kepala Biro (Karo) Penerangan Masyarakat (Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah memberi atensi terhadap kasus anak di bawah umur berusia 16 tahun yang diperkosa 11 pria di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sulteng) tersebut.

Adapun kasus pemerkosaan terhadap anak berusia 16 tahun tersebut disebut bukan pemerkosaan oleh Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho, melainkan persetubuhan anak di bawah umur.

"Ya pasti semua kasus-kasus yang menonjol pasti kita atensi," ujar Ramadhan saat ditemui di Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (2/6/2023).

Meski demikain, Ramadhan mengatakan saat ini kasus tersebut tidak ditarik ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

Dia menyebut Polres Parigi Moutong yang menangani kasus itu. Polda Sulteng disebut turut membantu.

"Tentu Polda Sulteng memberikan asistensi. Tapi penyidikannya masih ditangani Polres Parigi Moutong," tutur dia.

Ramadhan memastikan, secara umum, Polri pasti akan mengusut kasus pemerkosaan ini sampai tuntas.

Bahkan, kata dia, anggota polisi yang diduga terlibat dalam pemerkosaan ini pasti juga akan ditindak apabila bersalah.

"Kami pastikan bahwa anggota bila terlibat bersalah, pasti akan dikenakan sanksi," imbuh Ramadhan.

Kapolda Sulteng sebut bukan pemerkosaan

Diketahui, kasus pemerkosaan terhadap anak 16 tahun berinisial RO di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sulteng) terus bergulir.

Terbaru, polisi menyampaikan bahwa peristiwa yang menimpa RO bukanlah kasus pemerkosaan melainkan persetubuhan di bawah umur.

"Ini bukan kasus pemerkosaan, tetapi kasus persetubuhan anak di bawah umur," kata Kapolda Sulteng Irjen Pol Agus Nugroho, dikutip dari Antara.

Diketahui, RO menjadi korban pemerkosaan oleh 11 pria pada April 2022 hingga Januari 2023.

Pelaku pemerkosaan terdiri dari guru sekolah dasar, petani, kepala desa, wiraswasta, pengangguran, termasuk seorang anggota Brimob.

Kasus tersebut terungkap setelah korban melapor ke Polres Parigi Moutong pada Januari 2023.

Saat melapor, RO didampingi oleh ibu kandungnya.

Irjen Pol Agus Nugroho membeberkan alasan mengapa kasus yang dialami RO adalah persetubuhan anak di bawah umur, bukan pemerkosaan.

Ia menjelaskan, tindakan para tersangka tidak dilakukan secara paksa melainkan ada bujuk rayuan dan iming-iming.

"Tindakan para tersangka dilakukan sendiri-sendiri, tidak secara paksa melainkan ada bujuk rayuan dan iming-iming bahkan dijanjikan menikah," ujar Agus.

Ia menambahkan, korban melapor ke Polres Parigi Moutong pada Januari 2023 lalu setelah mengalami sakit pada bagian perut.

Korban menyampaikan bahwa tindakan para tersangka dilakukan di tempat yang berbeda-beda selama 10 bulan.

Dugaan Prostitusi Anak di Bawah Umur

Di sisi lain, pemerhati anak dan pendidikan Retno Listyarti meminta kepolisian menelusuri dugaan prostitusi anak dalam kasus yang menimpa gadis berusia 16 tahun di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Pasalnya, para pelaku melancarkan aksinya dengan cara mengiming-imingi korban mendapatkan pekerjaan dan uang.

Hingga Selasa (30/5/2023) Polda Sulawesi Tengah telah menahan lima tersangka dari 11 terduga pelaku dan memeriksa sejumlah saksi. Meski demikian hasil penyelidikan belum mengungkap motif para pelaku.

Sementara itu pendamping korban, Salma Masri, mengatakan kondisi kesehatan anak terus memburuk lantaran alat reproduksinya mengalami infeksi akut dan rahimnya terancam diangkat.

Salma Masri bercerita psikis korban anak hingga saat ini masih sangat terguncang. Situasi tersebut diperparah dengan kondisi kesehatannya yang kian memburuk.

Dalam sejumlah rangkaian pemeriksaan ditemukan adanya infeksi akut pada alat reproduksi korban anak sehingga harus dilakukan tindakan operasi untuk mengangkat rahimnya.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari ibu korban anak, sambung Salma Masri, proses pengangkatan rahim dilaksanakan pada Rabu (30/5/2023) kemarin.

Untuk itulah kata Kepala Unit Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) provinsi Sulawesi Tengah, Patricia Z Yabi, pihaknya belum bisa menggali lebih jauh kronologi yang menimpa korban anak.

"Melihat kondisi saat ini korban anak tidak memungkinkan kami asesmen. Jadi kami tunda bertanya sebenarnya apa yang terjadi. Kami prioritaskan kesehatannya supaya bisa bicara lebih baik," ujar Kepala Unit Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulawesi Tengah, Patricia Z Yabi, kepada wartawan Eddy Djunaedy yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Salma Masri juga menerangkan dalam banyak kasus kekerasan seksual yang dialami anak, kasusnya cenderung terlambat dilaporkan. Sebab mereka tidak punya keberanian untuk menceritakan apa yang dialami.

Dalam kasus di Kabupaten Parigi Moutong, kata Salma, korban berani menceritakan kejadian tersebut setelah merasakan sakit di organ reproduksinya ke sang bapak.

"Hampir semua kasus yang kami dampingi terlampat melaporkan," tegasnya.

Kendati demikian, pendamping korban dan Kepala Unit Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulawesi Tengah minta kepolisian mengusut tuntas kasus tersebut dan menangkap semua pelakunya. Termasuk menjerat para pelaku dengan pasal "yang membuat efek jera".

"Kami akan pantau apakah dalam penerapan pasal yang digunakan penyidik, juga menerapkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. UU ini akan menjawab mengenai pemulihan secara utuh pada korban dan restitusi atau ganti rugi yang sudah dialami korban pasca kejadian pemerkosaan," terang Salma. 

Diketahui, Polda Sulawesi Tengah telah menetapkan 10 dari 11 orang terduga pelaku sebagai tersangka. Mereka di antaranya NT, ARH, AR, AK, FA, DU, AK, AS, AW, dan seorang kepala desa berinisial HR.

Seorang terduga pelaku lainnya yang belum ditetapkan sebagai tersangka adalah anggota Brimob berinisial HST. Akan tetapi, polisi baru melakukan penahanan terhadap lima tersangka. Adapun lima lainnya masih dalam pengejaran alias buron.

"Kami mohon doa agar cepat tertangkap dan melakukan proses lebih lanjut kelima orang ini," ujar Juru bicara Polda Sulawesi Tengah, Djoko Wienarto kepada wartawan Eddy Djunaedy yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

"Kami mengimbau kepada para tersangka agar kooperatif dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Jangan sampai terjadi yang tidak diinginkan karena emosi dari pihak keluarga korban dan masyarakat," sambungnya.

Djoko Wienarto juga berkata, meski kelima tersangka yang ditahan sudah diperiksa namun belum diketahui secara jelas motif para pelaku. Termasuk dugaan apakah korban anak benar dicekoki dengan narkoba. Pasalnya para pelaku yang saling mengenal diduga membarter korban dengan narkoba jenis sabu, termasuk mengancam korban dengan senjata tajam.

Yang pasti, kata Djoko, sejauh ini pihaknya sudah mengantongi barang bukti berupa dua kendaraan mobil. Mobil itu diduga digunakan untuk melakukan pemerkosaan. "Sehingga kami mengambil kesimpulan [kasus pemerkosaan] ini dilakukan dalam rentang waktu berbeda, tempatnya berbeda, dan waktunya juga berbeda-beda."

"Jadi tidak dilakukan secara bersama-sama."

Dia pun menjanjikan tidak akan 'tebang pilih' dalam penanganan kasus pemerkosaan anak yang diduga dilakukan oleh seorang anggota Brimob.

"Kami tidak akan menutup-nutupi. Kami akan menegakkan hukum sesuai prosesnya."

Dugaan prostitusi anak?

Pendamping korban anak, Salma Masri, menyebut peristiwa pemerkosaan korban anak tersebut bermula saat korban membawa bantuan logistik dari kampungnya di Poso untuk korban banjir di Parimo. Saat itulah korban berkenalan dengan para pelaku.

Setelah menyalurkan bantuan, lanjutnya, korban menginap di salah satu penginapan di Parimo. Korban disebut memilih tidak kembali ke Poso karena dijanjikan pekerjaan oleh para pelaku.

"Jadi dia [korban] berinteraksi dengan para pelaku ini terutama Pak Arif [salah satu terduga pelaku] yang guru. Dia [Arif] menjanjikan kerja. Diiming-imingi kerja, pekerjaan apa saja, di rumah makan. Tapi tidak ada pekerjaan itu," kata Salma.

Kalau merujuk pada penjelasan itu, pemerhati anak dan pendidikan Retno Listyarti menduga ada tindak pidana prostitusi anak. Ini karena para pelaku melancarkan aksinya dengan cara mengiming-imingi korban mendapatkan pekerjaan dan uang.

"Polisi harus menelusuri apakah ada unsur prostitusi anak. Anak dilacurkan, karena melibatkan banyak orang dan iming-iming uang serta pekerjaan," imbuh Retno Listyarti kepada BBC News Indonesia, Selasa (30/5/2023).

Retno juga mengatakan kasus pemerkosaan anak yang terjadi di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah ini adalah "yang terberat" di tahun 2023 merujuk pada banyaknya pelaku dan dampak pada korban.

Kasus berat lainnya terjadi di Banyumas, Jawa Tengah. Korban anak berusia 12 tahun diperkosa oleh delapan orang di berbagai tempat.

"Saya menganggap ini [Parigi Moutong] terberat karena berdampak pada alat reproduksi korban yang rusak." 

"Anak usia 15 tahun kan belum siap melakukan hubungan seks. Ya tentu saja merusak alat vitalnya. Kalau rusak ini kan dampaknya fatal. Jadi menurut saya ini luar biasa kejahatan seksualnya."

Itu mengapa Retno meminta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) terus memantau kasus tersebut agar para pelakunya termasuk yang diduga anggota Brimob tidak lepas dari jerat hukum.

Sebelumnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak.

Berdasarkan catatan Kemen PPPA, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022.

Jumlah itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni 4.162 kasus.

(*/Tribun-medan.com/kompas.com)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved